Chereads / The Owl of Knowledge / Chapter 4 - Festival Lembah Baliem (4/Akhir dan Awal Baru)

Chapter 4 - Festival Lembah Baliem (4/Akhir dan Awal Baru)

Festival lembah Baliem diadakan untuk mengenang persatuan setelah perpecah belahan yang terjadi antara tiga suku di wilayah ini, yang saling berperang supaya merebut kekayaan alam seperti sumber air, ladang berburu, dan tempat bercocok tanam. Demi hal tersebut darah rela ditumpahkan, pembunuhan dilegalkan tanpa aturan yang ruimit. Penyerang datang ke tempat tinggal suatu suku. Bakar kediaman musuh. Bunuh. Mencuri. Memperkosa. Memperbudak. Semua hal yang menguntungkan pihak yang menang.

Namun ketika Belanda yang menjajah negeri rempah-rempah (Indonesia) sampai di lembah Baliem. Ketiga suku menyadari sesuatu yang mengancam, ancaman yang lebih berbahaya dibanding gerakan gerilya musuh bebuyutan. Suku paling kuat dan cerdik di bidang pembunuhan. Ada hal yang lebih mengancam. Yaitu menjadi budak oleh orang asing yang memiliki senjata jauh lebih berbahaya; senjata api laras panjang dan bahasa aneh kasar yang tidak mereka mengerti.

Pada malam hari yang senyap, saat kabut pagi bertahan hingga matahari tenggelam, kepala suku Dani mengutus ajudannya untuk menyampaikan surat perdamaian dan menjalin kerjasama guna mengusir bangsa Belanda dari kampung halaman mereka. Mengusir pencaruk sumber kehidupan dan daya mereka.

Dengan cara pertemuan tak bersuara di tengah malam, ketiga kepala suku sepakat berkolaborasi mengalahkan bangsa Belanda yang perlahan-lahan menjadikan mereka budak, mengambil anak gadis mereka, dihamili tanpa talian pernikahan, mengambil pemuda mereka, diperas tenaganya untuk membangun jalan raya di pusat kota jajahan.

Ketiga suku berserikat. Seperti petikan kalimat suku badui di novel milik Kakek; "Aku bertarung melawan saudaraku, aku dan saudaraku melawan sepupuku, lalu, aku, saudaraku, dan sepupuku melawan orang asing" Itulah yang terjadi kala itu. Ketiga suku saling berbagi potongan kue tanpa menyisakan untuk tamu asing mereka.

Perlawanan waktu itu sungguh mengesankan. Suku Dani dengan kegesitan mereka dan tangan terampil mereka menjadi senjata bagi koloni baru lembah Baliem, suku Yani dengan keahlian mereka dalam mengetahui macam-macam tanaman obat dan kemampuan mengolah makanan lezat menjadi badan primanya, dan suku Lani memiliki perpaduan di antara keahlian kedua suku tersebut menjadi tamengnya. Bangsa Belanda belum bersiap ketika serangan tiba-tiba dari balik semak diluncurkan, tombak dan panah beterbangan menyongsong terbitnya matahari pagi dengan lumuran darah tentara Belanda. Suku Dani merangsek maju, menusuk, menikam, membabi buta, membakar rumah-rumah kayu yang mereka bangun dengan tenaga anak lembah Baliem yang diculik. Suku Yani menyeret mundur orang yang terluka lalu mengobati. Suku Lani membantu kedua suku dengan keseimbangan keterampilan mereka. Belanda terlalu lengah, mereka kira sudah menguasai sepenuhnya wilayah dan jiwa orang-orang pribumi. Mereka kira sudah berada di puncak kemenangan. Tapi mereka salah, mereka sedang bodoh. Dan kebodohan itu mengakibatkan terbasminya seluruh bangsa mereka di lembah Baliem.

Kini untuk mengenang peristiwa persatuan di kala itu, ketiga kepala suku mengadakan Festival yang diperingati satu tahun sekali di tanggal tujuh belas agustus. Bersamaan dengan perayaan kemerdekaan Indonesia. Menjalin hubungan erat dengan mengkawin silangkan pemuda mereka dengan gadis suku lain.

Ada tradisi unik soal mencari jodoh disaat festival lembah Baliem selesai. Jika seorang pemuda mengakhiri pertandingan sebagai pemenang, maka dia bisa melamar gadis yang ia sukai dengan pencapaian itu. Cukup berdiri di tengah gelanggang festival lembah Baliem, edarkan pandangan untuk mencari gadis yang disukai. Temukan mata gadis itu, lalu tatap ia selama lima detik. Di saat mereka saling memandang, jika tiba di lima detik terakhir dan si gadis tersenyum; berarti gadis itu mau dijadikan istri oleh pemuda yang menatapnya itu.

Dan itulah ambisiku sekarang ini. Untuk memenangkan kalung bandul kerang emas dan melamar Maruna sebagai penutupnya. Alamak, pipi sawo matangnya yang tersipu terbayang, menutupi pemandangan gelanggang yang mulai memanas.

Aku berdiri tegak, kokoh, dan tangguh. Busur panah menyandang masuk di bahuku. Kepalaku sedikit terasa pusing karena kurang tidur semalam, tapi karena keadaan yang penting sekarang, aku tidak memedulikan hal itu.

