Aku melenggangkan kaki ke dalam bandara London Heathrow dengan gembira. Hell yeah, I'm coming London!! Mungkin beberapa orang akan kebingungan dengan tingkahku yang agak kampungan, melihat etalase toko di sepanjang jalan di bandara dengan mata melotot takjub. Maaf saja, kalau aku kampungan karena aku baru tahu kalau ada bandara yang di dalamnya seperti mall, contohnya yang ada di London ini. Seorang wanita Asia yang memang terlihat sangat cantik melirik kepadaku dengan tatapan sinis memandangi tingkahku yang terlalu bersemangat.
"Your eyes, jerk!" gumanku dalam hati. Oke, kalau saja ini bukan negara orang, wanita itu pasti akan sudah kumaki dengan indahnya. Tidak ada yang boleh nge–judge apa yang aku lakukan. Bapak aja bukan! Ibu aja bukan! Saudara aja bukan! Amit–amit deh aku punya hubungan keluarga sama wanita itu. Dari tampangnya saja sudah terlihat kalau wanita itu adalah bitch.
Oke, aku akui kalau Audrey Laurencia Kosasih is a bitch. Tapi, aku tidak akan pernah menghakimi seseorang hanya dari luarnya. Aku masih merasakan pandangan wanita itu mengikutiku, tapi aku berjalan melewatinya dengan dagu terangkat dan memberinya pandangan mencela sekilas kepadanya. Aku menahan tawa ketika melihat reaksi wanita itu, harusnya aku merekam ekspresi wajah wanita itu yang tampak tercengang.
Suasana dalam bandara London Heathrow mampu membiusku, sehingga aku merasa berada di dunia lain. Bahkan, sejak aku menjejakkan kakiku di London – semua hal terlihat menakjubkan. Aku dibuat tercengang ketika aku berhadapan dengan teknologi ULTra PRT – untung saja aku pernah membaca kegunaan alat canggih itu untuk mengantarkan penumpang dari terminal bandara.
Bahkan setelah masuk ke dalam lingkungan bandara, aku masih saja harus tercengang dengan banyaknya jejeran estalase dari merek-merek terkenal. Ted Baker, Zara, dan masih banyak lagi. Jajaran restoran dan kafé yang terlihat elegan berjejeran dengan rapi untuk dipilih. Lantai marmer mengkilat dan suasana nyaman membuat siapa saja orang yang berjalan di Lonton Heathrow Airport, tidak ingin meninggalkan bandara ini dengan terburu-buru.
Begitu pula denganku, tapi sayangnya ada orang lain yang sedang menungguku. Aku mencari-cari dari sekian banyak kerumunan orang di bandara yang memegang namaku. Seorang laki-laki setengah baya berbaju serba hitam sedang berdiri di ujung tempat penjemputan internasional memegang tulisan Miss Kosasih. Aku mendekatinya, dan dia melirik ke arahku dengan wajah sangarnya.
"Miss Kosasih?" tanyanya dengan aksen British. Sweet Jesus, I really love British accent. Seandainya, saja aku bisa menggunakan aksen British seperti sahabatku, Alexandara.
"Yes, that's me." Aku memperhatikan laki-laki di depanku itu yang memiliki mata berwarna biru, berkulit gelap dan botak. Laki-laki itu membawakan koperku, dan berjalan dengan langkah cepat. Aku harus berlari-lari kecil untuk mengimbangi kecepatannya. "Hey, Mr. Siapa nama anda?" tanyaku setelah berhasil menjajarkan langkahnya.
"Larry!" ujarnya dengan pendek, mulai mengangkat koperku dengan mudahnya membuatku terpengah. Holy shit! Aku tahu barang apa saja yang kumasukkan ke sana, dan aku menyesal setelah harus menggeretnya di sepanjang bandara karena semua barang itu tidak penting dan beratnya mencapai tujuh kilogram.
Larry membukan pintu mobil tengah merek audy dan mempersilahkanku untuk masuk. Such as a gentlemen. Tanpa banyak bicara Larry melajukan mobilnya di jalanan London. Aku menempelkan wajahku di kaca mobil, terperangah menatap pemandangan kota London.
Kota London dengan arsitekturnya yang sangat menakjubkan. Bangunan-bangunan kuno yang sudah dibangun sejak era Tudor membuatku merasa kembali ke masa lalu. Bahkan bangunan modern kantor-kantor yang menjulang tidak membuat mataku terganggu karena bangunan itu dibangun dengan arsitektur yang sangat cemerlang. Bangunan kuno dan bangunan modern kota London seperti bercampur menjadi satu, menjadikan London menjadi salah satu tempat fantastis yang pernah kulihat.
Aku melihat banyak penduduk kota London yang sudah memakai baju tebal karena dinginnya angin yang berhembus di kota London – berlalu lalang di pinggir jalan kota London. Para perkerja berjalan dengan cepat untuk mengejar kereta mereka. Para anak muda mudah ditebak karena pakaian mereka dan juga dandanannya yang sangat khas anak muda.
