"Likaaa..." kupanggil pelan namanya
Aku hanya bisa berjalan dengan jinjit agar ia tidak terganggu dengar suara langkah kakiku.
Aku hanya terdiam memegang daun pintu kamarku, waktupun terasa berhenti, antara takut jika ia berfikir negatif padaku, aku takut jika ia marah lagi padaku, aku takut jika ia tak mau lagi bertatap muka denganku, aku hanya takut jikaaaa... Aku hanya takut jika aku tak bisa bertemu wanita seperti dia lagi.
Kriitt
"Rexa"
"Eh Lika, baru aku mau tengok gimana keadaan kamu"
Benar saja, aku tidak membuka pintunya sedari tadi, jika ia mungkin Lika akan menaruh curiga padaku
"Aku udah baikan kok" tawanya mulai sedikit terlihat
Kami pun berpindah tempat ke ruang tamu sembari duduk di sofa menyalakan televisi.
"Kamu masih terlihat pucat Lika" aku pun membuka obrolan dengannya
"Ah masa sih, enggak ahhh"
"Coba sini"
Kugenggam telapak tangannya dengan erat lalu kutaruh tepat dibelahan dadaku
"Oh jadi gini ya rasanya aku memegang masa depan"
Dia pun menarik kembali tangannya dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Kedua pipinya pun terlihat mulai memerah seperti tomat
"Huh aku dirayu buaya" candanya sembari mencubit seluruh badanku.
Krriiinggg krriiinngggg
"Iya hallo"
Aku langsung mengangkat ponselku
"Gimana nih, udah berapa ronde"
Terdengar tawa yang riang sekali, aku tau suara ini. Ini suara sahabatku Raka.
"Iya nih bener ketinggalan satu, mau dijemput kapan ?"
"Apaan sih lu, gue nanya apa jawabnya apa, kocak lu mah"
"Ohh gitu, yaudah terus ini yang ketinggalan biar aku jaga aja gimana ?"
"Ih nih anak kenapa sih lu"
Tanya Raka penasaran
"Gapapa kan, aku bakal jaga sepenuh hati sampe waktunya dijemput, kalo gitt...."
Tiba-tiba sambungan teleponnya telah dimatikan dari sebrang sana.
"Itu kenapa ?"
Lika pun seperti dibuat penasaran olehku
"Oh tadi yang nelpon ?"
"Iyaaa"
"Itu dari Tuhan, katanya bidadarinya ketinggalan satu disini, jadi biar aku aja yang jaga dengan setulus hatiku"
Lagi-lagi pipinya memerah, ia tersipu menahan malu
"Ya Tuhan jemput aja aku, aku malu dirayu salah satu hambamu" Lika pun melirik manja kearahku
"Jangan Tuhan, biarkan dia bersamaku, ia seperti rembulan yang selalu menerangi malam-malamku"
"Berarti kalo siang ada matahari yang menyinari hari-hari kamu ? Siapa tuh" lagi-lagi ia memasang tatapan manja padaku
"Ehh enggak gitu, kan aku lagi ngerayu kamu"
Kusentuh hidungnya mancungnya dengan jari telunjukku secara lembut.
Dia pun membalasnya dengan memencet dan mencubit hidungku.
Setelah lama melempar canda dan tawa. Lika pun pergi ke dapur untuk mengambil beberapa botol cola
"Lika, kalo kamu laper sekalian aja makan aku ada roti tawar didalam rak atas"
"Kamu mau aku buatin sekalian" sahutnya
"Boleh deh, jarang-jarang kan dibuatin roti lapis sama chef Lika"
"Uhh nge-goda aku mulu nih pesertanya" lanjutnya yang diiringi sedikit tawa.
Aku pun menghampirinya untuk membantunya membuat roti lapis.
"Selainya dimana Rexa ?" tanyanya lagi
Ku oleskan sedikit selai kacang ke pipi kanannya yang imut itu
"Reeeexxxaaaa....."
Aku hanya tertawa melihatnya sedikit sebal atas perlakuanku
Praankkk
"Yah pisaunya jatuh kebawah meja"
Ia seketika ingin berjongkok mencoba mengambil pisaunya kembali.
Kutahan tubuhnya agar tetap berada diatas
"Sini aku ambilin aja, dalem kayanya itu"
Tanganku pun memastikan dan mencari letak pisau yang terjatuh tadi.
