Sudah sejak daritadi pagi Dariel tak terlihat di kantornya. Dia sibuk mengurusi yang lain dengan Edward dan Rey diluar kantor. Mereka ada pertemuan dengan beberapa supplier dan bertemu dengan rekan bisnis yang lainnya untuk bernegosiasi. Ara sendiri sudah pulang sejak Minggu pagi tapi Dariel belum sempat menemuinya. Dia pikir Ara membutuhkan istirahat.
"Chan, Dariel belum balik kantor?."
"Belum.."
"Rey?, Edward?."
"Belum juga.." Jawaban Chandra membuat Ara menarik nafas berat. Dia masih sibuk menandatangani semua dokumen yang sudah dari seminggu lalu dia tunggu.
"Belakangan Dariel emang sibuk Ra.."
"Coba lu duduk." Ucapan Ara membuat Chandra duduk di kursi yang ada dihadapannya.
"Selama gw pergi Dariel ngapain aja?." Tanya Ara penasaran. Chandra tersenyum.
"Kenapa lu senyum-senyum, jawab."
"Duh..nanti gw dimarahin Dariel."
"Udah buruan bilang.."
"Dia kerjalah.."
"Bohong, ada yang goda-godain ga?."
"Mana ada lagi Ra, satu gedung ini udah tahu dia punya lu."
"Kali aja ada yang nekat."
"Nyari mati kalo ada, udah kena semprot terancam dipecat pula." Canda Chandra membuat Ara tersenyum kecil.
"Tapi Ra, kemarin dia kesel jadi agak bad mood.."
"Kenapa?." Ara menatap seurius lagi.
"Dia ga suka ada yang ngomongin kalian."
"Ngomongin gimana?."
"Dariel ga ngomongin detailnya tapi intinya mereka aneh kenapa kalian bisa jadian, bisa bareng sampe ada yang ledek Dariel Gay.."
"Hah?!!, siapa? siapa yang bilang gitu?." Ara meletakkan bolpointnya dengan kesal.
"Gw ga tahu nama-namanya yang jelas, ada 5 orang laki-laki yang dia panggil."
"Kok Dariel ga cerita sih?." Ara melipat kedua tangannya di dada.
"Terus, Dariel gimana pas mereka ngomongin?."
"Kemarin-kemarin sih gw liat cuman dipanggil doang ke ruangan Dariel, kayanya cuman dinasihatin.."
"Berani-beraninya ngomongin gw.."
"Coba deh lu tanya sendiri sama Dariel, gw takut salah ngomong.."
"Kemarin-kemarin tuh dia ga ada cerita ada yang ngomongin kita Chan, gw kira semua baik-baik aja."
"Dia ga mau ganggu lu liburan katanya. Jangankan cerita, orang nelpon lu aja dia ga berani."
"Ish...apaan sih Dariel.."
"Dariel kan gitu Ra suka ga enakan."
"Ya udah deh, nib dokumennya. Makasih informasinya."
"Iya sama-sama, jangan lupa ya hari ini ada meeting sama tim pajak, tim accounting, terus marketing.."
"Barengan?."
"Engga, masing-masing satu sesi.."
"Iya.." Ara dengan wajah yang masih tampak kesal. Dia kini mencoba menghubungi Dariel tapi laki-laki itu tak menjawab panggilannya.
****
Sorenya dengan diantar supirnya Ara janjian disebuah restoran dengan Dariel. Dia pikir dia butuh keterangan lebih detail dari kekasihnya itu.
"Hei..." Sapa Dariel sambil duduk tepat disamping Ara.
"Kamu darimana aja sih?."
"Aku ada kerjaan dulu diluar.."
"Dari pagi sampe sore gini?."
"Pagi-pagi sempet ke kantor, kamunya yang ga ada." Dariel sambil meletakkan dasinya dipinggir. Tak usah banyak berbicara Dariel mengcup kepala Ara dan merangkulnya tanpa malu.
"Liburannya gimana?, seneng?."
"Iya seneng.."
"Seneng kok wajahnya gitu?."
"Habis kamu bohong sama aku."
"Bohong apa?."
"Soal ada yang ngomongin kita dikantor."
"Bukan bohong, aku emang belum cerita aja." Dariel melihat-lihat menu.
"Udah aku pesenin."
"Ya udah jangan bete dong, nanti aku cerita."
"Jangan nanti, sekarang."
"Sekarang kangen-kangenan dulu.." Dariel meletakkan salah satu tangannya diatas meja untuk menompang kepalanya. Wajahnya kini terarah untuk memandangi Ara.