Air liurku hampir menetes ketika mobil ini melewati jajaran estalase toko pakaian, aksesoris, dan kosmetik. Okay, aku sudah membuat beberapa rencana apa yang akan dilakukan untuk menjelajahi kota ini. Pertama, aku akan menjelajahi semua toko baju di sini dan menghabiskan uangku di pertokoan Oxford. Walupun sebelum dapat bersenang-senang, aku harus berkerja dahulu.
Sebenarnya tujuan kedatanganku ke kota London bukanlah untuk having fun atau menghabiskan uang seperti anak-anak manja lainnya. Tapi, keberadaanku untuk berkerja. Biar kujelaskan sekali lagi berkerja. Aku akan menjadi pengiring pada sebuah pertunjukan orchestra sebagai pemain priano di London City Hall. Aku buru-buru mengganti nomer handphoneku dengan nomer London yang baru saja aku ambil di bandara tadi.
"Hello, sweetheart," ujar sebuah suara merdu yang mengangkat teleponku pada dering kedua.
Aku terkekeh mendengar suara bariton milik sahabatku Ryan. "Hey, Ryan."
"Gimana dengan kota London? Banyak bule cantiknya nggak?" tanyanya dengan bertubi-tubi.
"Menyebalkan sekali, sahabat sendiri nggak ditanyain keadaannya?" ujarku dengan nada agak marah. Walaupun sesungguhnya, aku berusaha untuk menahan tawa.
"Gini ya, jeng. Aku nggak tanyain keadaan kamu. Soalnya kalo kamu nggak baik – baik aja, kamu nggak mungkin nelepon aku. Paling adanya di headline news, tulisannya: Ditemukan pianist muda, Audrey Kosasih mati mengenaskan tersedak permen karet di pesawat."
Aku mengumpat pelan kepada sahabatku. Ryan tidak dapat berhenti tertawa mendengar berbagai macam umpatan yang baru kulontarkan. Bisa nggak sih dia bikin alasan kematianku menjadi sesuatu yang masuk akal? Gosh, aku teringat kembali kejadian memalukan sewaktu SMA. Aku harus masuk ke rumah sakit hanya karena aku tersedak permen karet dan Ryan selalu mengungkit hal itu. Kalau saja that sissy isn't my childhood friend, I will kick his ass. "Gimana kabar Alexandara?" tanyaku khawatir dengan keadaan sahabatku itu.
Ryan menghembuskan nafas, terdengar frustasi. "Mereka baru saja balikan lagi tadi pagi. Kamu tahu kan gimana Alexa itu. Kalau dia nggak segitu cintanya ama bajingan itu. Aku sudah hajar cowok itu."
Piuh. Aku benar-benar membenci that asshole, tapi aku tidak bisa berbuat apa – apa karena Alexa mencintainya. Aku sangat menyayangi temanku dan tidak ingin membuatnya sedih. Kalau pria itu bisa membuat Alexa bahagia, aku akan mengalah. "Kamu harus jaga Alexa selama aku pergi. Jangan sampai bajingan itu melukai dia."
"Kamu nggak usah khawatir. Aku juga sayang banget sama Alexa, sama kayak aku sayang banget sama kamu."
Aku melihat Larry memasuki sebuah hotel dan itu berarti pembicaraanku with my best gossipers harus segera berakhir. "Thank you, Ryan. You are the best."
"Your welcome, sweetheart."
*******
VIP room? Aku segera membuka pintu kamarku dan menemukan ruang tamu dengan sofa dan meja di tengah ruangan dan di ruangan selanjutnya terdapat kasur berukuran queen size berada tepat di tengah ruangan. Karpet berwarna cokelat muda menutupi seluruh lantai, dinding dengan wallpaper berwarna cokelat juga beberapa foto kota London di jaman dulu. Aku segera menuju jendela yang memperlihatkan betapa indahnya kota London dari atas bangunan.
Aku segera berlari ke kamar mandi untuk melihat interiornya dan jantungku terasa berhenti berdetak ketika melihat marmer berwarna putih dengan dinding serupa. Terdapat bathtub berukuran sangat besar dengan warna serupa.
Jika tahu kalau aku akan mendapatkan fasilitas sebagus ini setiap ada konser di luar negeri, dari dulu aku akan berpartisipasi dalam kegiatan seperti ini. Tapi, orang tuaku tidak pernah membiarkanku menghilang dari pengawasan mereka berdua. Bahkan karena mereka sangat protektif, semasa remajaku aku tidak memiliki teman sama sekali. Untung saja ada Ryan yang selalu ada untuk menemaniku.
Kebebasanku kali ini tidak kudapatkan karena orang tuaku mengizinkanku atau karena aku memaksa mereka. Tapi, lebih karena sudah tidak ada mereka yang bersikap protektif lagi kepadaku. Kedua orangtuaku meninggal ketika aku berumur tujuh belas tahun dalam kecelakaan mobil. Aku tidak tahu, apa kebebasanku lebih berharga dengan kehilangan kedua orang tuaku?
