Chereads / Cinta dalam Hijrah / Chapter 3 - Bab3 | Azam's Family

Chapter 3 - Bab3 | Azam's Family

Di sebuah ruang keluarga, terdapat empat anggota keluarga yang sedang asik menonton salah satu siaran televisi. Namun, di antara empat orang itu, hanya satu orang yang sedang sibuk menghafal Al-Quran.

Melihat kakaknya sibuk dengan Al-Quran, sang adik berdecak, "Ck. Serius amat sih ka," komentarnya.

Sang kakak tidak menanggapi, dan hanya membalasnya dengan senyuman.

"Tuh liat si Zidan. Lama-lama, keliatan banget mirip kamunya," ucap Aisyah, uminya Azam dan Zidan.

Faqih, yang berstatus sebagai suami serta ayah tersenyum jail. "Sudah cukup ya, Zahra sama Azam sikapnya jutek kaya kamu."

Aisyah mengerucutkan bibirnya. "Ish! Nanti gimana kalo Zidan suka godain cewe yang bukan mahramnya kaya kamu dulu, huh? Awas ya, Umi ga akan tanggung jawab."

Faqih merangkul sang istri. "Ya gapapa dong," ucap Faqih sambil tersenyum jail dan dibalas dengan injakkan cinta dari Aisyah. "Sakit ihh."

"Yang penting kan, Abi gak pernah ngajarin anak-anak pacaran. Abi mah ngajarinnya nikah muda, ehehe." Faqih tertawa lepas, sedangkan Aisyah mengerucutkan bibirnya.

"Eh, umi, abi, liat nih. Nashilla cantik kan?" tanya Zidan sambil memperlihatkan instagram seseorang di ponselnya.

Dengan cepat, Aisyah merebut ponsel milik Zidan. "Ih umi mah gituu," keluh Zidan sambil mengerucutkan bibirnya.

"Kamu tau zina kan? Mata itu zinanya dengan melihat. Kalo kamu stalking instagram cewe mulu, mau sampai kapan ngumpulin dosanya, huh? Mata kamu tolong dijaga, ya," ucap Aisyah tegas yang membuat Zidan tak dapat membalas.

"Udah dong Umi yang cantiknya sedunia. Jangan marah mulu, kasian kan Zidannya," ucap Faqih.

"Lagian nih ya, Zidan itu bukan cuma suka sama Nashilla. Zidan nanti mau ngelamar Nashilla kalo udah lulus SMA." Zidan tersenyum jail ke arah orang tuanya.

"Kamu itu, masih kelas 10 SMA Zidan sayang. Jangan dulu mikirin nikah. Lebih baik kamu banyak-banyak belajar agama dulu," ucap Aisyah sambil mengelus kepala Zidan.

Zidan menyengir kuda yang menampilkan sederet gigi putihnya. "Tapi Umi, dulu Abi pernah nyuruh Zidan buat nikah muda," ucap Zidan polos.

"Iiih, Abi mah gak usah di dengerin. Asal kamu tau Nak, dulu Umi nangis gara-gara Abi suka godain Umi. Dan saat itu belum ada ikatan halal, gimana Umi gak kesel coba?"

Zidan menatap Faqih sekilas. "Abi nakal juga ya, Mi? pantesan aja Zidan sekarang kaya gini, orang Abinya juga dulu kaya gitu," ucapan Zidan kali ini membuat Aisyah terkekeh.

"Tapi kan sekarang Umi sama Abi sudah halal. Jadi bebas mau ngapa-ngapain juga," ucap Faqih sambil mencubit gemas pipi Aisyah.

Aisyah menginjak Faqih lagi dan berkata, "Sakit ih, maen cubit-cubit aja."

"Aku juga sakit, diinjek kamu."

"Ah yaudah deh, kalo Umi sama Abi mau pacaran, di kamar aja. Zidan mau sholat Ashar dulu."

Aisyah menatap tajam Zidan yang berlari meninggalkan ruang keluarga. "Zidaaaannn!!!!!"

"Kenapa sih, Mi?" tanya Azam yang tiba-tiba mengalihkan pandangannya pada Umi dan Abinya.

"Tuh liat adik kamu, udah jam lima sore baru mau sholat," ucap Aisyah emosi.

Tiba-tiba, ponsel milik Faqih bergetar. Ternyata ada telepon dari seseorang, dengan cepat, Faqih pergi ke teras rumah untuk mengangkatnya.

