Soo Yin tidak bisa tidur memikirkan perasaannya yang terasa hampa. Berguling kesana kemari sembari sejenak memandang pria yang sedang tertidur pulas di sampingnya.
Pria yang tidak pernah memaksakan kehendaknya. Ini yang membuat Soo Yin perlahan luluh dibuatnya. Tapi di sisi lain, gadis itu merasa takut jika suatu saat nanti Dae Hyun pergi meninggalkannya.
Haruskah nasibnya akan sama seperti ibunya. Meski tidak pernah diketahui kebenarannya apakah ibunya seperti yang dikatakan oleh orang-orang.
Soo Yin melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Turun dari ranjang, melangkahkan kakinya membuka pintu menuju balkon. Soo Yin berdiri dengan berpegangan pada pagar. Menghirup dalam-dalam angin pagi hari yang masih segar sembari memandang rembulan yang masih bercahaya. Terlihat sangat indah dan mempesona.
"Ibu aku merindukanmu," ujar Soo Yin tanpa sadar air matanya menetes. Jika ibunya masih hidup mungkin hidupnya tidak akan seperti ini. Meski terkadang ada rasa benci yang datang. Setiap anak pasti merindukan orang tuanya meski mereka telah melakukan kesalahan.
Soo Yin tidak menyadari kehadiran Dae Hyun yang sudah berdiri di belakangnya. Masih termenung dengan pikirannya sendiri.
Dae Hyun melingkarkan perutnya di pinggang Soo Yin. Membuat gadis itu menoleh ke belakang.
"Kau sudah bangun?" tanya Soo Yin kembali menghadap ke depan. Melihat bulan yang sudah tertutup awan. Menyeka air mata dengan kedua tangannya.
"Hmmm." Dae Hyun menyandarkan kepalanya di bahu Soo Yin. Menghirup aroma manis tubuhnya.
"Kau tidak bisa tidur? katakan apa yang mengganjal di hatimu?" tanya Dae Hyun.
"Tidak, aku hanya merindukan ibuku," jawab Soo Yin lirih.
Dae Hyun dapat mendengar ada nada kesedihan saat gadis itu mengatakannya.
"Kembalilah pada Aeri," ujar Soo Yin.
"Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal seperti itu?" Dae Hyun tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Baru saja semalam semuanya baik-baik saja. Namun kenapa pagi ini gadis itu sudah berubah.
Soo Yin tidak menjawabnya. Masih berdebat dengan hatinya sendiri. Haruskah mengakui perasaannya? haruskah mengatakan kalau dirinya cemburu dengan putranya ? haruskah mengatakan jika suatu saat nanti dirinya takut kehilangannya? egoiskah jika dirinya ingin menjadi satu-satunya? sanggupkah hidup seperti ini di sepanjang hidupnya.
Dae Hyun tidak tahan melihat istrinya yang bersikap diam sejak semalam. Lebih baik melihatnya marah dari pada diam. Dae Hyun membalikkan tubuh Soo Yin agar menghadapnya. Menatap mata indah istrinya yang kini teduh.
"Katakanlah?" Dae Hyun mengusap lembut pipi Soo Yin.
"Aku ... aku tidak ingin seperti ibuku. Aku tidak ingin merebut suami wanita lain. Aku tidak ingin anakku kelak bernasib sama denganku. Diolok-olok sebagai anak wanita simpanan," isak Soo Yin yang tidak bisa membendung air matanya. Dia juga tidak ingin merebut kebahagiaan Jo Yeon Ho.
Soo Yin sangat membenci dirinya sendiri karena telah jatuh hati pada seseorang yang awalnya sangat ia benci.
"Sayang, kau tidak merebutku dari Aeri. Aku yang memaksamu menikah denganku." Dae Hyun memeluk Soo Yin. Tidak tahan membuatnya sedih seperti ini. Pantas saja Soo Yin sangat membencinya itu semua karena pengalaman pahit masa kecilnya.
"Tetap saja, orang akan merendahkanku!" teriak Soo Yin sembari memukul dada bidang Dae Hyun.
"Maaf, aku memang sangat egois." Dae Hyun merasa sangat terluka mendengar gadis itu menangis.
"Apa kau tidak pernah membayangkan bagaimana perasaan Jo Yeon Ho jika ayahnya mempunyai wanita lain." Soo Yin tidak ingin bersikap egois. Lebih baik membuang perasaannya sebelum terlanjur.
