Chereads / Please, Love Me.. / Chapter 116 - Rumah Tangga 2

Chapter 116 - Rumah Tangga 2

Setelah pertengkaran mereka kemarin malam sikap Ara memang jauh lebih dingin dan cuek. Dia tak berbicara dengan Dariel sejak malam bahkan tidurpun hanya punggung Ara yang menjadi pemandangan Dariel. Kini Dariel menatap langit-langit, tangannya dia letakkan diatas Dahi. Rumah. Itulah yang menjadi pikirannya sekarang. Dariel bangkit dari tidurnya. Dia berjalan kearah kamar mandi lalu mengambil wudhu disana. Mungkin cara ini yang paling bisa menenangkannya. Mengadu di atas sajadah mungkun bisa membantu Dariel untuk menjawab semua kegelisahannya saat ini. Dariel berdoa dengan sungguh-sungguh. Meminta kepada yang kuasa untuk diberikn solusi yang tepat dalam permasalahan yang sedang dia hadapi. Keesokan harinya sejak pagi Ara terlihat terburu-buru. Dia segera menyiapkan sarapan untuk suaminya itu sementara Ara memilih sarapan dengan selembar roti dan pergi.

"Mau kemana?"

"Ngantor."

"Sarapan dulu."

"Ini aku sarapan." Ara mengacungkan roti miliknya yang sudah tergigit.

"Ya udah tunggu aku, aku bentar lagi selesai."

"Aku bawa mobil." Ara mencari kunci mobilnya dilaci kecil dekat ruang tengah dan segera pergi ketika mendapatkannya. Oke. Ara Marah. Kini Dariel kehilangan selera makannya. Dia mengunyah dengan pelan namun makanannya tetap dia habiskan. Setelah benar-benar tak ada satupun yang tersisa di piring dia segera mencuci piring itu. Dia benar-benar seperti tinggal seorang diri lagi sekarang. Kakinya mulai berjalan menaiki tangga menuju kamar pribadinya. Dia mendakatbke arah lemari baju miliknya. Dibukanya laci lemari yang menampakkan 2 buku tabungan kemudian Dariel duduk diranjangnya sendiri. Perlahan dia membuka buku tabungannya yang menampakkan jumlah saldo yang berasal dari sebagian gajinya. Untuk buku pertama, itu merupakan tabungan pribadi yang dia gunakan untuk kesehariannya termasuk biaya pernikahannya dulu dengan Ara dia ambil dari tabungan itu. Buku kedua, itu merupakan tabungan untuk calon anak-anaknya. Dariel benar-benar sudah memikirkan masa depannya. Dia tak mau kesusahan lagi. Dia tak mau jika anak-anaknya mengalami apa yang dia rasakan dulu. Hidup susah itu memang tak enak tapi dari hidup susah itu dia tahu arti bersyukur.

"Aku ga mungkin ganggu tabungan ini." Dariel menutup buku tabungan keduanya. Jarinya tampak menghitung sesuatu sekarang.

"Apa jual mobil?jual rumah juga?Cukup ga ya?." Dariel menghitung-hitung sendiri. Meskipun dia tidak tahu bagaimana bentuk rumah yang diinginkan Ara yang jelas dia harus siap dengan harga yang pasti tak mungkin murah. Dariel menggaruk-garuk kepalanya sendiri meskipun tak pernah ada rasa gatal disana.

"Eh udah jam berapa?" Dariel memutar tangannya dan terlihat waktu sudah menunjukkan pukul set 8. Dengan cepat dia membereskan lagi bukunya lalu bersiap untuk pergi. Sepanjang perjalanan dia benar-benar terus dibayangi oleh permintaan Ara seakan ucapan Ara ikut di kursi belakang mobilnya. Memang ada benarnya juga apa kata Ara. Mereka membutuhkan yang lebih terutama ketika mereka sudah mempunyai anak nanti.

"Pagi pak.." Sapa Nayla saat Dariel baru saja melewati mejanya. Dariel hanya tersenyum dengan terus melangkahkan kakinya menuju ruang kerja. Dia membuka jas nya lalu penyimpan di tempatnya.

"Nay...keruangan saya.." Dariel segera menekan tombol otomatis yang ada ditelpon untuk menghubungi Nayla.

"Kenapa pak?"

"Tolong pesenin bunga terus kirim ke kantor istri saya."

"Baik pak." Nayla menurut dan segera melakukan instruksi Dariel. Harapan Dariel istrinya itu akan segera luluh dan berhenti kesal kepadanya.

