Chereads / Please, Love Me.. / Chapter 113 - Nayla Gumilar

Chapter 113 - Nayla Gumilar

Dariel meletakkan laptopnya dimeja setelah meeting selesai lalu melihat kearah Handphonenya yang memperlihat pesan dari istrinya. Belum juga selesai membaca pesan itu suara ketukan pintu mengganggunya.

"Iya masuk."

"Ini berkas calon sekretaris bapak. Orangnya udah datang pak, tinggal tunggu waktu untuk bapak interview."

"15 menit lagi ya suruh dia masuk."

"Baik pak." Perempuan yang bernama Anggi itu kemudian pergi dari ruangannya. Dariel segera membalas pesan Ara. Setelah itu dia duduk dan membuka dokumen yang Anggi bawa. Badannya langsung membeku bak ice batu yang berada didalam kulkas. Matanya terbelalak kaget saat melihat sebuah foto yang ada di dalam mapnya. Apa ini tak salah?Nayla gumilar. Itulah nama calon sekretaris Dariel. Saat nama itu diucapkan pintu Dariel mulai terbuka dan menampakkan adik tirinya itu. Nayla tak kalah terkejut melihat Dariel duduk disana. Anggi menutup pintunya dan kali ini Nayla segera memegang gagang pintu ruangan Dariel.

"Nay, berhenti. Ga ada ibu disini. Kita obrolin soal kerjaan. Silahkan duduk." Dariel menghentikan langkah Nayla. Dia kembali menatap dokumennya sementara Nayla mulai membalikkan badan dan duduk di kursi yang ada disana. Kepalanya menunduk menunggu Dariel berbicara. Beberapa menit berlalu Dariel mulai membuka mulutnya. Dia bertanya sesuatu yang biasa ditanyakan seorang atasan kepada bawahannya. Mulai dari hal-hal yang berkaitan dengan minat calon karyawan, pengalaman kerja sampai keahlian yang dia miliki. Dariel cukup profesional tanpa menyangkut pautkan perasaannya yang sebenarnya bergejolak sekarang. Banyak hal yang ingin dia tanyakan saat ini pada Nayla tapi semua itu dia tahan. Dia tak ingin membuat Nayla tak nyaman.

"Ini adalah tahap terakhir kamu dalam melamar kerja disini. Saya melihat kamu orang yang mau bekerja keras dan tak ada masalah dengan jam kerja disini. Kemampuan kamu dalam menguasai bahasa pun sudah terbukti dengan beberapa pengalaman kamu. Kerja disini tidak hanya membutuhkan bahasa atau waktu saja tapi kamu juga harus memahami cara kerja produksi disini karena tentu sebagai sekretaris saya harus paham dengan itu."

"Iya pak."

"Saya ga butuh orang yang langsung pintar diperusahaan saya. Saya cuman butuh orang yang mau belajar." Dariel menutup map nya kali ini lalu menatap Nayla.

"Saya ga ada keberatan dengan gaji yang kamu harapkan. Saya akan membayar sesuai itu. Kamu saya terima disini. Besok pagi kamu datang lagi, buat urusin semua administrasi dan kontrak kamu." Dariel tanpa berpikir panjang langsung menerima Nayla sebagai sekretaris pribadinya. Nayla tidak merespon. Dia hanya terdiam. Dia mungkin berpikir apakah ini baik untuknya?apa pekerjaan ini harus dia ambil atau sebaiknya dia pergi saja?. Dia tak tahu bagaimana respon orang tuanya nanti jika tahu dia bekerja di tempat Dariel.

"Saya akan memikirkannya kembali pak." Nayla dengan sopan. Sepertinya dia akan menolak tawaran ini. Itulah isi pikiran Dariel saat ini. Sebegitunyakah Nayla yang tak ingin melihatnya?.

"Apa sesi wawancaranya sudah selesai pak?"

"Iya udah selesai."

"Saya pamit." Nayla berdiri. Dariel diam menggenggam pulpennya.

"Nay..." Suara Dariel memanggil Nayla lagi yang akan menutup pintu.

"Kamu boleh menganggap kita ga ada apa-apa. Ini bener-bener soal kerjaan. Kali ini biar aku yang bantu kamu. Aku harap besok pagi kamu datang." Dariel memohon. Nayla menatapnya sebentar lalu menutup pintu itu dengan rapat. Apa yang Dariel lakukan hari ini hanya ingin membalas perbuatan baik Nayla dulu. Kalau bukan karena 2 celengannya mungkin Dariel tak bisa bertahan hidup kala itu.

