Chereads / Cerita hantu Jepang / Chapter 29 - Shintakiri suzume

Chapter 29 - Shintakiri suzume

Shitakiri Suzume, ukiyo-e karya Katsushika Hokusai.

Shitakiri Suzume (舌切り雀, Burung Gereja yang Dipotong Lidahnya) atau diterjemahkan sebagai Lidah Pipit yang Terpotong[1] adalah fabel Jepang tentang seorang kakek tua yang baik hati, istrinya yang tamak serta kejam, dan seekor burung gereja yang terluka. Tema cerita adalah keserakahan, persahabatan, dan rasa iri hati.

Cerita ini telah diterjemahkan berulang-ulang kali ke dalam bahasa Inggris, di antaranya oleh A.B. Mitford (1871), William Elliot Griffis (1880), David Thomson sebagai volume 2 Japanese Fairy Tale Series dari Hasegawa Takejirō (1885), Yei Theodora Ozaki (1903), dan Teresa Peirce Williston (1904).[2]

Pada tahun 1897, Andrew Lang memasukkannya ke dalam kumpulan dongeng The Pink Fairy Book dengan judul The Sparrow with the Slit Tongue.[3]

Plot

Seorang kakek yang baik hati menolong burung gereja yang terluka, dan menjadikannya sebagai burung peliharaan. Pada suatu hari, burung gereja menjadi sangat lapar karena nenek tidak memberinya makan. Dia lalu memakan lem dari tajin yang dibuat nenek untuk mengganti kertas pelapis pintu geser. Nenek sangat marah hingga lidah burung gereja itu dipotongnya. Burung gereja itu lantas terbang melarikan diri. Kakek bersedih lantas mencarinya hingga ke gunung. Di gunung sarang burung gereja, kedatangan kakek disambut secara beramai-ramai oleh kawanan burung gereja. Sebagian dari mereka menghidangkan makanan untuk kakek, dan sebagian lagi menggelar pertunjukan tari. Ketika tiba waktunya untuk pulang, kakek diberi dua pilihan hadiah yang harus dipilihnya salah satu: keranjang kecil atau keranjang besar. Kakek sudah tua sehingga memilih keranjang kecil karena ringan. Keranjang kecil itu dibawanya pulang. Ketika dibuka di rumah, isi keranjang kecil itu ternyata uang keping emas. Nenek yang serakah menyesali pilihan suaminya. Menurutnya, kalau ada pilihan keranjang besar, maka itulah yang harus diambil. Nenek lalu pergi ke gunung burung gereja karena ingin memperoleh lebih banyak harta. Dengan paksa diambilnya keranjang besar dari rumah burung gereja. Di tengah perjalanan pulang, keranjang besar itu dibuka oleh nenek. Isinya ternyata penuh dengan hantu yōkai, serangga, kadal, tawon, kodok, dan ular. Nenek pingsan karena terkejut.

Akhir cerita ini berbeda-beda menurut versinya, termasuk berakhir dengan dimakannya nenek yang sedang pingsan oleh yōkai. Versi lainnya menceritakan nenek sangat takut melihat yōkai hingga lari tunggang langgang menyelamatkan nyawa.

CERITA

Seperti halnya Gunung Kachi-kachi, Pertarungan Monyet dan Kepiting, dan cerita rakyat Jepang lainnya, cerita asli Shitakiri Suzume dipandang terlalu kejam. Ketika mencari sarang burung gereja, kakek bertanya-tanya kepada beberapa orang yang ditemuinya di perjalanan. Kakek diminta untuk meminum darah kuda dan air kencing sapi sebelum pertanyaannya dijawab.[4] Dalam versi yang diperhalus, bagian ini diganti dengan air bekas memandikan sapi. Pada akhir cerita, nenek yang serakah menjadi insaf setelah dinasihati oleh kakek. Tidak hanya bagian-bagian yang kejam sudah dihilangkan, cerita juga berakhir bahagia.[4]

Dimulai pada zaman Meiji, bagian cerita yang dianggap keterlaluan dalam cerita rakyat dihapus. Maksudnya agar anak dapat menikmati cerita sambil belajar tentang kebajikan, kejahatan, dan balas budi.[4]

Burung gereja dan balas budi binatang juga dijadikan tema dalam cerita Koshiore Suzume dari Uji Shūi Monogatari. Nenek mengobati seekor burung gereja yang pinggangnya patah. Sebagai tanda terima kasih, burung gereja memberi biji labu. Setelah ditanam, dari dalam buahnya ternyata keluar beras serta emas dan perak. Nenek tetangga yang iri hati dengan sengaja melukai seekor burung gereja agar bisa dirawat dan memperoleh biji labu. Dari dalam labu keluar ular dan tawon yang kemudian membunuhnya.

Pada tahun 1945, Osamu Dazai menulis Otogizōshi yang di dalamnya terdapat parodi cerita Shitakiri Suzume.[5]