Chereads / MASJID YANG DIRINDUKAN / Chapter 2 - Perizinan membangun Masjid

Chapter 2 - Perizinan membangun Masjid

Adzan dzuhur berkumandang mengajak semua umat untuk menyembahNya. Bersujud dan bersimpuh di hadapanNya, Tuhan semesta alam Allah SWT.

Aku, abah, dan kang Afnan mengambil wudhu sebelum melaksanakan sholat. Kemudian setelah kami memiliki wudhu, kami pun melakukan sholat berjamaah yang dipimpin oleh abah sebagai imam.

Setelah selesai melaksanakan sholat, kami berbincang-bincang di teras mushola. "Abah, gimana dengan rencana pembangunan masjid di Kampung Betok?" tanya kang Afnan kepada abahku. "Ayah bilang, beliau bersedia menjadi donatur untuk pembangunan masjid di Kampung ini," imbuhnya.

Abah tersenyum seraya mengkolang kalingkan kepalanya. "Alhamdulillah," ucapnya. "Mohon maaf Nak Afnan tetapi, untuk pembangunan masjidnya kita harus mendapatkan persetujuan warga dan aparat setempat terlebih dahulu," tutur abah.

Aku hanya diam menyimak pembicaraan mereka.

"Kalo begitu, disegerakan saja, Bah. Agar pembangunan masjid cepat terealisasikan," balas kang Afnan.

"Insya Allah," ucap abah sambil tersenyum. "Nanti saya akan membuat proposal permohonan izin pembangunan masjidnya lalu meminta tanda tangan semua warga Kampung Betok. Setelah semua itu selesai, kita bicarakan lagi tentang ini," jelas abah yang dibalas anggukan oleh kang Afnan. "Baiklah," sahutnya.

Membangun masjid di kampung Betok adalah cita-cita besar abah sedari lama. Bahkan abah sudah menyiapkan tanahnya untuk diwakafkan sebagai tempat berdirinya masjid. Abah sangat menginginkan sebuah bangunan masjid berdiri kokoh di kampung ini. Dengan harapan, para warga kampung akan kembali bersemangat untuk beribadah. Namun, rencana pembangunan masjid ini harus tertunda lagi dan lagi akibat tentangan dari para warga kampung yang menganggap rumah Allah sebagai bangunan yang tidak penting. Bahkan beberapa dari mereka ada yang sampai membenci abah gara-gara rencananya ini. Astagfurillahaladzim.

Tak cukup sampai di situ, aparat desa setempatpun mempersulit izin pembangunan masjid dengan meminta sejumlah uang yang nominalnya terbilang cukup besar dan tidak masuk akal sebanyak sepuluh juta rupiah. Dengan alasan, untuk uang transport dan pembayaran izin di kantor kabupaten. Manurutku tidak akan sampai sebesar itu untuk uang transport dan pengurusan izin pembangunan, apalagi masjid yang biasanya mendapatkan izin dengan mudah berbeda dengan rumah ibadah agama lain karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam.

Aku sempat berniat melaporkan para aparat culas itu kepada pihak berwajib tetapi, mengurungkannya karena abah melarangku. Beliau tidak mau ada keributan dalam proses perizinan ini. Abah hanya memintaku untuk terus berdo'a dan meminta jalan yang terbaik kepada Allah, karena do'a adalah sebaik-baiknya sejata bagi seorang muslim. Dengan do'a hati manusia bisa berubah, dengan do'a kehidupan manusia bisa menjadi lebih baik, dengan do'a manusia bisa mendapatkan keluarga dan sahabat yang baik, dan dengan do'a pula manusia akan mendapatkan kemenangan. Banyak sekali keutamaan dari berdo'a yang tak dapat ternilai oleh harta.

***

Tibalah pukul dua siang, waktu untuk para anak-anak mengaji. Mereka mulai berdatangan, tak banyak. Hanya sekitar lima belas orang yang terdiri dari enam orang anak laki-laki dan sembilan orang anak perempuan. Kami berbagi tugas. Kang Afnan mengajari anak laki-laki dan aku memegang anak perempuan. Selalu seperti ini setiap hari. Untuk abah, beliau berdzikir atau membaca Al-Qur'an sambil menungguiku selesai mengajar.

Ramai riuh suara anak-anak mengaji menghangatkan suasana mushola. Mereka begitu bersemangat belajar membaca Iqra dan Al-Qur'an membuatku senang dan bangga. Anak-anak kecil yang pandai-pandai dan rajin. Tak pernah sekalipun mereka bolos mengaji kecuali karena sakit. Semangat seperti inilah yang membuatku bangga menjadi guru mereka. Anak-anak yang sholeh dan sholeha, insya Allah.

"Teh Rinrin, hari ini jadwalnya mengaji dan hafalan do'a-do'a yah?" tanya Nina salah satu murid terkecil. Rinrin ialah panggilan anak-anak untukku, entah dari kapan mereka mulai memanggilku dengan nama itu tetapi, tak apa, aku menyukainya.

"Iya Nina, kamu udah hafal do'a ketika ada petir? Itu hafalan kamu untuk hari ini," tuturku.

"Udah Teh, aku udah hafal," jawabnya sembari tersenyum penuh kebanggaan.

"Anak sholeha," pujiku seraya mengelus lembut puncak kepalanya.

Mengajari anak-anak mengaji ini hanya berlangsung selama satu jam. Biasanya setelah mengajari mereka mengaji, aku akan meluangkan waktu menemani mereka bermain tatarucingan. Tatarucingan ialah sebutan untuk bermain tebak-tebakan bagi orang Sunda. Biasanya kami akan saling melemparkan tebak-tebakan ke satu sama lain. Jangan salah, anak-anak ini jago-jago kalo tentang tatarucingan. Tak jarang aku dan kang Afnan pun kalah oleh mereka. Kadang lucu mengingat usia kami berdua yang sudah dewasa tetapi, dapat dikalahkan dengan mudah oleh mereka.

"Teh Rinrin, Kang Afnan, aku ada tatarucingan, tebak yah," ucap Ikhsan.

"Apa?" tanyaku.

"Makhluk bersel satu namanya amoeba, kalo makhluk bersel banyak namanya apa?" tanya Ikhsan memulai tebak-tebakannya.

Aku dan kang Afnan mulai berpikir mencari tahu jawaban untuk tebak-tebakan yang dilontarkan Ikhsan.

"Banyak," jawabku. "Makhluk bersel banyak itu sangat banyak. Contohnya manusia dan hewan, makhluk ciptaan Allah yang bersel banyak," tuturku. Kali ini harus yakin benar. Semangat, batinku.

"Salah," tanggap ikhsan seraya terkekeh geli.

"Kok salah? Bener dong, jawabannya manusia dan hewan," bantahku tak mau kalah.

"Salah Teteh, jawaban Teteh salah," ujar anak kecil itu.

"Memangnya apa yang bener? Coba Teteh pengin tau," ucapku.

"Amoeba lagi demo," seru Ikhsan yang memancing gelak tawa diantara kami, kecuali aku yang tak terima mendapatkan kekalahan.

"Mana ada kaya gitu?" protesku.

"Ada Teh Rinrin," sahut Ikhsan.

"Enggak ada, ngarang kamu," bantahku.

Anak-anak dan kang Afnan tertawa renyah membuatku tersipu karena malu telah berhasil dikalahkan lagi oleh anak kecil. Menyebalkan.