"Apa?."
"Kan udah lama ga liat wajah kamu, sengaja ya cari restorannya yang privat?, pingin berduaan?." Dariel membuat Ara mencubit lengannya.
"Aww...sakit.." Ucap Dariel sambil mengusap-usap pelan bekas cubitan Ara. Tidak lama sang pelayan datang dan meletakkan semua hidangan di atas meja.
"Ayo makan.." Dariel semangat untuk menyantap makanannya. Rasanya dia sudah cukup lapar hari ini. Ara masih diam memperhatikan makanannya. Dariel memandangnya lagi.
"Udah dong, sambil makan aku cerita ya.." Dariel mengusap pelan pipi merah Ara dengan tangannya. Ara jelas merindukan sikap Dariel yang manis itu. Akhirnya setelah di bujuk mereka pun lebih memilih mengisi perut mereka terlebih dahulu sebelum mengobrol lebih jauh.
"Hari ini meeting seharian bikin pusing kepala."
"Kalo gitu makan yang banyak supaya ga pusing."
"Kaya baru ketemu makanan aja.." Ara memperhatikan bagaimana Dariel makan.
"Habis tadi ga sempet makan, cuman minum doang.."
"Gila ya makin parah kamu."
"Eh jangan marah dulu dong.."
"Sembuh dari lemburnya pindah ke istirahat."
"Engga-engga sayang cuman tadi doang."
"Sekalian aja, besok-besok ga usah pulang kerumah."
"Udah jangan bahas itu, aku mau cerita nih.."
"Ya udah gimana ceritanya."
"Ada 5 orang yang ngomongin kita, di tim marketing, tim inventory. Mereka kepo aja sama hubungan kita, mereka nyangka aku suka sama kamu karena ngincer harta kamulah, nyantet kamulah, atau aku goda-godain kamu. Mereka juga bilang aku naik jabatan gara-gara kamu dan terakhir mereka bilang aku Gay.." Dariel memberikan penjelasan apa yang dia dengar. Ara yang semula mengunyah kini meletakkan sumpit yang ada ditangannya.
"Ga kira-kira ya kalo mereka ngomong, aku pecat deh tuh karyawan kaya gitu.."
"Tenang-tenang, ku udah panggil orangnya, aku tegur mereka sayang. Aku jelasin yang mereka kepoin.."
"Riel..orang kaya gitu tuh harus dikasih pelajaran, ngomong kok seenaknya. Pake nuduh kamu Gay segala."
"Sayang, ini tuh dunia kerja. Satu hal yang wajar seorang bawahan ngomongin atasannya. Ga selamanya kok atasan di sukain sama anak buahnya. Orang satu level aja masih ada sikut-sikutan apalagi atasan sama bawahan."
"Ya tapi ga bisa gitu dong Riel, kamu mau apa selama kamu jadi atasan di omongin mereka terus?."
"Ya engga, makannya aku tegur mereka. Sekali aku denger aku kasih tahu dan aku kasih kesempatan berubah, setelah itu kalo masih gitu baru deh ada tindakan lain."
"Terus aja kasih kesempatan.." Ara dengan kesal. Kini giliran Dariel yang meletakkan sendok, garpunya.
"Sayang, kamu itu pimpinan. Ingetkan kita harus kerja profesional?. Coba kalo sekarang kamu panggil mereka, pecat mereka. Udah jelas mereka makin aja ngomongin kita yang engga-engga. Pimpinan itu harus punya dua sifat, berilmu dan berperasaan. Kalo kamu cuman pake salah satunya nanti bakalan ga seimbang. Udah biarin aja. Aku janji denger mereka ngomong gitu lagi, aku serahin sama kamu. Terserah deh mau kamu pecat kek, mau diapain.."
"Huh ..cape aku belajar sabar." Ara menghela nafas sambil menyandarkan dirinya sendiri.
"Udah makan lagi.."
"Udah ga nafsu."
"Perlu aku suapin?."
"Engga."
"Mau aku cium?."
"Apaan sih?."
"Senyum-senyum, berarti mau ya?." Dariel berhasil membuat Ara tak lagi kesal. Mulutnya masih mengunyah makanan dengan cepat seakan siap-siap untuk mencium.
"Aku makan aja." Ara mengambil lagi sumpitnya.
"Udah jangan bete-bete kenapa sih?, baru juga ketemu.." Dariel meraih bahu Ara dan merangkulnya.
"Hem.." Ara hanya menjawab singkat tanpa berdebat lagi.
***To be continue