Chereads / TURNING PAGE / Chapter 1 - Satu

TURNING PAGE

🇮🇩pinkansavitri
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 10.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Satu

Orang bilang, kisah cinta bahagia selamanya itu tidak benar-benar ada. Tapi terkadang, aku percaya bahwa itu bisa saja ada. Atau mungkin saja terjadi. Dan dalam kasusku, lebih dari satu kali ibuku akan berkata bahwa kisah cinta dan bahagia selamanya adalah dua hal yang harus terus kuperjuangkan. Dan kurasa dia benar. Aku terlalu percaya pada kisah Putri Tidur dengan Pangeran yang rela menerobos semak dan tumbuhan berduri, atau Rapunzel dengan Pangerannya, yang rela memanjat menara tinggi demi menyelamatkan Rapunzel yang ditawan penyihir jahat.

xxx

Aku pernah jatuh cinta. Beberapa kali. Dan mungkin lebih sering daripada teman sebayaku yang lain.

Aku jatuh cinta pertama kali saat duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu aku jatuh cinta dengan teman sebangkuku, Mike Thompson. Dia cowok terkeren yang ada di kelas kami dulu. Dia selalu memakai kacamata dan hoodie yang dikancingkan hingga menutupi lehernya yang putih. Dia selalu memberi kesan misterius dan selalu membuat kami ingin berada dekat dengannya. Satu hal tentang Mike yang membuatku mundur saat itu?! Dia pecinta serangga, dan aku jelas membenci serangga! Yikes! Aku selalu menangis saat melihat kecoa terbang dan selalu mendramatisir tangisanku hingga dad berjanji akan memberiku es krim stroberi setelahnya.

Saat lulus dari sekolah dasar, ayah mendapat tugas untuk pindah ke kota yang sangat jauh--jauh menurutku, paling tidak. Ayah membawa kami sekeluarga pindah ke Beverly, kota yang sangat kering dan aku benci dengan Beverly yang hampir setiap tiga hari sekali diserang badai pasir. Kulitku menjadi jauh lebih hitam dan semua orang tampaknya menjauhiku.

Hal paling baik dan kusuka dari Beverly adalah teman sekelasku di tingkat satu. Dia Jose Garfield, yang ayahnya adalah seorang diplomat. Sama sepertiku, dia juga baru saja pindah ke Beverly karena ayahnya mendapatkan tugas baru di Beverly selama tiga tahun.

Jose Garfield adalah hal terbaik yang pernah dimiliki oleh Beverly dalam kacamataku. Dia tidak banyak bicara, selalu menatap datar apapun yang melintas di depan wajahnya, suaranya renyah seperti suara remahan kripik kentang yang belum terkena angin terlalu lama, dan kulitnya yang berwarna kecokelatan sangat pas dengan Beverly yang sangat terik dan gersang.

Dia hebat. Dia berbakat. Dia pintar. Dan aku jatuh cinta padanya.

Kami menjadi teman baik. Dia satu-satunya teman sekelasku yang mau berbagi meja di hari pertamaku sebagai murid baru, satu-satunya teman sekelasku yang bersedia menemaniku ke toko buku yang berjarak lima kilo dari sekolah kami, berjalan kaki, demi membeli alat tulis dan juga karton besar yang akan kugunakan untuk memuat artikel baru di mading sekolah.

Menjelang hari kelulusan, sikapnya berubah dan dia tampak menjaga jarak dariku. Aku bertanya apa yang salah, dan seingatku, Jose selalu menggelengkan kepala tanpa benar-benar menjawab pertanyaan yang kulontarkan untuknya.

Kami lulus dari Beverly Middle School dan aku tidak tahu kabar tentang Jose setelahnya karena ayah mendapat tugas baru lainnya, di kota yang baru lainnya.

Jadi di sini lah aku sekarang. Fall Tower, kota ke tiga yang kami singgahi karena ayah baru saja dipindah tugaskan di tempat yang baru.

Lagi...

"Jadi, bagaimana menurutmu?!"

Aku tahu Adrian berharap aku menjawabnya dengan kata bagus, sambil mengacungkan kedua ibu jari dan tersenyum lebar seolah natal datang lebih cepat.

Tapi tidak.

Atau ya!

Aku tidak mungkin merusak kesenangan di wajah Adrian! Dia berdiri di depan pintu kamarku dengan satu tangan berada pada daun pintu, menahannya agar tidak tertutup sementara aku berdiri di dalam, meneliti kamar baruku yang didominasi warna ungu.

"Bagus... hebat..."  Aku tersenyum lebar, hingga rahangku terasa kaku karena senyum lima jari ini.

Seperti tebakanku di awal, Adrian juga ikut tersenyum dan bahkan senyumnya jauh lebih lebar dari senyumku. Dia masuk ke dalam kamar, membuka pintu lemari yang belum kuisi dengan baju-bajuku yang jumlahnya hanya sedikit, melongok ke luar jendela kamar yang dibuka, dan mencoba duduk di atas ranjang yang tidak terlalu lebar ukurannya ini.

"Aku tahu... aku tidak akan salah pilih ini, kan?! Ini benar-benar pas. Dan ibumu pasti akan menyukainya..."  Sesaat, aku pikir aku mendengar nada bicaranya berubah menjadi pelan dan datar saat mengucapkan kata ibu, dan aku tahu Adrian berusaha mati-matian menjaga agar suaranya tetap terdengar menyenangkan.

Satu hal yang kalian harus tahu, ibuku pergi empat bulan yang lalu setelah berjuang cukup lama bertahan dan mengobati kanker payudara yang ibu derita. Setidaknya, kami setuju ibu sudah tidak merasakan sakit lagi dan saat ini ibu pasti sedang tersenyum dari surga melihat rumah baru kami.

"Tidak, tentu saja tidak.. Dad selalu punya selera yang bagus,"  tambahku dengan menjilat. Aku akan meminta uang saku lebih dari grandma saat natal nanti karena sudah membuat hati dad bahagia.

"Bagus... well, kalau begitu, aku harus bersiap-siap. Kau tahu, memulai pertama kali tidak pernah berjalan mulus?!"  Aku menganggukkan kepala bersikap seolah setuju dengan kalimatnya.

Adrian keluar dari kamarku setelah meneliti kamar untuk terakhir kalinya, langkah kakinya yang berat terdengar jelas sebelum dia menutup pintu kamarnya sendiri yang ada di bawah tangga.

"Oke, apa yang harus kulakukan selanjutnya?!"  Tidak ada, sebenarnya. Memasukkan baju ke dalam lemari hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit. Menyusun kembali buku-buku di dalam rak sudah kulakukan sejak kakiku pertama kali menginjak lantai kamar ini. Dan aku baru akan pergi ke sekolah baruku besok pagi. Oh, sungguh. Aku tidak sabar memulai hari sebagai murid baru.

Lagi...