"Setelah menikahimu aku sudah memikirkan setiap konsekuensinya. Jadi aku akan memilihmu apapun yang terjadi," ujar Dae Hyun tanpa berpikir panjang.
"Apa kau yakin?" tanya Soo Yin sembari melepaskan pelukan Dae Hyun. Memandang wajah suaminya untuk memasukkan kalau tidak ada kebohongan di matanya.
"Kau bisa memegang janjiku." Dae Hyun menyodorkan jari kelilingnya.
"Tapi kalau kau berbohong akan kupastikan hidupmu akan hancur." Soo Yin tidak main-main dengan ucapannya.
"Kau sangat menggemaskan." Dae Hyun mencubit pipi Soo Yin. Tidak menyangka jika gadis yang terlihat polos seperti dirinya tiba-tiba kini mengancamnya.
"Apa kau akan tetap menemani Mr. Peter?" tanya Dae Hyun sangat berharap gadis itu menolak permintaannya.
"Tentu saja," ucap Soo Yin dengan penuh tekad.
"Tapi aku takut kalau pria tua itu berbuat yang tidak baik terhadapmu." Dae Hyun merasa trauma dengan kejadian yang menimpa Soo Yin tempo hari yang dilakukan oleh salah satu relasinya.
"Tenanglah, kali ini aku bisa menjaga diri." Soo Yin sudah menyiapkan sebuah pisau kecil yang akan dibawanya. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bisa dengan mudah menggunakannya.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Mulai hari ini sampai empat hari ke depan kemungkinan Soo Yin tidak bisa bertemu dengan Dae Hyun . Karena dirinya harus menemani Mr. Peter berkeliling ke beberapa tempat sejarah yang ada di Korea.
Hari pertama mereka akan mengunjungi rumah tradisional khas Korea yaitu Namsangol Hanok Village yang terletak di sekitar gunung Nam. Merupakan rumah di masa Dinasti Joseon. Soo Yin beserta rombongan beristirahat di salah satu rumah itu.
Mr. Peter juga mengatakan kalau ingin menyewa rumah ini satu malam setelah itu baru melanjutkan perjalanan lagi.
Soo Yin menghampiri Mr. Peter beserta dengan salah seorang pemandu wisata wanita. Mereka tengah berada di dapur dengan memakai celemek di dadanya. Soo Yin terkejut melihat pemandangan itu. Masih belum mengerti apa yang akan dilakukan oleh pria itu.
"Apa yang akan dia lakukan?" bisik Soo Yin mendekati pemandu wisata yang bernama Mi Na.
"Aku tidak tahu. Dia berkata ingin memasak selagi di sini," bisik Mi Na.
"Aku tidak percaya orang barat seperti dia bisa memasak makanan Korea." Soo Yin terkikik sembari melirik Peter Anderson yang tengah membersihkan sayuran.
"Husssttt, pelankan suaramu," ujar Mi Na. Takut kalau Peter tersinggung dengan ucapan mereka.
"Hai, kalian berdua cepat bantu aku. Aku ingin tahu gadis muda seperti kalian bisa memasak atau tidak," panggil Peter Anderson.
"Tentu saja bisa," ujar Soo Yin dengan penuh percaya diri.
"Aku ke luar sebentar. Aku ingin membeli Soju." Mi Na segera kabur karena dirinya tidak pernah memasak. Dari pada mempermalukan diri lebih baik menghindar.
"Ya ampun kenapa dia pergi?" gerutu Soo Yin. Kini nyalinya menciut karena tinggal seorang diri.
Baru saja hendak membantu Peter Anderson membersihkan sayuran, ponsel Soo Yin bergetar berulang-ulang. Ternyata ada begitu banyak pesan yang baru saja masuk. Itu semua pesan dari Dae Hyun.
[Sayang, aku merindukanmu]
[Kapan kau kembali?]
[Aku tidak bisa bekerja dengan fokus saat berjauhan denganmu]
[Aku mohon batalkan permintaan Mr. Peter agar kau segera kembali]
[Sayang, orang tua itu tidak melakukan apa-apa terhadapmu kan?]
Soo Yin senyum-senyum sendiri membaca semua pesan dari Dae Hyun. Tidak pernah menyangka jika pria dewasa seperti dia bisa bertingkah seperti remaja. Segera membalas dengan hanya mengirimkan satu pesan.
[Sayang, aku mencintaimu] tulis Soo Yin di ponselnya langsung menekan tombol send.
"Kau tampak bahagia sekali?" Suara Mr. Peter mengejutkan Soo Yin hingga membuatnya terlonjak.
