Sang raja hari telah menampakkan kegagahannya, menggeser dewi malam menghapus warna hitam di langit suram. Anurika dengan cahaya kuning keemasannya mulai merangkak naik, menyinari bumi, menghangatkan kehidupan. Kubuka jendela kamar lebih lebar membiarkan udara bersih masuk. Sepoi angin membelai mesra memberikan rasa nyaman.
Menghela napas dalam lalu kuhembuskan. Ahh sungguh, segar dan cerah pagi ini telah berhasil membangkitkan semangat.
Kemudian terdengar pintu kamar diketuk lalu daun pintu itu pun terbuka. Aku berbalik melihat ke arah pintu dan ternyata itu abah. "Rindu, kamu udah siap? Kamu jadi kan, bantuin Abah bersih-bersih mushola?" tanyanya padaku.
Kuanggukan kepala seraya tersenyum ke arahnya. "Jadi atuh, Bah," jawabku.
Abah kembali tersenyum ke arahku. "Baiklah, Abah tunggu di luar yah?"
"Iya, Abah," patuhku.
Lalu abah keluar dan tak lupa ia kembali menutup pintu. Tak mau tinggal diam, kuraih ponsel dan dompet di atas nakas lalu memasukannya ke dalam tas selempang kemudian kukaitkan ke bahu. Kini, akupun sudah siap untuk pergi.
Aku keluar dari kamar lalu menghampiri abah yang tengah menunggu di ruang tamu. "Aku sudah siap, Bah," ucapku.
"Ayo kita berangkat," ajak abah yang hanya kubalas dengan anggukan.
Kami pun beranjak keluar dari rumah dan pergi setelah abah mengunci pintu.
Namaku adalah Rindu Afiffah Khairunnisa dua puluh tahun, anak satu-satunya abah Zakariya yang merupakan seorang ustadz di perkampungan kecil di pinggiran kota Sumedang tepatnya di kampung Betok, desa Sukamenak. Desa Sukamenak ditinggali lima ratus kepala keluarga. Desa kecil tetapi, makmur dan subur.
Warga kampungnya terbilang produktif, hal itu dapat dilihat dari setiap rumah yang selalu kosong saat pagi menjelang dzuhur. Jarang ada yang berdiam diri di rumah, bahkan isteri-isteri pun ikut sibuk bekerja bersama para suami mereka di sawah dan ladang. Namun, dicukupkan ekonomi oleh Allah telah membuat para warga kampung lupa diri dan akhirnya meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Mereka semua terlalu sibuk mengurusi dunia tanpa memikirkan akhirat sehingga membuat sebuah mushola kecil yang hampir rubuh di kampung ini pun selalu kosong, hanya aku, abah, dan seorang ustadz muda yang selalu sholat berjamaah di sana. Naudzubillah min dzalik, bahkan sebuah mushola pun belum pernah terisi penuh.
Setelah berjalan kaki kurang lebih dua puluh menit, kami pun tiba di tempat tujuan, sebuah mushola kecil di pinggiran kampung Betok. Luas mushola ini hanya berukuran sepuluh kali sepuluh meter persegi dengan warna dinding putih dan kusen bercat hijau muda. Di dalamnya hanya ada karpet sejadah berukuran tiga meter kali sepuluh meter dan sebuah rak kecil dengan beberapa pasang mukena di dalamnya. Untuk pemandangan di luar, tak ada yang istimewa, hanya beberapa kumpulan pohon bambu menghiasi pelataran dan sawah di belakang. Cukup merepotkan bila datang kemarau karena akan ada banyak daun kering berserakan di halaman dan teras mushola. "Assalamu'alaikum," ucapku dan abah bersamaan kala memasuki mushola. Kemudian kuletakan tas selempang ini di atas rak mukena.
"Abah mau jemur karpet, kamu sapu-sapu dan ngepel yah," titah abah yang kubalas dengan anggukan patuh. "Baik, Abah," jawabku.
Abah mulai menggulung karpet dan aku membantunya. Setelah urusan karpet selesai, aku pun mulai menyapu. Kini kami sibuk dengan tugas kami masing-masing. Abah mengurusi karpet di belakang mushola dan aku sibuk dengan kegiatan menyapu.
Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang mengucap salam. "Assalamu'alaikum."
"Wa'allaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawabku seraya melihat ke arah suara. "Kang Afnan," sapaku sambil menganggukan kepala sembari tersenyum ke arahnya.
"Rindu," sapanya kepadaku seraya menebar senyuman yang tampak terlihat manis. "Abah mana?" tanyanya.
"Abah di belakang lagi jemur karpet, Kang," jawabku.
"Oh... Kalo gitu saya ke belakang mau bantuin Abah," ucapnya yang kubalas dengan anggukan. "Silakan, Kang," sahutku. Dia pun keluar dari mushola.
Alif Afnan Prawiro, beliau adalah seorang pria yang baik dan juga sholeh. Dia seorang mahasiswa tingkat akhir di UGM yang tengah melakukan penelitian di desa Sukamenak. Afnan telah berhasil mencuri perhatianku di pertemuan pertama kami. Dia laki-laki yang sempurna, yang diam-diam aku kagumi. Selain baik dan sholeh, dia juga tampan, pandai, dan seorang hafiz. Wanita manapun takkan mampu menolak pesonanya. Mulut ini tak bisa berhenti mengulum senyum saat terpikirkan lelaki itu. Aku sungguh telah jatuh cinta kepadanya.
"Rindu," panggil abah yang menyadarkanku dari lamunan. "Iya Abah," jawabku. Lalu berlari kecil menghampiri abah. "Ada apa, Bah?" tanyaku.
"Udah nyapunya?" tanya abah.
Aku pun menjawab, "Belum, Bah, sedikit lagi."
"Apa perlu Abah bantuin?" tanyanya.
"Enggak usah, Bah. Biar aku sendiri aja," jawabku.
"Yaudah, Abah dan Afnan akan menyapu halaman kalo gitu," ucapnya seraya berbalik meninggakanku.
Aku kembali melanjutkan kegiatan menyapu. Selesai menyapu, akupun ke wc mushola untuk mengambil kain pel dan air.
Tiga puluh menit kemudian semuanya sudah beres. Aku selesai mengepel dan abah dengan kang Afnan juga sudah selesai menyapu halaman mushola.
Jam di pergelangan tangan baru menunjukan pukul sepuluh siang. Masih sekitar dua jam lagi menunggu waktu dzuhur tiba. Aku dan abah memutuskan untuk membaca Al-Qur'an sembari menunggu waktu sholat datang.