Bye-bye old Audrey. Hello new Audrey. Setelah aku lulus SMA, aku merombak habis-habisan penampilanku dengan bantuan Ryan. Kacamata yang biasa kupakai sudah lenyap keberadaannya di tempat sampah dan aku baru sadar kalau mata biruku terlihat sangat indah tanpa adanya halangan dari kacamata. Rambutku yang biasanya lurus membosankan, kupotong menjadi layer dengan sedikit ikal diujungnya.
Sewaktu dulu aku selalu menggunakan celana jeans yang membosankan dan baju kebesaran, sekarang aku selalu menggunakan dress, rok atau pakaian terkini. Aku masih ingat ekspresi wajah Ryan yang tampak seperti habis makan kaos kaki yang nggak dicuci selama satu minggu ketika melihat penampilan baruku. Sayang, aku nggak merekamnya, kalau aku berhasil merekamnya aku bisa menjadikan rekaman tersebut sebagai ancaman.
Tapi, bukan berarti aku merubah seluruh old Audrey menjadi new Audrey. Satu-satunya hal yang tidak akan berubah walaupun kedua orangtuaku meninggal adalah berkencan. Tidak. To falling in love is stupid. Cinta hanya bikin kamu menjadi lemah dan aku paling benci menjadi lemah. Aku berusaha untuk menjadi wanita mandiri agar semua orang dapat melihat aku bukanlah perempuan yang lemah. I won't falling in love!!
*******
Aku mengintip dari balik panggung dan menemukan ratusan orang sedang duduk di tempatnya masing-masing. Okay, relax Audrey. You can do it. Sewaktu pertama kali datang, aku merasa biasa-biasa saja, tapi sekarang keadaannya berbanding seratus delapan puluh derajat. Seorang asisten panggung memberiku kode untuk memasuki panggung. Aku menghitung sampai sepuluh sebelum memasuki panggung dengan tersenyum.
Lalu, aku merasakannya sebuah tatapan sangat intens berasal dari seorang tamu yang duduk di bangku VIP. Aku serasa membeku dan menatapnya kembali. Dan aku merasakan sebuah aliran listrik yang menghubungkan kami berdua dan tiba-tiba pikiranku menjadi kosong. Cmon, Audrey. What's wrong with you? Pria itu mungkin berumur pertengahan dua puluhan. He is so handsome, and sexy, and hot.
Pria itu akhirnya mengalihkan pandangannya dariku dan dia berbicara dengan pria di sampingnya. Sebelum pria itu dapat melakukan sihirnya kembali, aku bergegas menuju ke belakang piano. Aku dapat melihat beberapa pemain cello yang berada di baris belakang terkikik melihat hal bodoh yang baru aku lakukan tadi. Bloody hell! Bahkan, aku dapat merasakan wajahku yang mulai memanas.
Focus. Aku menghitung hingga angka 10, sebelum mengangguk kepada konduktor untuk memulai performa kami. Aku berusaha untuk tidak melihat ke arah pria itu lagi ketika aku meninggalkan panggung. Aku tidak pernah merasa seperti itu dengan siapa pun. Aku tidak pernah membiarkan seseorang pun mengintimidasiku sejak project new Audrey. Biarlah, aku tidak akan pernah lagi bertemu dengan pria itu lagi dan hal itu membuatku sedikit lega.
"Miss Kosasih?" sebuah suara memanggilku. Aku tersenyum melihat direktur group orchestra yang menyewaku datang untuk menyapaku dan juga seseorang yang mengikuti di belakangnya.
Oh, no. Tidak, dia lagi. Pria yang berada di kursi VIP itu mendekatinya dan serangan listrik itu terjadi kembali. Aku dapat merasa kalau pria itu juga merasakan aliran listrik di antara kami, Ia mengangguk dan tersenyum. "This is Mr Hunter Presscot. The owner of Presscot group."
What the -. That beautiful man is Presscot guy. The most wanted bachelor in London? Pria itu, sekali lagi menatapku dengan mata abu-abunya yang intens. Apa yang diinginkan pria itu dariku? Dan, dia tampak sangat tampan. Tiba-tiba, aku seperti susah bernapas ketika aku balik menatapnya berusaha mencari apa yang diinginkannya dariku, dari mata indahnya.
"Hunter, Miss Kosasih," ujarnya dengan suara dalam yang sangat sexy.
"Please, call me Audrey," ujarku berusaha menenangkan jantungku yang berdetak tidak karuan.
"Audrey," ujarnya mengangguk. Seluruh bulu kudukku meremang ketika Hunter memanggil namaku. Dia masih menatapku dengan tatapan intensnya dan aku berani bertaruh Ia mengetahui keberadaannya yang mempengaruhi. "Senang bertemu dengan anda." What the -?? This guy can speak Indonesia?
Hunter tertawa dan tidak melepaskan tatapannya dariku, bahkan Mr Donovan – direktur group orchestra juga ikut tertawa. Aku tidak sadar mengatakan keras-keras kalimat yang sedang kupikirkan. Hunter, pria itu dapat dengan mudah membuatku melakukan berbagai macam hal bodoh.
"Betul. Saya bisa menggunakan Bahasa Indonesia," ujarnya tersenyum miring membuatku sesak napas.
*******