"Gila!! Ini kerudung, apa mukena sih?" tanya Syifa.
"Ini kerudung ko, Syifa. Kamu akan lebih terlihat cantik jika mengenakannya," ucap Nisa sambil tersenyum.
Syifa menatap gadis dihadapannya. Bergamis panjang, serta kerudung lebar berwarna senada dengan gamisnya−biru. Gadis itu terlihat sangat anggun, hingga membuat Syifa tertegun. Cantik dan manis. Lelaki manapun tak akan bisa tahan dengan kecantikannya. Gadis dihadapannya itu bernama Asyifa.
"Ini beneran kamu, Syifa?" tanya Nisa tak percaya.
"Lo bisa liat sendiri, kan kalo ini gue?"
"Masyaallah, Syifa cantik sekali. Kamu pake ini, yah, sampe rumah," pinta Nisa.
Syifa seperti berpikir sejenak, "Ih, pake baju serba lebar gini tuh, ribet, tau gak?" keluh Syifa.
Nisa tersenyum. "Nanti juga Syifa akan terbiasa, insyaallah. Jika Syifa membiasakannya," ucap Nisa lembut.
"Ih! Males bener. Gue gak mau!" tolak Syifa.
"Yaudah. Umi mau belanja makanan dulu, Syifa mau ikut ga?" tanya Nisa.
"Engga ah! Nanti kita ketemuan aja di parkiran, gue juga mau liat-liat ke sana dulu," ucap Syifa sambil menunjuk kea tempat aksesoris handphone.
Nisa tersenyum lega."Kalo gitu, kamu hati-hati ya shalihah. Nanti umi telpon kamu kalo belanjanya udah selesai."
"Iya iya."
Begitu bahagianya hati Nisa, ketika anak tirinya ini bersikap lebih baik dari biasanya. Syukurlan, semoga Syifa bisa terus seperti itu. Meski berbicaranya masih judes.
***
Syifa berjalan, melewati berbagai toko di Mall. Dia merasa nyaman mengenakan jilbab, walau itu pertama kalinya. Ia merasa tubuhnya seperti dilindungi oleh jilbab. ketika ia sedang berjalan, tiba-tiba, langkahnya terhenti.
"Hey gengs. Mata gue masih sehat, kan?" tanya gadis bernama Fiany kepada teman-temannya.
"Mata lo masih sehat ko Fi. Si gadis pemberani ini pake jilbab, gak salah? Apa kita lagi mimpi?" tanya Rara−salah satu pengikut Fiany.
"Kita gak mimpi Ra. Dia beneran pake jilbab. Eh iya, lo kesambet apaan? Ko bisa sampe pake mukena gitu? Bhahaha," tawa Fiany dan kedua temannya pecah.
Syifa hanya bisa diam. Entahlah, dia merasa sulit menjawab untuk kali ini.
"Sekarang, gadis PHO ini udah insaf kali Fi, buktinya, dia dari tadi gak ngejawab komentaran dari lo. Biasanya kan, mulutnya itu kaya mobil yang rem nya blong, hahaha," tawa Flo.
"Lucu banget sih si gadis PHO ini. Iiih! Jadi makin seneng deh, ngebully nya," ucap Fiany sambil tertawa pahit.
"Fiany... Kasian Bu Ustadzahnya," komentar Rara.
"Bhahaha, apa lo bilang? Bu Ustadzah? Masa ada sih, Ustadzah PHO!! Udah yu gengs, kita cabut," ucap Fiany sambil tertawa puas melihat Syifa.
"Yuppss."
Tak terasa, air mata Syifa menitik. Seperti ada beribu-ribu duri yang menusuk hatinya. Air matanya sudah menggenang, hingga akhirnya meluncur dengan bebas di pipi Syifa. Syifa mengepalkan tangannya erat, berharap bisa membalas Fiany and the geng.
