Chereads / Beauty of Possession / Chapter 3 - CHAPTER 3

Chapter 3 - CHAPTER 3

"Excuse me, Mr Prescott," ujar seorang pelayan yang menatapku dan Hunter dengan senyuman pengertian.

Gangguan dari pelayan itu membuatku melepaskan pagutanku dari Hunter. Okay, sepertinya kali ini ciumanku dapat mempengaruhinya. Matanya tampak menggelap menatapku dan napasnya terengah-engah. Aku buru-buru mengambil tasku yang terjatuh dan berjalan dengan cepat keluar dari restoran ini. Walaupun, aku tahu kemungkinan besar adegan seperti yang baru saja aku lakukan seringkali terjadi di London – tapi dengan seorang Hunter Presscot? Aku bahkan tidak dapat melanjutkan pemikiranku. Apa yang baru saja kulakukan?

Sebuah tangan menarik pinggangku dari belakang membuat bulu kudukku meremang. Bukan karena takut tapi karena libidoku yang tiba-tiba melambung. Hanya ada satu orang yang dapat membuatku bergairah dengan begitu cepatnya. "Apa yang kau inginkan?" tanyaku dengan marah, menoleh ke arah Hunter.

"Aku ingin kau menjadi tunangan palsuku," ujarnya berbisik di telingaku dengan nada penuh percaya diri. Aku tidak dapat mengeluarkan suara sama sekali. Otakku seperti berjalan lambat dan berusaha mencerna apa yang sedang dibicarakannya. Setelah aku bisa mencernanya, otakku berkerja keras – berpikir, berusaha membalas perkataannya. "Bisa kita membicarakan hal ini di tempat yang lebih tenang? Please," ujarnya menatapku dengan mata seperti puppy.

Mengapa dia bisa terlihat tampan, sexy sekaligus imut dalam waktu bersamaan? Hunter menggandeng tanganku dan mengajakku menuju mobilnya. Aku membelalak ketika dia membukakan pintu aston martin warna hitamnya. Aku tidak tahu berapa harga mobil yang dikendarainya – tapi, seluruh dekorasi mobil ini seperti meneriakkan kata mahal.

"Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya menjalankan mobilnya.

Aku menutup wajahku yang memerah, bingung menjawab pertanyaannya. "Kau sangat kaya," dari seluruh komentar yang dapat kukatakan, kata-kata itulah yang kulontarkan.

Hunter tertawa mendengar komentarku, membuatku mendongak dan terpesona melihat tawa yang membuat wajahnya semakin tampan. Ada sesuatu dari tawanya yang membuat hatiku meleleh. I love making him laugh.

"You are so cute, Angel." Wajahku memerah ketika dia memanggilku dengan sebutan Angel. Aku merasakan tanganku berkeringat, sangat bukan Audrey.

Aku merasa terintimidasi dengan kehadirannya, merasa lemah dengan keberadaannya, membutuhkan sentuhannya. Hunter seperti mengambil alih seluruh tubuh dan pikiranku untuk dikendalikannya. Aku tidak pernah berpikir secara rasional bila berada dekat Hunter.

"Mengapa kau memilihku?" tanyaku dengan pelan. Hunter menoleh ke arahku dan aku berusaha keras untuk tidak membalas tatapannya karena aku tahu bagaimana reaksi tubuhku kalau aku menatap matanya. "Kenapa bukan Anna? Atau wanita lainnya? Aku jamin kalau mereka semua akan menyetujui tawaranmu."

"Karena mereka bukan kamu," Hunter memasukkan mobilnya ke dalam parkiran basement. Ia membukakan pintuku dan menggandeng tanganku dengan erat. Genggamannya menghangatkan tanganku, membuat pipiku memanas. "Mari kita bicarakan di tempatku," ujarnya sambil sibuk memasukkan kode keamanan di elevator.

Tatapan Hunter tidak meninggalkan wajahku sama sekali. Aku merasakan jantungku berdetak dengan kencang merasakan tatapannya yang sangat intens. Aliran listrik sekali lagi seperti berderat di sekeliling kami, membuatku menoleh ke arahnya. Tatapannya mengunci mataku, dan aliran listrik di sekitar kami semakin membesar. Dia menarik tanganku dan mengurungku hingga belakangku menyentuh dinding elevator.

