Chereads / The Owl of Knowledge / Chapter 3 - Festival Lembah Baliem (3)

Chapter 3 - Festival Lembah Baliem (3)

Aku tidur pulas sekali seperti anak kucing bergelung di samping perut induknya, sampai-sampai dengkuranku terdengar hingga memenuhi sisi ke-empat ruang di bawah kamar lotengku. Ibuku naik ke atas membawa satu ebor air dingin. Dengan lembut mengusapkan tangannya yang berbalut air dari wadah tadi ke kulit muka kuning langsatku—beda sekali dengan kulit cokelat manis punya Ibu, bahkan di lembah Baliem aku terlihat seperti tetesan susu di genangan air kopi. Aku mewarisi gen dari Ayah dan Kakek.

Ibu butuh tiga kali usapan untuk membangunkanku.

"Ibu?" suaraku terdengar seperti dengkuran bayi kucing, mengecap-ecapkan lidah seperti anak yang merindukan susuan.

Mataku hampir terpejam kembali sebelum Ibu berkata, "Sudah jam tujuh, Bima," aku melihat senyum Ibu samar dari balik rheum mata (belek), "Persiapan sana buat festival. Jangan-jangan ko lupa, kah? Ko tidak ingin buat Maruna kagum, jatuh hati sama ko?" Ibu menjewer hidungku gemas, seolah aku ini masih bayi kecilnya.

"Maruna?" gumamku.

Mendengar nama Maruna disebut rasanya beda sekali dibanding saat aku terakhir kali mendengarnya, lalu merubah pipiku semerah apel. Kini, setelah mengalami kejadian aneh semalam, nama Maruna memiliki kesan penting yang secara bersamaan juga tidak penting. Kehadiran Minerva Zach membawa tiang baru untuk pondasi menara kehidupanku; dan tiang itu terlihat sangat mewah yang unik, juga belum pernah aku bayangkan seumur hidup.

Tawa Ayah terbit dari arah ruang tamu, mungkin dia sedang mengecek perlengkapanku kembali, "Dapatkan hati Maruna, Bima, buat dia jatuh hati pada ko! Ayah suka sekali masakannya!" Ayah tertawa lagi.

"Weee! Masakanku tidak cukup buat ko, kah!?" seru Ibu sambil berjengit.

"Eh. B-bukan itu m-maksudku, Mari," Ayah panik, baru sadar salah situasi, Ibu beranjak turun sambil mengangkat daster warna cokelat pastel-motif cendrawasihnya dengan muka sebal, "Itu karena suku Yani terkenal dengan masakan resep rahasia mereka, ko tahu 'kan? kita pernah dikirimi saat perayaan lebaran, ingat?"

Kantukku sudah sedikit hilang, aku duduk di pinggiran kasur sekam, membuka bantal tidur dan melihat kembali kerikil kecil semerah darah yang menyala terang. Teringat pesan dari Zach yang mengatakan jika aku menelannya maka tubuhku akan kembali prima.

Aku menguap lebar sekali seperti singa yang malas sementara Ayah berusaha menenangkan Ibu dengan sentuhan bahu dan rayuan lembut seperti biasa, kemudian mengecup lembut kedua pipi Ibu, mungkin juga pelukan hangat di akhir.

Aku biarkan batu merah itu di bawah bantal—aku belum membutuhkannya sekarang. Menuruni tangga spiral, tiba di bawah; Ayah dan Ibu sudah akur saling merangkul.

"Ah! lihatlah kesatria panahku ini!" Ayah menghampiri, terkekeh seolah anaknya akan mendapatkan pacar hari ini, menepuk kedua sisi lenganku, "Mandi sana, nanti Ibu sama Ayah mengurus kebutuhan ko."

Aku menguap. Mengangguk dengan wajah mengantuk.

Ciri khas kostum dari suku Lani bukan terletak di topi yang berhiaskan bermacam jenis bulu burung atau celana dari pelepah daun kelapa kering, semua suku menggunakan topi seperti itu, dan celana juga seperti itu. Melainkan pola lukisan cat air di wajah yang tergambar seperti coretan kumis musang ekor sembilan di wajah Naruto jika di suku Lani. Setiap suku punya pola lukisan wajah berbeda.

satu hal lagi yang berbeda adalah senjata yang akan digunakan tiap suku, itu tergantung kreativitas masing-masing, dalam hal ini biasanya suku Dani-lah yang unggul. Mereka pintar merancang senjata sejak zaman penjajahan dulu, bahkan mereka adalah suku pertama yang membakar api semangat dan melakukan gerakan perlawanan untuk kemerdekaan di lembah Baliem.