Syifa berlari, entah akan berlari kemana. Dia ingin berteriak, sekeras-kerasnya. Air matanya terus berjatuhan. Dia sampai tak memperhatikan jalan, hingga akhirnya...
BRUUKK...
Syifa terjatuh. "Aww." Syifa meringis kesakitan di lantai.
"Aduh, sorry, gue gak sengaja," ucap seseorang yang tak sengaja bertabrakan dengan Syifa.
Syifa masih meringis karena sepertinya ada yang lecet di bagian sikunya.
"Lo gapapa, kan?" tanya lelaki yang menabraknya, sedangkan Syifa masih menunduk.
"Lain kali, kalo jalan tuh matanya dipake dong! Orang lagi kesel, malah nambahin keselnya aja," gerutu Syifa sambil menoleh reflek ke arah leleki itu.
"Loh, Sy...Syifa?" ucap lelaki itu tak percaya.
Syifa mengerutkan dahinya. "Ka Bagas?" ucap Syifa sambil menyeka air matanya.
Bagas masih melongo tak percaya melihat Syifa dengan jilbab yang menyelimutinya.
"Ka Bagas?" Syifa menggoyangkan bahunya. "Iiih, kesel deh."
"Ka kamu beneran Syifa, kan?" tanya Bagas meyakinkan.
Syifa memutar bola matanya kesal, lantas bangkit dari duduknya. "Gue bukan Syifa! Tapi gue itu Fafa pacarnya Bagas Pratama." Kemudian Syifa melangkahkan kakinya untuk pergi, namun nihil. Tangannya berhasil ditarik oleh Bagas.
"Fafa kenapa nangis?" tanya Bagas yang lebih mengutamakan keadaan Syifa daripada bertanya tentang pakaiannya.
"Bukan urusan lo!"
"Tapi gue pacarnya."
"Lo gak perlu tau."
"Tapi gue berhak tau."
"Kenapa?"
"Karena gue menyayanginya."
Perkataan Bagas yang itu, membuat Syifa membeku. Di saat-saat yang bagi Syifa menyakitkan, cuma Bagas yang bisa membuatnya senang. Betapa beruntungnya ia, bisa mendapatkan pacar seperti Bagas.
Syifa menarik tangan Bagas menuju bangku yang telah difasilitasi oleh Mall. Mereka duduk, tangan mereka masih bersatu. Syifa memeluk Bagas, kemudian Bagas membalasnya.
"Fafa kenapa nangis, huh?" tanya Bagas sambil mengelus kepala Syifa yang kali ini tertutup kerudung.
Syifa melepas pelukannya. "Gue gapapa. Percaya deh, sama gue. Dibully gara-gara pake jilbab, itu seakan menjadi hal yang wajar."
"Mereka siapa?"
"Lo gak perlu tau. Yang lo harus tau, gue bener-bener seneng. Di saat gue sedih kaya gini, ada lo yang setia," ucap Syifa sambil tersenyum.
Bagas membalas senyumannya. Dia memperhatikan Syifa yang pakaiannya lebih tertutup. Senyumnya semakin mengembang, karena ia begitu senang melihat sang kekasih mengenakan pakaian yang memang seharusnya ia kenakan.
"Lo gak suka, gue pake jilbab? Tenang aja, nanti juga gue ganti lagi, kok. Gue tau, lo pasti malu kan, jalan sama cewe berjilbab kay- " ucap Syifa terhenti saat telunjuk Bagas mendarat di bibirnya.
"Sssstttt... Bagas makin sayang sama Syifa yang sekarang. Percayalah..."
Bluish...
***
Sebuah Ferarri drop-top (tanpa atap) yang bermesin V12 itu terparkir rapi di garasi bersama dengan beberapa koleksi mobil sport yang lainnya seperti Lamborghini dan Ford GT. Namun, di antara beberapa mobil mewah yang dimiliki keluarga Arif, hanya Ferarri yang Syifa sukai. Ferarri 550 Barchetta drop-out itu adalah mobil kesayangan Syifa. Mungkin, hanya Syifa yang memiliki mobil itu di Indonesia. Pasalnya, mobil itu diproduksi dengan amat terbatas.