Setelah itu semuanya berakhir. Hunter menciumku dengan panas. Lidahnya mengecap rasaku, memaksaku membuka mulutku hingga lidahnya menemukan pasangannya. Aku mengerang pelan, ketika merasakan tangannya mengelus pelan lenganku, aku membalas menarik rambutnya cukup keras. Aku menggigit pelan bibir bawahnya hingga membuat Hunter mengerang. Damn. Bahkan geramannya terdengar sangat sexy. Ia beralih mencium bagian leherku, membiarkanku menghirup udara sebanyak-banyaknya. Gigitan kecil di sekitar leherku membuatku mendesah merasakan kenikmatannya.

Suara elevator yang berdentang menandakan tujuan kami, membuatnya melepaskan ciumannya dari leherku. Hunter memeluk pinggangku dengan sangat protektif. Sebenarnya aku bersyukur karena dia memeluk pinggangku, kalau saja ia melapaskan pegangannya dariku, aku pasti akan terjatuh karena dapat kurasakan kakiku terasa seperti jelly. Hunter menyeretku ke dalam panthouse miliknya.

Tanner tersenyum kepadaku, ketika Ia membukakan pintu tempat tinggal Hunter. Ooo. Panthouse miliknya sangat besar dan berada di lantai paling atas. "Di mana kita?" tanyaku penasaran. Please, don't tell me that. Don't tell me that

"One Hyde Park," ucapnya kebingungan melihat ekspresiku yang berharap lalu berubah menjadi kecewa.

Dia baru saja menjatuhkan bom selanjutnya kepadaku. Tentu saja, seorang Hunter Presscot akan tinggal di tempat termahal di London. Entah mengapa aku merasa sedih mendengarnya. Mengapa jarak di antara kami begitu jauh?

Lihatlah, dia sangat tampan dan kaya. Wajah tampannya tampak kebingungan dengan ekspresi wajahku yang sedih. Rambutnya yang berwarna cokelat tua tampak berantakan setelah ciuman panas kami berdua. Mata abu-abunya tampak waspada menatapku. Ia menghampiriku berusaha memperpendek jarak di antara kami, tapi hal itu malah membuatku semakin dapat melihat betapa basar jarak diantara kami.

"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya dengan lembut.

You. Always you. Sejak bertemu dengannya, hanya Hunter yang memenuhi seluruh otak pikiranku. I'm falling for him and I know that. Normalnya, aku akan segera melarikan diri darinya ketika menyadari perasaanku yang mulai tumbuh untuknya, tapi hatiku menolak untuk melakukannya. Kebutuhanku mengalahkan akal sehatku. Selalu seperti itu jika berhubungan dengan laki-laki di depanku.

"Tidak ada," ujarku berusaha tersenyum. "Mari kita bicarakan tentang penawaranmu."

Hunter memeluk pinggangku dan mengajakku menuju sebuah ruang yang seluruhnya memiliki nuansa warna putih. Berbagai lukisan terpampang hampir di sepanjang dinding. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah meja kayu besar dan di atasnya terlihat sangat indah, beberapa bunga berwarna putih terletak dalam sebuah vas.

Di pojok ruangan terdapat sebuah grand piano berwarna hitam, membuatku terkejut. Apakah Hunter dapat memainkan piano? "Aku bisa memainkannya!" ujarnya mengikuti arah mataku yang sedang menatap piano miliknya. "Sit down!" pintanya menggeretku ke arah sebuah sofa besar berwarna peach. Aku menatap sekelilingku dan terpesona dengan keseluruhan tempat tinggal hunter. "Water atau wine?" tanya Hunter dari seberang ruangan.

"Water, please," ujarku. Jika kami akan membicarakan sebuah perjanjian, lebih baik aku harus memfokuskan pikiranku. Sudah cukup dengan kehadiran Hunter yang membuatku mabuk dan tidak perlu ditambah dengan wine.

Hunter membawa dua gelas air dan salah satunya diserahkan kepadaku. Ia duduk tepat di depanku. "Jadi, mengapa kau memilihku?" tanyaku, setelah meminum sedikit air.

"Karena kita memiliki chemistry itu," ujarnya menatapku tajam. "Kamu merasakan juga, bukan? Suasana yang kita berdua buat jika kita bersama?" Aku mengangguk. "Aku tidak pernah merasakan sesuatu seperti itu dengan wanita lain, hanya bersamamu."

Kami berdua saling menatap dan aku ingin mencium Hunter lagi, seperti yang baru saja terjadi di dalam elevator. Aku memegang gelasku dan mengalihkan pandanganku ke tempat lainnya selain menatap mata Hunter. "Aku masih tidak mengerti. Mengapa kamu memerlukanku sebagai tunangan palsumu?"

"Mom." Ia mendesah tampak jengkel dan wajahnya yang agak cemberut tidak sedikit pun mengurangi ketampanannya membuatku merasa sesak napas. "Dia memaksaku untuk berkencan dengan anak temannya."

