"Kami berasal dari kampung yang sama, kami adalah sahabat baik yang merantau ke kota" jelas Bi Yana lagi. Pancaran matanya menyembunyikan kerinduan yang dalam. Aku mengangguk-angguk mengerti. Aku juga memiliki sahabat baik yang sangat kusayangi. Kurasa aku bisa mengerti bagaimana perasaan Bi Yana.
"Kalau rindu kenapa tidak bertemu saja?" Tanyaku penasaran. Aku tidak keberatan untuk mengantar Bi Yana ke tempat sahabatnya itu kalau dia mau. Aku juga tidak keberatan memberikannya cuti beberapa hari untuk melakukan perjalanan jauh, toh aku sebenarnya tidak terlalu membutuhkan bantuan karena aku tidak benar-benar hamil.
"Tidak bisa" sahutnya lagi singkat.
"Kenapa?" Tanyaku heran. Aku kembali mengambil gelasku dan meminum isinya lagi yang tinggal sedikit.
"Dia sudah mati" ucap Bi Yana singkat. Aku sedikit terbatuk mendengar penjelasan Bi Yana barusan.
"Maaf Bi" lirihku yang merasa tidak enak padanya.