Syifa melajukan Ferarri nya itu menuju sekolah. Dengan rambut yang dibiarkannya tergerai, serta make up natural yang selalu ia poleskan pada wajahnya. Menikmati angin pagi, serta menghirup udara segar di pagi hari. Ferarri drop-top itu membiarkan rambutnya terbawa angin.
Hingga akhirnya, Ferarri itu terparkir di parkiran sekolah. Setelah memarkirkan mobilnya, Syifa mengambil tas nya dan langsung bergegas pergi ke kelas.
"Mampus, lo Fa!" ucap Alya tiba-tiba saat Syifa baru saja masuk ke kelas.
Syifa mengernyitkan dahinya. "Mampus apaan sih?" tanya Syifa santai.
"Lo selalu aja tenang. Sekarang kan nyetor hafalan yang kemarin." Alya panic.
"Oooh. Ya udah lah, santai aja kali."
"Ish! Kalo lo gak hafal lima ayat pertama surat Al-Jumu'ah, daftar nilai lo pasti udah di kosongin Pa Yusuf." Alya menakut-nakuti Syifa.
Syifa berdecak kesal. "Tenang aja lah. Daftar nilai hafalan kelas kita kan emang selalu kosong. Toh, banyak juga kan yang ga peduli."
"Ish! Masalahnya, nilai rapot juga bakal dikosongin," ucap Alya panik.
Syifa sedikit menimbang-nimbang perkataan Alya barusan.
***
Begitu bahagianya seorang Syifa dan seluruh murid kelas 10 IPA2, saat Pa Yusuf tak masuk ke kelas dengan alasan sakit. Syifa menghembuskan nafasnya lega saat mengetahui itu. Ia juga tersenyum puas, bisa terbebas dari salah satu guru yang selalu menceramahi dirinya, dan teman-teman di kelasnya.
Hari sudah semakin siang, semua mmurid mulai berhamuran keluar kelas untuk pulang. Perlahan, Om Tio−satpam− membuka gerbang sekolah. Gerbang itu bagi sebagian murid ibarat gerbang menuju Surga, bagaimana tidak? Di luar sana semuanya bisa bebas bermain, nongkrong di warung pinggir jalan, ke Mall, dan lain-lain. Sedangkan di area sekolah, tak ada yang membahagiakan bagi mereka. Yang mereka lakukan di dalamnya hanya belajar, belajar, dan belajar, bak di siksa hingga membuat otak migraine.
"Kok lo bawa mobil sih?" tanya Bagas pada Syifa sambil menampakan raut wajah kesalnya.
Syifa mengernyitkan dahinya. "Lah, emangnya kenapa? Ya terserah gue kali."
"Ya, kan, kalo Fafa bawa mobil, kita gak bisa pulang bareng lagi, Fa."
"Ih, gue udah lama ga naik mobil kesayangan gue ini. Gue kangen banget sama mobil ini," keluh Syifa.
"Kamu lebih sayang sama mobil kamu, daripada sama aku?" tanya Bagas.
Syifa menyengir kuda, menampilkan sederet gigi putihnya. "Ka Bagas lebih Fafa sayangi kok."
"Hmm, ko kerudungnya ga dipake lagi sih?" tanya Bagas.
Syifa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Emm, gak jadi makenya, ehehe."
"Kenapa?"
"Gue takut lo malu, punya pacar pake kerudung."
"Kan udah gue bilang, gue ga bakal malu. Justru gue seneng kalo punya pacar shalehah. Dan gue ga akan tinggal diam kalo pacar gue dibully hanya gara-gara mengenakan apa yang emang seharusnya ia pakai."
Syifa hanya diam.