"I'm sorry. Tapi kau sudah berumur dua puluh tujuh, bukan?" tanyaku tidak mempercayai berita yang baru kudengar. "Kau seorang Hunter Presscot dan kau tidak memerlukan acara perjodohan," aku menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

"My mom. Dia memaksaku untuk membawa pacarku untuk diperlihatkan kepadanya," Hunter sekali mengatakannya dan tersenyum miring – senyuman favoritku. Wait? Sejak kapan senyuman Hunter menjadi senyuman favoritku? "Aku tahu maksudmu. Tapi, aku tidak pernah memperkenalkan wanita lain kepada mereka setelah Reiko."

"Apa kau masih mencintai Reiko?" tanyaku tanpa dapat kucegah. Wajahku memanas ketika secara tidak sengaja mengakui jika aku sudah mencari tahu tentangnya. "Maafkan aku. Aku tidak – eh – sengaja melihatnya di internet."

Wajah Hunter segera mengeras, matanya tenang tampak berbahaya, bibirnya membentuk garis dan dia memejamkan matanya, tampak berusaha menahan emosi. Dia tampak sangat marah. Apa yang kamu lakukan Audrey? Stupid. Stupid. "Itu bukan urusanmu sama sekali," ujarnya menggeram, menahan emosi.

"I'm sorry," ujarku dengan lembut. Hunter menghembuskan nafasnya dengan keras. Matanya berkilat – kilat penuh kemarahan. "Tolong jangan marah". Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa sedih ketika mengetahui Hunter marah karenaku. "Please," ujarku memohon sekali lagi.

Badan Hunter tampak mulai merileks setalah aku menyebutkan permohonanku. "Tidak. Kau benar," ujarnya dengan suara yang mulai tenang. "Kamu pasti membutuhkan sebuah alasan." Aku memainkan ujung gaunku dengan gugup, menolak untuk memandang Hunter. "Mengapa kau tidak mempercayai cinta?"

"Because love makes you weak."

"Tolong, tatap mataku!" pintanya. Sekali lagi tubuhku langsung merespons dengan perintahnya untuk menatap wajahnya. Membuat diriku terkejut dengan reaksi tubuhku sendiri. Aku menatap mata abu – abunya yang tampak mempelajariku. "Aku tidak bisa mencintai orang lain."

What? Tapi, bagaimana dengan Reiko tunangannya? Apa dia tidak mencintai wanita itu? Bagaimana mungkin tapi wanita itu adalah tunangannya. Sebentar, dia menginginkanmu menjadi tunangannya dan dia tidak mencintaiku sama sekali. Apakah Reiko juga merupakan tunangan palsu Hunter?

"Kita berdua sangat cocok dengan perjanjian ini. Kamu tidak mempercayai cinta, begitu pula denganku." Aku menggigit kukuku lebih karena kebiasaan ketika aku merasa bingung, hal yang selalu kulakukan sejak kecil. "Aku akan memberikan apa pun yang kamu minta sebagai ganti karena kamu telah membantuku. Aku akan membuatmu menjadi seorang putri selama kamu berada di London."

This is crazy. Apa yang kau pikirkan, Audrey? Laki-laki itu meremehkanmu, dia mengira kamu seperti wanita lainnya yang kemungkinan besar mendekatinya hanya karena kekayaannya. Biasanya, aku akan segera mencaci makinya, tapi dengan Hunter, tubuhku seolah menolak untuk bergerak menuruti akal sehat. Sama seperti Anna tadi, mengapa aku tidak langsung menamparnya? Oh, ya. Karena aku tidak ingin terlihat buruk di depan Hunter.

Tidak. Aku tidak boleh terlalu dekat dengan pria ini. Sebelum semuanya terlambat. Pria ini sangat berbahaya. "Hunter, aku.."

Aku menelah ludah, bingung hendak menjawab apa. Jika menuruti akal sehatku, aku ingin menolak penawarannya dan itu artinya aku tidak akan pernah lagi bertemu dengan laki-laki di depanku lagi. Setelah pemikiran itu terlintas, hatiku terasa sakit dan menolak untuk berpisah dari laki-laki di depanku ini. "Aku perlu waktu untuk berpikir," ujarku memutuskan.

Aku tidak bisa memilih apa yang sebenarnya kuinginkan. Seharusnya aku menjauh darinya, tapi hati dan pikiranku memohon meminta terus berada di dekatnya. Aku jatuh untuknya terlalu cepat, terlalu mudah dan itu membuatku takut.