Penonton banyak yang hadir; selain semua orang dari tiga suku, juga ada turis luar lembah hingga luar negeri. Kulit bule mereka seperti krim vanilla yang menjadi toping kue cokelat manis di barisan penonton. Ramai sekali orang luarnya, banyak benda yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku melihat sebuah benda kotak kecil yang dikeker dengan mata salah satu turis, sepertinya itu kamera, modelnya lebih cangging dari tahun kemarin. Ew, zaman maju dengan pesat rupanya. Tapi orang lembah Baliem sudah cukup dengan hal sederhana dan cinta yang menyelimuti wilayah ini bagaikan anugerah.

Suku Yani sudah siap, mereka memasuki gelanggang sebesar lapangan sepak bola, kaki-kaki sewarna kulit kayu unggulan mereka menapaki rumput yang mulai mengering karena mencium bau musim kemarau akan segera datang. Suku Dani walaupun belum lengkap, mereka juga memasuki gelanggang dengan muka sombong khas penakluk bangsa asing, dada mereka mengedik busung, seolah mereka bisa menang di pertandingan battle royal ini tanpa kehadiran manusia mistis mereka.

Aku dan kedua temanku mengikuti hal yang dilakukan musuh kami, melangkah masuk penuh percaya diri. Anewa memandang musuh penuh ketenangan dengan alis menggaris lurus, wajahnya tampan dibingkai rambut samping yang memanjang di samping telinga—gaya rambut semua orang di suku Lani. Nopo tersenyum lebar memperlihatkan gigi putih nan rapi, rambut sampingnya seperti telinga anjing beagle yang panjang dibalik topi bulu burung, napasnya mengeluarkan uap sup panas sarapan pagi barusan, tangan besar dan berotot; memegang perisai raksasa seberat sekitar sepuluh kilogram.

Panitia acara lembah Baliem berbicara lewat speaker (salah satu diantara benda modern di lembah Baliem), orangnya fasih berbahasa Indonesia, "Para penonton dari luar lembah Baliem, pertandaingan ini tidak berbahaya, pemukul dibalut dengan kain tebal dan ujung anak panah adalah karet yang jika kena badan akan menempel. Senjata tidak melukai sampai mengeluarkan darah, tenang saja. Adapun aturannya adalah tidak boleh memukul kepala. Itu pertama, kecuali dipanah dengan anak panah berujung karet, maka itu tidak apa-apa.

Senjata pemukul berfungsi untuk melumpuhkan, anak panah untuk mematikan jika meluncur dan menempel di bagian dada, atau dahi kepala satu kali, jika anak panah mengenai lengan sebanyak tiga kali, maka dianggap lengannya buntung tidak bisa digunakan, begitupun juga kaki. Ujung tombak tumpul dan dibalut kain lebar; fungsi tombak sama dengan fungsi anak panah, tapi dilarang menggunakan tombak di bagian kepala.

Peserta yang melanggar akan langsung dikeluarkan dan dianggap timnya kalah. Sekian dari saya. Terimakasih. Selamat menikmati gambaran perang saudara kami di zaman dulu."

Semua pemain telah masuk arena, sebuah tanda festival lembah Baliem akan dimulai. Masing-masing kepala suku berdoa atas kebaikan semua pihak di tengah gelanggang, setelah mereka selesai berdoa dan keluar lapangan. Iringan tabuh genderang perang dipukul serempak oleh kaum wanita di suku Dani, suaranya memiliki irama pembangkit jiwa, bergemuruh di hati, aku merasakan dadaku kian membusung seolah nada perang merasuki tubuhku. Semua penonton dan tukang masak suku Yani berteriak dengan nada rendah dan bertepuk tangan dengan jeda lambat, kemudian semakin lama teriakan mereka mengencang dan tepukan tangan mereka semakin cepat. Lalu teriakan dan tepukan itu berhenti secara kompak—tanda pertempuran untuk mengenang masa lalu telah dimulai.

Ini adalah peristiwa mengenang peperangan suku. Kami diwajibkan menghayati sebagai pelaku perang di masa lalu. Mengesampingkan jalinan kekerabatan dan menghapus total soal persatuan.

Kini para pemain di dalam gelanggang yang berteriak, berlari maju, dua orang kembar suku Yani berlari secepat guntur ke arah kami dengan menggenggam dua senjata pemukul mereka, meninggalkan satu orang berperisai ukuran sedang dibelakang. Pemain suku Dani hanya berjalan pelan seolah membaca situasi, mencari celah dan kesempatan, tangan mereka terampil memainkan senjata. Angan-angan kemenangan yang menari-nari dibenakku sebelumnya telah sirna. Aku berubah menjadi Bima si Pemanah ulung suku Lani yang tiada dua, mata hitamku mengkilat bergerak mencari target sekali tembak.

Aku sudah menetapkan sasaran, yaitu salah satu orang kembar suku Yani. Busur siap di posisi, tangan kananku menarik panah hingga menyentuh pipi, mataku tajam menusuk target panah.

"Mati kapala ko!" Aku berteriak, melesatkan anak panah lurus menuju kepala salah satu prajurit kembar suku Yani yang melaju cepat.