"Hmm. Yaudah. Kamu sekarang harus pulang cepet. Gak boleh ke kafe, ke Mall, apalagi ke klub lagi," ucap Bagas tegas.
"Hah? Apa lo bilang? Lo gak salah?"
Bagas menggelengkan kepalanya. "Setiap pulang sekolah, kamu harus belajar ngaji. Itu pesan dari ayah kamu Fa."
"Lama-lama, Ka Bagas kaya ayah! Suka ngatur-ngatur hidup orang, Syifa gak suka!"
"Ini demi nilai agama kamu Asyifa," ucap Bagas lembut.
Syifa mendelikan matanya malas. "Terserah lo, ya. Gue gamau pulang, ntar malem, gue mau ke klub lagi!"
"Apa kamu tuli? Kakak udah bilang, kalo kamu ke tempat itu lagi, kakak bakal marah sama kamu."
"Setidaknya, gue gamau belajar ngaji. Titik, gapake koma, apalagi tanpa koma."
Bagas mengusap rambutnya kasar, begitu sulitnya mengajak Syifa pada kebaikan.
"Kalo gitu, terserah kamu aja! Kakak ga akan tanggung jawab kalo misalnya semua fasilitas termasuk ferarri yang Ayah kamu kasih akan di sita selama 6 bulan!" ucap Bagas ketus.
Mendengar nada suara Bagas ketus, tiba-tiba Syifa terdiam. Dia merasa tidak enak pada Bagas. Syifa terus berdecak kesal. Kemarin, Syifa meng-iya-kan akan belajar mengaji, karena hanya ingin meyakinkan ayahnya saja. Sebenarnya, dia tak memiliki niat sedikitpun untuk belajar mengaji. Namun, jika Bagas sudah marah seperti ini, Syifa tak akan bisa menolak lagi. Ya. Syifa hanya bisa nurut langsung pada perintah Bagas.
"Iya deh, gue bakal belajar ngaji." Syifa pasrah dengan terpaksa.
Bagas tersenyum. "Nah, gitu dong. Kan sholehahnya keliatan kalo Fafa ngaji, kakak juga makin sayang sama Fafa."
Syifa tersipu malu. "Ish! Kakak bisa aja."
Bagas menertawakan wajah Syifa yang sudah memerah, sedangkan Syifa hanya diam sambil menampakkan wajah kesalnya.
"Woyy! Pacaran aja lu berdua," ucap seseorang yang menghampiri Syifa dan Bagas.
"Sirik aja lo, Ka," ucap Syifa ketus.
"Mau kemana, Ham?" tanya Bagas pada lelaki yang menjadi sahabatnya itu.
"Kaya biasa lah, gue mau ke kafe, abis itu ke klub deh," ucap lelaki itu santai.
Syifa menatap tajam lelaki itu. "Gue bilangin Ayah loh, kalo lo ke klub lagi," ancam Syifa.
Lelaki itu memutar bola matanya malas. "Gue gak peduli, Fa! Aduin aja sana ke Ayah."
Begitulah Ilham yang memiliki sikap tak berbeda jauh dengan Syifa. Adik-kakak yang tak pernah luput dari kata 'berantem' itu memang hanya diberikan ilmu agama sedikit oleh orang tuanya. Apalagi ketika ayah dan bunda kandung mereka selalu berantem tepat di hadapan mereka. Namun itu dulu, sebelum keduanya bercerai. Sekarang, Ayahnya menikah dengan wanita lemah lembut bernama Nisa.
Sikap Ilham pada Nisa memang tak separah Syifa yang selalu membentaknya. Namun, sikap tidak pedulinya sangatlah melekat pada diri Ilham. Pulang larut malam−lebih tepatnya karena pergi ke klub−, sudah menjadi kebiasaan Ilham semenjak orang tuanya bercerai. Sama seperti alasan Syifa, dia merasa bebas disana. Ayahnya sudah pusing memikirkan anak lelaki satu-satunya itu.
***