Apa ini, bentuknya tidak seperti pisau, oh iya aku baru ingat bentuknya, ini seperti cincin yang sengaja dibuang ke arahku dan terjatuh disini oleh mantanku Intan, tak kusangka setelah beberapa bulan aku baru mendapatkannya.
"Kamu kok senyum-senyum sendiri Rexa, kenapa ?"
Sedari tadi Lika memang memperthatikanku merogoh mencari pisaunya.
"Enggak ini, sempit banget"
Apa ini ? Kenapa setiap dekat dengannya aku merasa seperti dikaruniai keberuntungan dari dewi fortuna, apa seperti ini caranya semesta bermain-main denganku.
"Lika, udah dapet nih, tangan kamu mana"
Ia pun langsung memberikan telapak tangannya kearahku.
Ia seperti melirik kebingungan disaat aku menarik tanganku kembali bukannya pisau yang didapat tapi sebuah benda yang kututupi dengan genggamanku.
Ku tarik telapak tangannya dengan tanganku yang lain dan kumasukan sebuah cincin tepat di jari manisnya.
"Rexa....."
Kali ini bukan hanya pipinya memerah padam, mata cantiknya pun berkaca-kaca melihat kearahku.
"Kamu mau ga jadi pacarku Lika"
Tanyaku menatap langsung kedua bola matanya yang kulihat sedikit mengeluarkan air matanya lagi.
"Kamu ga mau ya Lika, maaf aku ngebuat kamu sedih"
"Bodoh"
Ia lalu mencoba mendirikanku
"I do"
Dia langsung memelukku dengat erat. Aku pun membalas pelukannya. Lalu ia semakin kencang memelukku
"Makasih ya Rexa"
Hahahaha terima kasih Intan, tanpa bantuanmu mungkin aku tidak akan mendapatkan pelukan hangat seperti sekarang ini.
Lalu aku mengenggam telapak tangan Lika dan mengajaknya masik kedalam kamarku.
Dan kami kembali berpelukan satu sama salin.
"Rexa..."
"Mmpphhhh" kucium bibirnya yang imut itu
Jangan sekali-kali kamu memberikan senyuman yang begitu indah padaku, karena aku tak akan segan untuk melumat seluruh bibirmu.
Tiba-tiba ia juga langsung membalas ciumanku. Tidak seperti first kiss ku dengan dia kemarin karena keterpaksaan.
Kudekap lebih erat lagi pinggulnya agar tubuh kami saling bertemu.
Kujatuhkan Lika ke kasur sambil tetap kupeluk dan kucium dia agar tubuhku tidak terlepas dari tubuhnya.
"Rexa" suaranya kini sedikit melemah tidak seperti seperti biasanya.
Ia hanya bisa menahan memejamkan mata saat tanganku mulai menggerayangi kedua buah dadanya
"Rexa..."
Suaranya yang lemah lembut kini berubah menggairahkan saat telapak tanganku mencoba memasukan kedalam celana levisnya.
"Rexa, stop"
Ia menarik dan menjauhkan tanganku dari tempat terlarangnya
"Rexa, just kiss, no more, please"
Ia pun menggengam tanganku dengan lembut, raut wajahnya yang seperti menahan sesuatu membuatku tak tega melihatnya.
Ku kecup keningnya
"Lika, I swear there will be no more than this"
Ia pun kembali memelukku dengan erat.
Kubuka perlahan t-shirt hitam yang ia kenakan lalu dilanjutkan dengan membuka celana levisnya.
Wtf, akupun melihatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, sudah kubilang dari awal, ia adalah salah satu ciptaan yang paling sempurna yang pernah kutemui, walau hanya berbalut bikini saja membuatku ingin cepat-cepat mengeluarkan seluruh hasratku dan membanjirinya diatas pinggulnya.
"Rexa, aku malu"
Diangkat kedua telapak tangannya dengan sengaja untuk menutupi seluruh wajahnya.
Aku tau, disaat seperti ini pipinya pasti benar-benar merah seperti tomat yang sudah matang.
Perlahan ku genggam dan kubuka bra nya dengan sangat lembut, tanpa mengatakan apapun aku langsung melumat buah dadanya yang dikanan sedangkan disebelah kiri sudah kuremas dengan satu tanganku.
Bulat sempurna.
Itu adalah pendapatku setelah melihatnya langsung dengan kedua mataku.
"Mmpphhhhhhh...."
"Rexaa, pelan-pelan Rexaa aagghhhh"
Kuhiraukan semua perkataan yang diucapkanya padaku.
"REXA. STOP!!!"