****

Tidak seperti biasanya Dariel berdiri diteras balkon. Dia bahkan hanya mematung tanpa melakukan aktivitas lainnya. Dia sedang melakukan sesuatu. Sesuatu yang yang sudah menganggu pikirannya sejak semalam. Ya..Nayla. Ini tentang wanita itu. Setelah sekian lama tak pernah tahu kabar berita tentang keluarganya kini Dariel bertemu secara langsung dengan adiknya bahkan mereka mengobrol meksipun obrolan mereka tak pernah merujuk pada masa lalu Dariel.

"Riel.." Ara sudah berdiri disampingnya. Tangannya terasa lembut mengusap pelan punggung Dariel.

"Iya.."

"Kenapa diluar?."

"Lagi cari angin aja.."

"Tumben..."

"Nanti kalo nyalain AC terus muka bisa kaku sayang."

"Ah.. sehari-hari juga gitu."

"Enak aja, kamu ga tidur?."

"Mau tidur ya ditemeninlah.."

"Ya udah ayo.." Dariel berjalan masuk bersama Ara. Dia menutup rapat pintu jendela itu beserta tirainya.

"Sejak mommy kerja, mommy jarang telepon aku."

"Ya kamu dong telepon balik masa nungguin terus."

"Justru kalo aku telepon ga pernah keangkat tahu-tahu sore aja ngeh anaknya nyariin."

"Mommy kan lagi sibuk-sibuknya dikantor. Pingin tahu ini, itu apalagi ini baru bangun Adelard Group."

"Tapi aku ga suka mommy sibuk."

"Ntar juga engga. Inikan awal-awal apalagi sejak kehilangan orang tuanya mommy jadi makin seurius ngurusin bisnisnya. Gimanapun pabrik ini tuh usaha pertamanya alm.nenek kamu Ra.."

"Daddy juga pasti marah nih.."

"Apa sih, jangan dipanas-panasin loh kasian mommy."

"Sekarang saling bela ya, mommy bela kamu, kamu bela mommy."

"Ini namanya sayang..."

"Mommy kan kasian, harus ngurus Kris juga.."

"Bukannya Kris ada pengasuh sekarang?."

"Iya tapi tetep aja mommy ga minta full, lagian tub ade-ade lama banget gabungnya."

"Ya sabar dong sayang.."

"Jay kemana sih? biasanya dia yang suka protes mommy sibuk."

"Aku yakin cuman sementara, nanti aku bantuin mommy jadi kamu ga usah khawatir."

"Iya dibantuin dan kamu yang jadi sibuk."

"Engga, aku kan udah janji mau bagi waktu."

"Kalo kaya gini gimana mau punya anaknya. Aku dinas, kamu dirumah, aku dirumah kamu dinas. Sekalinya ketemu bisa aja lakuin tapi bukan dimasa yang bagus."

"Masa?."

"Iya, masa subur. Aku kan itung-itung Riel..."

"Pasti jadi tenang aja.."

"Daddy kayanya udah ga sabar pingin punya cucu.."

"Apalagi ini cucu pertama buat Daddy, buat bapak juga, pastilah paling ditunggu." Perkataan Dariel hanya disambut helaan nafas Ara. Entah kenapa memiliki anak malah menjadi beban untuk Ara belakangan ini. Dia terus memikirkan itu. Sejujurnya dia juga tak sabar ingin hamil tapi kesibukan keduanya kadang membuat dia gampang lelah dan tak terlalu menikmati sesi bercintanya.

"Lampunya dong sorry.." Ara membuat Dariel mengambil remote otomatis lampunya. Dia menekan tombol untuk mematikan lampunya dan mengganti dengan lampu tidur.

"Makasih.."

"Oke.." Dariel tersenyum sambil melihat mata Ara yang mulai terpejam sementara dirinya sama sekali belum mengantuk. Lagi-lagi pikirannya masih dihantui oleh Nayla. Apakah Nayla akan menjadi sekretarisnya?. Apakah dia mau menerima pekerjaan itu?. Apa masih ada harapan baginya untuk memperbaiki hubungan dengan Nayla atau ibunya?. Dariel benar-benar ingin tahu dengan keadaan ibunya. Dia masih peduli dengan semua itu terlepas dari betapa kejamnya mereka memperlakukan Dariel dulu.

****To be continue