"Umi. Emang dulu Umi jutek ya sama Abi?" tanya Azam sambil menghampiri Uminya.

"Kamu liat aja kakak kamu, Zahra, juteknya kaya gimana. Tapi, Umi lebih parah daripada dia."

"Ooh... pantesan ka Zahra kalo ketemu ikhwan suka judes, ternyata Umi yang mewariskan sifatnya."

Selang beberapa menit, Faqih kembali lagi ke ruang keluarga sambil menyimpan kembali ponselnya ke saku celananya.

"Telepon dari siapa, Bi?" tanya Aisyah penasaran.

"Dari cewe," ucap Faqih ketus.

"Oh," respon Aisyah singkat sambil bangkit dari duduknya.

Faqih tau saat itu Aisyah marah. Dia langsung menarik lengan Aisyah hingga Aisyah terduduk. "Umi gak usah cemburu gitu dong. Abi Cuma bercanda kok, hehe."

Aisyah mengerucutkan bibirnya yang membuat Faqih gemas. "Bercanda ya? Haha, gak lucu!" ucap Aisyah.

"Ih Umii, jangan ngambek dong. Nanti cantiknya luntur loh," goda Faqih sambil mencubit pipi Aisyah.

"Bener kata Zidan Mi, kalo mau pacaran mending di kamar aja," protes Azam.

Faqih menatap Aisyah dengan tatapan jail, sambil mengangkat kedua alisnya.

"Eh iya, Abi lupa. Tadi itu temen Abi nelpon, katanya dia minta biar anaknya diajarin ngaji. Kamu mau kan, ngajarin anaknya ngaji, Zam?" tanya Faqih pada Azam.

Azam berpikir sejenak. "Tapi kan, Azam nanti harus balik lagi ke pesantren, Bi."

"Kalo gitu, setiap habis beres sholat Ashar di pesantren, kamu langsung ke rumah temennya Abi aja. Kamu ga perlu ikut kegiatan sore, kalo masalah adzan itu biar Hikam aja yang ngurusin," ucap Faqih panjang kali lebar.

Azam tersenyum. Dia hanya diam. Jika Azam menolak, tentu dia merasa tak enak kepada Abinya. Hingga akhirnya, Azam menyetujuinya. Sebenarnya, Azam sedikit keberatan, karena waktu untuk membaca Al-Qurannya di masjid utama pada waktu ashar terganggu oleh mengajar anak dari teman Abinya.

Azam. Begitulah orang memanggilnya. Seorang lelaki berkaca mata yang selalu santai menghadapi berbagai macam hal. Senyumannya yang manis, membuat hati siapapun terjatuh padanya. Keramahannya, membuat semua orang semakin mengaguminya, termasuk kaum Hawa di Pesantren Al-Ikhlas. Membaca, membaca, dan membaca Al-Quran sudah menjadi hobinya sejak masih kecil. Semua orang akan sangat kesulitan jika ditugaskan untuk mencari keburukan dari seorang Azam. Ibarat, semua kebaikan yang ada pada Umi dan Abinya diwariskan padanya.

"Assalamualaikum, Om Faqih, Tante Aisyah, dan Azam," salam itu terucapkan oleh seorang lelaki yang baru saja memasuki rumah mereka.

"Waalaikumussalam, Dhan," jawab semua yang di sapa.

"Ada apa nih? Tumben amat Ente dateng kemari?" tanya Azam pada saudara sepupunya itu.

"Ini, Ane bawa kue buatan Umi. Dimakan ya Umi Aisyah, dijamin enak," ucap Ardhan.

Aisyah tersenyum. "Kue buatan Umi kamu memang paling enak kok," puji Aisyah.

"Dhan, Ane punya buku hadist sahih yang baru tuh, Ente mau baca gak?" tanya Azam.

Ardhan tertarik. "Hmm... boleh juga tuh, Zam," ucap Ardhan.

"Yaudah, kita ke kamar Ane," ajak Azam.

Begitulah Azam yang selalu mengajak sepupunya itu mempelajari suatu buku, apalagi buku tentang hadist, Azam menyukainya. Hampir setiap hari mereka mempelajari serta memahami hadist-hadist yang berada dalam buku. Azam berusaha mengumpulkan ilmu agama sebanyak mungkin, agar salah satu cita-citanya dapat terwujud. Yaitu menjadi dokter setelah lulus kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Insyaallah.

"Zidan kemana, Zam?" tanya Ardhan yang berhasil membuat Azam tidak fokus lagi membaca buku.