Sekarang, aku hampir siap. Pakaian masa kini telah diganti dengan masa jadul; aku hanya menggunakan celana pendek yang ditutupi daun kelepa kering yang bentuknya seperti rok pendek. Wajahku dicoret tiga garis di kedua sisi pipi. Busur panah dimasukkan secara menyilang ke badan. Anak panah berujung tumpul disimpan ke Quiver (penyimpan panah) yang menggantung di pinggul sebelah Kanan, anak panah berjumlah dua puluh—jumlah yang sama di setiap pemanah kelompok suku yang mengikuti festival lembah Baliem. Terakhir Ibu memasangkan topi berbulu burung dengan pangkal bulu pendek berwarna putih, lalu bulu warna-warni memanjang di baliknya.

"Nah, sudah siap ko Bima," Ibu melangkah mundur, tersenyum sembari menatap wajahku, berdiri sejajar bersama Ayah sambil merangkul pinggul suaminya—Perasaan sayang Ayah terlihat ketika membalas dengan tangannya yang merangkul bahu kiri Ibu, "Gimana, anak kita gagah, to?" kata Ibu tersenyum sambil mendongak ke samping.

Ayah tertawa, bulu berewoknya yang lebat bergoyang-goyang, "Siap menaklukkan hati gadis di suku Yani! Terutama Maruna Fuifui, ya 'kan, Bima?"

Pipiku memerah, aku mengedikkan bahu. Kedua orangtuaku cekikikan gemas.

"Ah! Itu teman se-tim ko sudah datang, Bima." Ayah melihat ke luar pintu, aku menoleh. Benar kata Ayah. Mereka berdua jalan ke sini dengan kostum sempurna sepertiku, dan senjata sesuai posisinya dalam tim.

Orang dengan badan tinggi seratus delapan puluh lima (lebih tinggi dariku sepeluh centi) dan ramping itu bernama Anewa. Wajahnya tenang seperti jerapah. Gerakannya lincah, kedua lengan dan kakinya panjang, dia adalah penombak tim kami. "Kawan, ko sudah siap rupanya," kata Anewa sambil bersandar di bingkai pintu, suaranya serak dan halus, tiga coretan putih cat air juga ada di pipinya, tombak sepanjang dua meter di letakkan di dinding depan rumah.

"Berangkat sekarang?" Tanya orang berbadan sebesar gentong tanah liat raksasa. Namanya Nopo. Berpakaian seperti peserta perkelahian di lembah Baliem, Perisai selebar satu meter dan tinggi satu setengah meter—berlapis daun kuping gajah yang masih segar di bagian depannya—menempel di punggung Nopo. Dia berkacak pinggang, menyembulkan perut besarnya yang seperti bakpao gosong.

"Ah! tunggu sebentar." Aku berjalan cepat ke loteng mengambil batu merah pemberian Zach. Menyimpannya di dalam botol minum yang terbuat dari bambu sepanjang lima puluh centi meter. Menggantungnya di pinggul kiri.

Aku beranjak turun, "Aku lupa membawa botol minum," kataku. Melangkah ke luar rumah menuju halaman. Anewa mengangguk sembari tersenyum. Nopo nyengir dengan gaya masih berkacak pinggang. Dilihat dari wajah, setiap dari kami memiliki niat dan impian sendiri-sendiri, tidak semua orang mempunyai keinginan sepertiku yang ingin menarik hati setiap gadis kabilah, terutama Maruna.

Nopo melihat ke depan dari halaman rumah Honai-ku, terbentang luas pemandangan, arena lembah Baliem terlihat dari sini, rumputnya setengah kering karena musim kemarau akan tiba, bukit-bukit tinggi dengan tancapan beragam jenis pohon tinggi menjadi latar belakang gelanggang tersebut, kabut-kabut putih yang mulai memudar menyelimuti semua tempat, aliran sungai Baliem seakan menyungkup gelanggang di bagian selatannya.

