Ara melamun dikantornya. Sedaritadi dia hanya memutar-mutar kursinya ke kiri dan ke kanan sambil meletakkan ujung bolpoint di dagunya. Dia bingung haruskah dia pergi ke dokter untuk berkonsultasi?atau pasrah saja dengan nasibnya. Dia tahu jika Dariel sangat menginginkan kehadiran seorang anak bahkan hampir setiap malam sebelum tidur Dariel selalu berandai-andai menjadi seorang ayah. Rumah mereka yang sedang dibangun seolah menandakan keseuriusan Dariel yang ingin menyambut kehadiran anaknya. Ara menarik nafas pelan. Ini tak segampang yang dia pikir. Memiliki anak ternyata butuh perjuangan.
"Ra...Ara.." Chandra sudah ada didepannya membuat Ara terkejut akan kehadirannya.
"Gw udah ketuk pintu daritadi tapi ga ada nyaut."
"Eh maaf Chan..." Ara segera membenarkan posisi duduknya.
"Nih ada titipan dari suami." Chandra memberikan sebuket bunga dengan sebuah tulisan 'I Love U' dari Dariel. Ara hanya tersenyum simpul lalu beralih ke dokumennya yang Chandra berikan.
"Kenapa sih Ra?"
"Kenapa apanya?"
"Lagi banyak pikiran?ngelamun aja dari pagi." Chandra khawatir karena bagi Chandra bagaimana pun dia tahu Ara sudah melewati peristiwa yang sangat berat dan mengerikan. Chandra takut jika bosnya itu banyak melamun karena memikirkan itu.
"Engga, ga papa."
"Kalo lu butuh temen cerita, ngomong aja sama gw."
"Lagi kerja ga boleh cerita-cerita." Ara tampak seurius sambil memberikan sebuah tanda tangan di halaman terakhir dokumennya.
"Ya kali aja gitu pas istirahat atau pulang."
"Suami gw nanti curiga." Perkataan Ara disambut tawa oleh Chandra.
"Dariel sahabat gw, pake acara curiga segala."
"Farah mana sih?kok ga keliatan?"
"Dia ijin datang siang."
"Kenapa?"
"Periksain kehamilannya." Tangan Ara berhenti sejenak ketika mendengar alasan Farah tak masuk. Wajahnya menjadi sendu kembali.
"Nih udah semua."
"Bos, kemungkinan ada perjalanan Dinas ke daerah Jawa tengah."
"Kapan?"
"Minggu depan kayanya nanti saya bikin jadwalnya dulu bu." Chandra kini berbicara formal.
"Oke." Jawab singkat Ara kemudian Chandra pun pergi keluar dari ruangan atasannya itu. Mata Ara tertuju pada bunga itu lagi. Dariel selalu berusaha membuatnya senang padahal jelas-jelas Ara masih ingat bagaimana dia pernah mengkhianatinya. Kebahagiaan Dariel yang sesungguhnya hanyalah jika Ara memberikannya anak. Ara benar-benar ingin mewujudkannya entah bagaimana caranya. Kini Ara menggapai ponselnya dan mengirim pesan singkat pada suaminya sebagai ucapan terima kasih atas bunga yang dia kirim.
"Ish...pake emot cium segala jadi pingin cepet pulang." Ucap Dariel sendiri saat membaca pesan dari istrinya. Senyuman tak berhenti mengembang dari bibirnya. Ketukan pintu mengganggu kesenangannya.
"Iya masuk."
"Pak, ini dokumen yang harus dibawa nanti." Jonathan memberikan ringkasan laporannya.
"Saya pergi lusakan?"
"Iya pak."
"Nayla udah kamu kasih tahu?"
"Udah pak?"
"Sesampainya disana nanti ada yang jemput bapak dan Nayla."
"Oke makasih, tolong panggil Nayla keruangan saya."
"Siap pak." Jonathan pergi dan digantikan dengan Nayla yang masuk ruangannya.
"Lusa kita ke dinas tolong siapin semuanya, termasuk dokumen ini kamu bawa." Dariel memberikan dokumen yang sempat diberikan Jonathan tadi.
"Iya pak."
"Kamu baca-baca aja, pelajari."
"Iya pak."
"Ya udah kamu boleh balik lagi ke meja kamu."
"Pak.." Panggil Nayla.
"Iya, ada yang mau ditanyakan?"
"Apa...bapak ga papa?" Tanya Nayla membuat Dariel heran. Dia tak mengerti dengan pertanyaannya.