"Zidan lagi di kamarnya, tadi sih dia sholat. Sekarang, mungkin dia lagi muraja'ah hafalannya," ucap Azam sambil kembali memfokuskan dirinya pada buku.

"Oh iya, hubungan Ente sama Fatimah, gimana?" tanya Ardhan.

Mendengar itu, Azam langsung menutup bukunya. "Fatimah temen masa kecil Ane, apa Fatimah anaknya Tante Qori?"

"Fatimah temen masa kecil Ente, Zam," jelas Ardhan.

Seketika, wajah Azam berubah menjadi lesu. "Ya gitu," jawab Azam singkat.

"Gitu gimana, Zam?" tanya Azam lagi.

"Bisa gak, Ente gak nanyain dia dulu? Ane sama dia itu gak mungkin ketemu lagi, dia juga mungkin udah lupa sama Ane," ucap Azam lesu.

Ardhan menepuk pelan pundak Azam. "Tapi Ane yakin, kalo Ente sama Fatimah temen masa kecil Ente bakal ketemu lagi," ucap Ardhan seakan memberi semangat kepada Azam.

Azam tersenyum tipis. "Bi iznillah," lirih Azam.

Di rumah yang sama, namun berbeda ruangan, ada sepasang kekasih halal sedang mencicipi kue buatan Almira -uminya Ardhan. Dengan manja, Faqih meminta agar Aisyah menyuapinya. Begitulah Faqih, yang selalu meminta agar sang istri, Aisyah, menyuapinya.

"Ish! Manja amat sih kamu, selalu aja minta disuapin," ucap Aisyah sambil memasukan sepotong kue ke mulut Faqih.

Faqih tersenyum jail kepada Aisyah. "Gapapa kali, Mi, lagian kan anak-anak kita udah pada besar, jadi gak perlu disuapin lagi. Nah, daripada Umi gak nyuapin siapa-siapa, mending nyuapin Abi yang imut nan manis ini, yakan?" ucap Faqih sambil mengangkat sebelah alisnya.

Sedangkan Aisyah saat itu sedang berusaha menahan senyumnya yang semakin lama semakin mengembang.

"Ih Umi, makin sayang deh kalo wajahnya udah merah," ucap Faqih gemas, sambil mencubit pipi Aisyah.

"Udah selesai, ngegodanya?" tanya Aisyah.

Faqih menggelengkan kepalanya sambil tersenyum jail pada Aisyah. "Uhibbuki fillah istri dan Uminya anak-anak Abi," ucap Faqih sambil merangkul Aisyah.

Aisyah tersenyum, manis sekali. "Anak-anak kita, Hubby."

"Maksud Abi itu, hehe. Eh tunggu, sejak kapan Umi manggil Abi Hubby lagi?" tanya Faqih.

Aisyah menahan senyumnya. "Barusan."

"Ah, Abi sangat merindukan panggilan itu. Semenjak kita punya anak, panggilan kita udah berubah menjadi Umi-Abi. Tapi, Umi tetep Humairahnya Muhammad Faqih Ath-Thalib ko," goda Faqih yang berhasil membuat wajah Aisyah berubah warna menjadi merah muda.

"Udah ah, jadi merah gini, kan wajah Uminya," ucap Aisyah sambil tersenyum malu.

Faqih tersenyum jail. "Ya gapapa lah Umi, lagian kalo Abi liat wajah Umi yang merah gini, makin nambah cinta Abi ke Umi."

"Kita udah tua ya, Bi?" ucap Aisyah mengalihkan pembicaraan, lebih tepatnya agar wajahnya tidak memerah lagi.

"Iya, kita udah tua. Tugas kita adalah terus mendidik anak-anak kita, menjadi anak yang shalih shalihah. Agar kelak, mereka dapat menjadi alasan, masuknya kita ke surgaNya Allah."

Aisyah mulai menitikan air matanya. "Uhibbuka fillah ya Hubby," ucap Aisyah.

"Nanti di surga, kita kumpul bareng yah Humairah, sama Zahra, Azam, Zidan, dan semua keluarga kita," ucap Faqih bergetar menahan tangis.

Tangis Aisyah semakin menjadi-jadi hingga kemudian Faqih memeluknya. Mereka merasa, bahwa waktu begitu cepat berlalu. Dan tanpa mereka sadari, bahwa kini anak-anaknya sudah hampir dewasa. Kelak, anak-anaknya yang akan melanjutkan kisah. Dari sini kah, kisah akan dimulai?

***