Asap mengepul di pinggiran gelanggang selebar lapangan sepak bola. Itu pasti perbuatan orang-orang suku Yani yang sudah mulai memasakkan makanan untuk acara penutup nanti; biasanya daging ayam, kambing, dan sapi yang dibakar setelah diberi bumbu warna kuning, juga aneka kue-kue tradisional. Dulu pernah ada daging babi banyak sekali, namun berhubung nuansa islam mulai pekat di lembah Baliem, jumlahnya di sesuaikan dengan kuantitas penganut pemahaman lain sebagai bentuk kasih sayang dan toleransi.

"Menangkan festival ini. Semua kemauan yang wajar akan dituruti," kata Anewa.

"Hm ya!" mata Nopo masih belum teralihkan, "Aku ingin tahu resep rahasia makanan di suku Yani, biar bisa masak sendiri di rumah nanti. Kalau ko, Anewa?"

"Aku?" mata Anewa terpejam seolah memikirkan alasan hadiah apa yang ingin ia dapatkan, "Aku hanya ingin namaku terpahat di mading prajurit tangguh di pinggir lapangan Baliem sana. Kalau ko, Bima?"

Nopo menyerobot, "Semua orang Lani sudah tahu, Anewa, jangan pura-pura lupa ko. Ingatlah sama perilaku Bima yang sering mencuri pandang wajahnya Maruna!" Nopo tergelak.

Aku tersenyum, "Dapatkan gadisnya, resepnya pun ko punya." Nopo berjengit seolah baru sadar, kemudian dia beralasan lebih seru memasak sendiri. Masih terlalu muda untuk mengejar gadis perawan kabilah.

Namun walau tanpa resepnya pun aku tetap ingin menarik hati Maruna. Terbayang wajah Maruna yang seperti cokelat manis berbentuk hati, rambut hitamnya dikepang membelit ke belakang, ekspresinya seolah terlalu tersenyum walau di saat dia merenung, gerakan tubuhnya penuh kehati-hatian dan juga kesabaran. Dia mirip Ibu. Aku menyukainya dalam kesan pertama saat ia mengantar hadiah makanan di waktu lebaran.

Kami bertiga melambaikan tangan pamit. Ayah dan Ibu melakukan hal yang sama, melepas kepergian kami menuju gelanggang.

Kami telah sampai di lembah Baliem, berdiri di pinggir lapangan bagian selatan. Aku melihat pinggiran bagian barat, di sana berdiri lengkap perwakilan suku Yani; dua orang kembar pendek nan gesit, satu orang besar setinggi badanku namun lebih berisi di tengah si kembar, lukisan cat air mereka berbentuk bulat di kedua pipi warna sawo matang, wajah mereka penuh ambisi yang membuat ujung alis mereka naik. Dan anehnya, entah kenapa senjata milik suku Yani terlihat sama seperti yang digunakan suku Dani. Penuh rancangan rumit.

Di pinggir lapangan sebelah utara juga sudah hadir perwakilan dari suku Dani, satu orang berperawakan seperti Anewa dan satunya seperti Nopo, pakainnya sama, coretan cat air di pipi mereka meliuk-liuk seperti orang menangis di wajah yang datar, senjatanya lebih maju dari kami.

"Lah. Kenapa kelompok tim suku Dani kurang satu?" tanya Anewa dengan mata menyipit.

Nopo tidak mendengar pertanyaan Anewa, dia sibuk memerhatikan berbagai macam masakan yang diolah oleh orang-orang suku Yani, air liur kelaparan menetes menghiasai pipi tembamnya.

Aku tidak melihat wujud Aditya di antara mereka, dahiku mengernyit, apa dia masih bermain di dalam hutan?

Prajurit dari suku Dani yang badannya sebesar Nopo maju ke lapangan, melewati garis batas. Dia menghirup napas panjang. "Bapak kepala suku Dani, suku Yani, dan suku Lani sekalian. Kitorang akan memulai pertandingan tanpa Aditya. Kitorang tidak enak hati membuat penonton menunggu."

Gumaman menyusul dari penonton di pinggir gelanggang, hingga tukang masak suku Yani menghentikan kegiatannya.

"Korang yakin, kah?" Tanya Nopo, dengan suara yang tak kalah menggemanya dengan musuh di depan.

Yang ditanya hanya diam, wajahnya merengut dan serius. Mereka sedang tidak membual.