"Aku akan memberimu waktu hingga besok," ujarnya. Matanya mulai menggelap, dan tatapannya berpindah ke bibirku. Seketika seluruh tubuhku bereaksi dengan tatapan sensualnya. Aku menjilat bibirku yang kering dengan gugup dan hal itu semakin membuat mata Hunter menggelap.

Aku berusaha menjernihkan pikiranku dan mengusir segala pengaruh tatapan Hunter kepadaku. "Bisakah kau memberi sedikit tambahan waktu?" tanyaku mencoba mengulur waktu. Besok pagi? Itu terlalu cepat. Aku tidak bisa memberikan keputusan secepat itu. Maalah ini sangatlah berisiko dan aku tidak ingin keputusanku malah merugikan diriku sendiri.

Tatapan Hunter sama sekali tidak beralih dari bibirku, membuatku semakin gugup. "Besok pagi. Tidak ada tawar menawar. Aku akan meminta jawabanmu besok pagi." Aku menyadari kalau pernyataannya tidak dapat diganggu gugat.

"Aku memiliki syarat, jika aku menyetujui penawaranmu." Pernyataan yang baru saja kuucapkan membuat Hunter mengalihkan tatapannya dari bibirku. "No sex."

"What?" tanyanya dengan terkejut. Aku berusaha menampilkan wajah tenangku walaupun sebenarnya aku ketakutanku ketika melihat wajah Hunter menggelap karena marah. "Are you a virgin?" tanyanya setelah pemahaman melintas di wajahnya. Wajahku memerah mendengar pernyataanya. "Apakah kamu masih virgin?" ulangnya dengan nada terkejut.

"I'm sorry?" ucapku dengan pelan dengan wajah yang masih memerah. Walaupun, aku sendiri bingung mengapa aku harus meminta maaf kepadanya hanya karena aku masih virgin. Hunter terdiam membeku dan tidak bergerak. Aku menghitung sampai sepuluh detik dan dia masih membeku. Sekali lagi, aku menghitung sepuluh detik lagi, dan Hunter masih saja tidak bergerak. "Hunter?" tanyaku dengan ragu – ragu. Apa dia benar-benar terkejut?

Wajah Hunter mulai bereaksi, dari wajah terkejut berubah menjadi marah. "Mengapa kau tidak memberitahuku?" teriaknya dengan marah, membuat mulutku terbuka melihat reaksinya.

"Aku tidak membicarakan tentang keperawananku kepada seseorang yang baru kutemui," ujarku membela diri. Apakah setiap aku berkenalan dengan orang baru dan aku harus berkata 'Hi, I'm Audrey. Nice to meet you. Oo, and I'm still a virgin.' Mengapa reaksinya terlalu berlebihan?

"Okay. Kita tidak akan melakukan hubungan sex selama perjanjian ini berlangsung," ujarnya. Reaksinya itu membuatku terkejut. Begitu gampangkah dia menyetujuinya? Hunter menyeringai dengan nakal ketika melihat reaksiku. "Atau apakah kau ingin melakukan sex denganku?"

"No," ujarku dengan cepat. Apa dia berusaha untuk menggodaku? Aku tersenyum mendengarkan leluconnya. "Aku ingin kembali ke hotelku," ujarku berdiri.

"Kamu ingin pulang sekarang?" tanyanya, ada sedikit nada kecewa terdengar pada suaranya. Hatiku meloncat kegirangan mendengar nada kecewa itu. Apakah dia tidak menginginkanku meninggalkannya sekarang? "Kita bisa mengenal lebih jauh lagi, jika kamu tinggal disini." Hmmm. Godaan untuk tinggal bersama dengannya memang menghantuiku, tapi aku perlu menjauh darinya beberapa waktu untuk memutuskan pilihan yang akan kuambil.

"Hunter. Aku memerlukan waktu untuk berpikir."

Dia mengangguk setelah mendengar jawabanku. "Aku akan mengantarmu pulang," ujarnya.

"No, please," ujarku. "Aku akan berkeliling kota London untuk berpikir.

"Aku akan menyuruh Tanner untuk mengantarmu," ujarnya dengan wajah terluka. Mungkin aku telah membuatnya terluka dengan penolakanku, tapi aku tidak akan dapat berpikir kalau Hunter berada di sekelilingku. Pengaruh keberadaannya untuk pikiranku terlalu buruk.

"No. Aku lebih memilih taksi atau berjalan kaki," ujarku berusaha menolaknya dengan lebih halus.

Wajahnya mengeras tampak marah. "Me or Tanner? Hanya itu pilihamu!" ujarnya mengancamku. Dan, aku tahu tidak akan dapat mengubah keputusannya. Lagi. Control freak.