****

"Apaan sih." Ara langsung melempar bunga itu kedalam tong sampah diruangannya saat melihat nama Dariel di kartu yang terselip disana sementara Chandra yang melihat kejadian itu hanya berdiam diri tanpa berkomentar.

"Hari ini jadwal saya apa aja sih Can?"

"Pagi ini jadwal kosong jadi ibu bisa mengecek dokumen yang harus ibu pelajari dan ibu tanda tangani, siang ada meeting dengan kepala Unit Jahit dan kemungkinan meeting berlangsung sampe sore."

"Kontrak eksklusif sama Alyssa apa udah bisa?kemarin kan saya minta supaya dia jadi icon fashionnya SC."

"Masih coba dihubungi sama tim marketing."

"Dia lagi jadi trendsetter sekarang, usahain dapet supaya penjualan kita juga meningkat. Produk baru kita harus pake dia supaya booming. Saya ga mau tahu ya Minggu itu pokoknya harus udah ada kepastian. Kamu follow up sama tim marketingnya."

"Siap Bu."

"Saya kok belum liat soal proyek iklan yang kemarin diomongin?"

"Masih proses Bu.."

"Duh.. udah berapa lama sih ini? udah deh kamu panggilin semua tim kreatif keruangan saya."

"Baik Bu."

"Semua orang pada nyebelin hari ini." Ara menggerutu sendiri sementara Chandra terheran-heran dengan perubahan sikap bosnya. Biasanya Ara tak pernah marah-marah seperti ini atau bahkan sekesal-kesalnya Ara. Dia tak pernah terlihat menggerutu dengan nada keras. Ara kini berdiri memandang jalanan diluar ruangannya. Memikirkan perdebatannya dengan Dariel soal rumah. Apa dia terlalu kejam?apa dia berlebihan marah kepada Dariel hanya karena perkara rumah?atau itu hal yang wajar?. Ara menggigit kuku tangannya dengan refleks.

"Ah...harusnya dia ngerti, Dariel suka gengsian aja." Pikir Ara lalu kembali duduk karena tim kreatif yang dia panggil sudah datang. Dia mulai mengomel pada timnya itu. Mengungkapkan kekesalannya akibat proyek iklan yang tak kunjung selesai juga sejak 2 bulan yang lalu. Timnya hanya bisa diam menerima setiap komplenan Ara. Suara Ara bahkan terdengar sampai ruangan Ethan membuat sepupunya itu ikut aneh apa yang membuat Ara sampai semarah itu.

"Kenapa Can?" Tanya Ethan begitu keluar dari ruangannya.

"Ara lagi kesel karena proyek iklan belum selesai-selesai." Chandra yang sudah akrab dengan Ethan memberitahu alasan sikap Ara.

"Sampe segitunya?"

"Ga tahu gw juga, Udah dia lagi kesel sama Dariel, Kerjaan banyak, iklan ga selesai, kontrak Alyssa belum juga dapet, Ya...tambah ngamuklah Ara."

"Oh..pantes..." Ethan mengangguk-nganggukkan kepalanya sambil melihat ke arah ruang kerja Ara.

"Tapi ga pernah sih Ara semarah ini, biasanya dia marahnya biasa aja ga sampe teriak-teriak."

"Mungkin udah dipuncaknya kali."

"Ajak keluar sana Than, cari udara seger kali aja Ara jadi rada slow.."

"Sama lu aja sana biasanya juga akrab."

"Takut gw kalo bos udah ngamuk."

"Ajakin Mia, Sonya sama Farah aja sana."

"Mereka juga pasti ga berani."

"Kali aja sesama perempuan jadi ngerti."

"Ngapain kita bingung-bingung, telepon aja Dariel suruh kesini."

"Kata lu kan dia lagi sebel sama suaminya."

"Eh iya gw lupa.."

"Kenapa lu bisa tahu?"

"Ada titipan bunga dari Dariel, bukannya seneng tapi malah dibuang sama Ara." Chandra menceritakan kejadian yang tadi dilihatnya. Tidak lama orang-orang berhamburan keluar dari ruangan Ara.

"Ganggu ga?" Ethan mulai masuk saat pintu masih terbuka.

"Eh kak ethan, engga kok. Masuk..."

"Kesel banget kayanya.."

"Ya gitulah.."

"Ngopi yuk di depan bentar, kayanya ngemil-ngemil enak." Ethan membuat Ara berpikir sejenak.

"Udah ayo, bentar doang." Ethan memaksa.

"Ya udah ayo..."

***To be continue