Salju melayang dan berputar-putar di udara sebelum kemudian jatuh ke tanah. Karpet putih membentang menyelimuti Zorka. Gundukan salju di atap-atap bangunan semakin tebal. Para petugas pembersih berjuang keras agar timbunan di jalan tidak terlalu tinggi supaya lalu lintas tetap lancar. Mobil-mobil melaju dengan kecepatan rendah akibat terbatasnya jarak pandang. Para pejalan kaki berjalan dengan punggung membungkuk guna melindungi diri dari terpaan udara dingin dan fokus pada tujuan mereka masing-masing. Keceriaan jalan-jalan di Zorka berkurang ketika puncak musim dingin tiba.
Namun, musim dingin seolah tidak menjamah Dionysus. Dengung antusias para pengunjung merambat di udara. Pengunjung masih terus berdatangan walaupun memang tidak seramai biasanya. Ada yang datang untuk sekadar minum-minum dan makan di bar dan restoran yang terletak di lantai satu, ada yang memang datang untuk bermain, atau untuk melakukan kedua-duanya.
Lantai empat di Dionysus khusus untuk permainan di meja. Usia pengunjungnya pun dibatasi. Hanya yang sudah berusia minimal dua puluh satu tahun yang boleh ikut bermain dan kebanyakan pengunjungnya merupakan orang-orang berkantong tebal. Meja-meja sudah terisi. Kartu-kartu dibagikan, taruhan dipasang, permainan dimenangkan. Ada yang berseru senang, ada yang mendesah kecewa. Ada yang menang, ada juga yang kalah. Ada yang mendapatkan uang, ada yang kehilangan uang. Begitulah perputaran kehidupan di Dionysus. Meski begitu, para pengunjung lantai ini biasanya tak terlalu ambil pusing dengan sedikit uang yang mereka keluarkan. Kebanyakan dari mereka berjudi hanya untuk bersenang-senang.
Sky sudah delapan tahun bekerja sebagai dealer di tempat itu, sejak usianya baru dua puluh dua tahun dan masih duduk di bangku kuliah. Dia bertanggungjawab menangani dan mengawasi jalannya permainan—memastikan permainan berlangsung dengan baik. Sky juga harus memastikan kepuasan pelanggan sehingga para pelanggan senang dan mau kembali ke Dionysus.
Dengan wujudnya yang bak patung dewa Yunani, serta sikapnya yang ramah, Sky sangat mudah disukai. Meskipun pekerjaan ini bukan hanya mengandalkan penampilan fisik, tetapi juga kemampuan dalam berkomunikasi. Namun, tidak dipungkiri kalau tampangnya memiliki pengaruh meski kecil.
Sky banyak disukai oleh para pemain. Semakin seorang dealer disukai, maka semakin banyak pula pemain yang memilih untuk bermain di mejanya. Dengan begitu, maka uang tip yang didapatkannya juga semakin besar.
Malam itu, jam kerjanya baru saja berakhir. Sky tampak begitu necis dengan setelan jas Italia berwarna biru malamnya, masih serapi ketika dia berangkat tadi sore. Sepatunya mengilap ditimpa cahaya lampu. Dasi abu-abu polos melingkari kerah kemeja hitamnya. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang. Sebuah mantel hitam tebal tersampir di lengannya. Sky tampak seperti seorang pengusaha muda sukses alih-alih dealer di sebuah kasino.
Pria itu ingin untuk minum sebentar di bar. Dia tidak berniat mabuk, hanya sekadar menghangatkan tubuhnya sebelum menempuh perjalanan panjang pulang ke rumahnya.
Sky memesan brendi, kemudian dia duduk di kursi kosong di salah satu sudut ruangan. Pria itu menyesap minuman sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat duduknya memungkinkan dia untuk bisa melihat dengan jelas ke seluruh penjuru ruangan tanpa disadari orang lain. Sky bisa mengenali beberapa pengunjung di tempat itu. Seorang pemuda berkulit kecoklatan dengan rambut pirang keemasan bernama Percy—salah satu pelanggannya yang tadi menang cukup banyak, lengkap dengan sikap acuh tak acuhnya. Kemudian, Sam—pria berusia empat puluhan yang merupakan rekan kerjanya di Dionysus. Serta beberapa orang lain yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.