"Saya tahu belakangan bapak dan keluarga sedang mengalami musibah sampe bapak ngambil cuti cukup panjang. Saya cuman pastiin aja apa semuanya baik-baik aja?"
"Makasih perhatiannya. Saya dan keluarga udah jauh lebih baik sekarang. Istri saya juga udah bisa beraktivitas seperti biasa." Dariel sambil tersenyum. Dia senang adiknya itu perhatian. Nayla berjalan mendekati meja kerja Dariel.
"Aku tahu dari dulu kamu orang yang kuat. Kamu pasti bisa ngelewatin ini." Ucap Nayla sambil mengusap pelan tangan Dariel seolah memberi semangat. Ini pertama kalinya Nayla berbicara seperti ini biasanya dia selalu berbicara formal pada Dariel.
"Makasih Nay..."
"P...Pak...." Jonathan dengan ragu. Pintu yang terbuka membuat Jonathan menyaksikan dengan jelas pemandangan itu. Nayla segera menarik tangannya dan pergi.
"Kenapa Joe?"
"Ini ada satu dokumen yang ketinggalan."
"Oh...oke, makasih." Dariel menerimanya tanpa bebas sementara Jonathan pergi meninggalkannya lagi.
***
Ara berdiri diatas balkonnya sambil memandangi rumahnya yang masih dibangun disamping. Matanya tertuju pada setiap batu bata atau rangkaian kegiatan sang tukang yang begitu ahli membuat rumah masa depannya itu. Ara diam lagi. Merenung kembali padahal matahari sudah mulai tenggelam tapi pikiran Ara sepertinya belum lelah mikirkan hal itu sejak matahari terbit.
"Lagi apa sayang?" Dariel sudah berdiri disampingnya dengan wajah riang dan rambut yang basah. Dia baru selesai mandi.
"Hm...Aku lagi liatin pembangunannya aja."
"Tenang aja sayang, orang-orangnya udah aku kenal kok. Ga akan ngecewain, mereka orang yang sama waktu ngebantu bangunin rumah aku."
"Iya aku percaya cuman sesekali aku pingin liat aja."
"Oh iya Lusa aku pergi ke Batam."
"Berapa hari?"
"Paling 3 harian sayang."
"Iya, aku pergi Minggu depannya."
"Kemana?"
"Menyisir cabang aku di Jawa tengah."
"Lama dong?"
"Iya lumayan.."
"Ga bisa manja-manja dong." Dariel meraih pinggang Ara dan mencium pipinya.
"Aku disinipun ga bisa manja-manja, kamu pergi akunya dapet."
"Dapet?" Dariel mengerutkan dahinya.
"Aku lagi haid Abang Dariel." Ucapan Ara membuat ekspresi suaminya berubah. Ara dapat melihat sifat kekecewaan dalam wajah Dariel. Mungkin pikiran Dariel sama dengan Ara sebelumnya. Pikirnya akan ada kabar gembira setelah mereka berdua pulang dari Dubai. Ara dapat merasakan tangan Dariel melonggar dipinggangnya.
"Eh aku makan dulu, udah kamu simpen dimejakan?" Dariel mengalihkan pembicaraan.
"Iya, udah aku siapin, nanti aku nyusul." Ucap Ara yang tak lama melihat Dariel berjalan dengan lemas. Ara menyandarkan dirinya dibalkon. Ah... mengecewakan. Ini adalah ekspresi kekecewaan yang pertama kali Ara liat di wajah Dariel. Sebelum-sebelumnya dia tak pernah menerima respon seperti ini ketika mengatakan jika tamu bulanannya datang. Biasanya Dariel hanya akan mengeluh karena dia harus menahan untuk tak menyentuh istrinya itu selama beberapa hari tapi entah kenapa kali ini berbeda. Ara menutup pintu teras balkonnya kemudian menarik tirai dan menyalakan lampu-lampu kamarnya setelah itu dia berjalan menuruni tangga dan melihat Dariel melamun disana. Dia hanya memegangi sendoknya tanpa melakukan gerakan lainnya.
"Kenapa?makanannya ga enak ya?" Ara duduk berhadapan dengan suaminya.
"Enak kok." Dariel tersadar dan segera melahap makanannya begitupun Ara. Tak ada percakapan setelah perkataannya tadi, mereka sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Sesekali mata Ara memandang kearah wajah suaminya yang hanya fokus dengan lauk pauk yang dia masak. Ini sudah membuat selera makannya hilang tapi meninggalkan Dariel makan sendiri pun bukan ide yang bagus. Ara memilih bertahan disana meskipun hatinya dirasuki oleh berbagai macam perasaan yang tak menyenangkan.
***To Be Continue