Sky hampir tersedak ketika melihat sosok mungil berambut merah yang duduk tak jauh dari tempatnya. Pria itu menyipitkan matanya, berharap bisa melihat sosok tersebut dengan lebih jelas. Gadis itu tampak muram di bawah keremangan pencahayaan bar. Dia berdiri, kemudian berjalan dengan terhuyung-huyung menuju konter untuk membeli minuman lagi. Jelas sekali kalau gadis itu sudah mabuk.
Saat itulah Sky bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Tepat seperti dugaannya. Gadis itu tak lain ialah Aeris, adik Mauve—istrinya, yang berarti adik iparnya. Pernikahannya dan Mauve baru berjalan satu tahun. Aeris sering datang untuk menginap di rumah mereka—biasanya sambil bersungut-sungut dan tak jarang melibatkan teriakan dan terkadang airmata kakak-beradik tersebut. Sky jarang berbicara dengan gadis itu. Interaksi mereka tak lebih dari sapaan serta obrolan singkat kaku penuh sopan santun yang dipaksakan. Sky selalu merasa kalau Aeris membencinya, padahal selama ini dia sudah berusaha bersikap lebih ramah pada gadis itu.
Sky teringat apa yang dikatakan oleh Mauve tentang Aeris, bahwa gadis itu tidak terlalu menyukai minuman keras sehingga sangat jarang minum, apalagi sampai mabuk. Pria itu mendengus. Dia harus menahan diri untuk tidak langsung menghampiri sang adik ipar dan menyeretnya pulang.
Apa yang akan dikatakan Mauve jika melihat adik kesayangannya dalam kondisi seperti sekarang? Mauve pasti akan sangat sedih. Syukurlah dia baru pulang besok.
Gadis itu kembali ke kursinya, kemudian mulai menenggak minuman itu layaknya air putih. Sky masih terus mengawasi Aeris dan kini sudah melupakan minuman miliknya sama sekali. Melihat konsidi Aeris, Sky sadar kalau mau tidak mau, dirinya harus turun tangan. Bagaimanapun, gadis itu adik istrinya. Sudah menjadi tanggungjawabnya untuk turut menjaga Aeris.
Setelah menghabiskan minuman di gelasnya, gadis itu berdiri, kemudian berjalan sempoyongan keluar dari Dionysus.
Sky memakai mantel, lalu mengambil tas yang Aeris tinggalkan sebelum kemudian menyusul. Gadis itu mabuk, tak mungkin bisa berjalan dengan cepat, pikirnya. Pria itu bergidik ketika udara dingin menyerbunya. Namun, dia tak memiliki waktu untuk memedulikan hal remeh-temeh seperti itu. Sky mengumpat ketika dalam sekejap saja, dia sudah kehilangan Aeris.
Dia mengedarkan pandanganya ke sekeliling dan tidak menemukan gadis itu di mana pun seolah lenyap ditelan bumi. Sky bertanya kepada seorang pria paruh baya yang kebetulan melintas. Sky menyebutkan ciri-ciri Aeris dan sedikit lega ketika pria itu mengatakan kalau ia melihat gadis dengan ciri-ciri yang disebutkan Sky tadi berjalan ke arah jembatan Sungai Fern.
Pria tadi memang benar. Ketika Sky tiba di ujung jembatan, ia bisa melihat Aeris di dalam cahaya lampu-lampu yang menerangi jembatan. Gadis itu tengah berusaha naik ke pagar pembatas.
"Sialan kau Aeris!" makinya.
Sky langsung berlari secepat mungkin ke arah Aeris. Gadis itu kini tengah menatap kosong ke sungai gelap di bawahnya. Paru-parunya terasa seperti terbakar. Namun, dia sama sekali tak melambat dan justru mempercepat larinya—beberapa hampir tergelincir. Andai sedang tidak kehabisan napas, Sky sudah melontarkan berbagai caci maki serta sumpah serapah yang kini berseliweran di benaknya.
'Gadis bodoh! Sebenarnya, apa yang ada di pikirannya? Demi Tuhan, aku akan membunuhnya!'
Pria itu meraih tangan Aeris tepat sebelum gadis itu jatuh, kemudian menarik Aeris ke arahnya dan mendekapnya dengan erat. Napasnya terengah-engah.
"Lepaskan aku!"