"Apa itu pesan dari Dae Hyun?" tanya Mr. Peter.
Soo Yin menggigit bibir bawahnya tidak menjawab pertanyaan Mr. Peter. Tak habis pikir jika pertanyaannya tepat sasaran.
"Dari mana Mr. tau?" tanya Soo Yin. Sudah terlanjur basah untuk menutupinya. Untunglah Mi Na sudah pergi.
"Aku tahu kalian menjalin hubungan tersembunyi. Bagaimanapun aku sudah berpengalaman dari kalian. Aku dapat melihatnya saat kalian saling memandang." Peter tersenyum sembari mengingat tentang masa lalu ketika saat muda.
Saat dimana sudah menikah namun suatu hari jatuh cinta pada seorang gadis muda penjual bunga. Gadis sederhana dengan rambut panjang yang bergelombang, kulitnya seputih salju. Bibir tipis yang berwarna merah muda. Saat itu dirinya benar-benar mabuk karena cinta hingga mereka menjalin hubungan terlarang. Tidak pernah disadari semakin mencintai gadis itu justru membuatnya semakin menghancurkan hidupnya.
Mereka harus berpisah pada akhirnya karena Peter harus menuruti orang tuanya jika tidak ingin di coret dari daftar keluarga.
Peter menerawang jauh dengan wajah yang sendu. Andaikan dapat bertemu dengannya kembali. Dirinya akan menebus semua kesalahan di masa lalunya.
"Anda baik-baik saja?" Soo Yin mengguncang tubuh Peter karena sejak tadi seperti tidak mendengarkannya. Termenung sembari membiarkan air tetap mengalir padahal sudah selesai menggunakannya.
"Tidak, aku baik-baik saja," jawab Peter yang sudah tersadar dari bayang-bayang masa lalunya.
Soo Yin bisa bernapas lega. Dia pikir Peter Anderson kesurupan.
"Mundurlah sebelum kau menyesalinya." Peter menepuk pundak Soo Yin yang terdiam mematung. Tidak ingin gadis itu bernasib sama dengan orang yang dicintainya.
Soo Yin tidak mengerti dengan perkataan Peter. Sudah terlanjur jika harus mundur sekarang.
Derrrtt.
Derrrtt.
Ponsel Soo Yin bergetar sehingga langsung meminta izin kepada Mr. Peter untuk menjawabnya sebentar.
"Hallo, Sayang." Suara Dae Hyun menggema di seberang telepon.
"Hai," balas Soo Yin.
"Bagaimana perjalanannya? apa semua baik-baik saja? pria tua itu tidak macam-macam kan?" tanya Dae Hyun berturut-turut padahal mereka baru saja berpisah sehari.
"Tidak usah khawatir, aku baik-baik saja," ujar Soo Yin.
"Apa kau tidak merindukanku?" tanya Dae Hyun.
"Hmmm, kita baru saja berpisah satu hari. Kita sambung nanti lagi karena aku sedang mengerjakan sesuatu," ucap Soo Yin.
"Ya sudah, sampai jumpa."
Soo Yin langsung mematikan sambungan telepon. Sangat bahagia karena Dae Hyun begitu mengkhawatirkan dirinya.
"Soo Yin, tolong bantu aku mencuci beras," ujar Peter Anderson.
"Baiklah." Soo Yin mengambil mangkuk yang berisi beras. Mengucurkannya di bawah air yang mengalir tanpa sadar menaruh sesuatu ke dalamnya.
Pikirannya berkelana teringat ucapan Mr. Peter. Membuatnya kini sangat bingung.
"Soo Yin, kenapa berasnya banyak gelembungnya seperti itu?" tanya Mr. Peter yang melihat begitu banyak gelembung sabun di dalam mangkuk.
Soo Yin membelalakan matanya. Ternyata dirinya menaruh sabun pencuci piring ke dalamnya.
"Waaa, kenapa bisa seperti ini?" teriak Soo Yin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apa dia sebodoh itu hingga memasukkan sabun untuk mencuci beras.
"Jangan terlalu memikirkan perkataanku. Aku hanya mengingatkan bukan menakutimu." Peter Anderson menggelengkan kepalanya. Dia tahu kalau gadis itu kini bingung. Bukan bermaksud untuk ikut campur dengan hubungan mereka namun hanya tidak ingin melihatnya menderita. Dari kelihatannya gadis itu terlihat masih sangat polos.
"Tidak, aku hanya sedikit pusing," ucap Soo Yin sembari pura-pura memegang kepalanya.
"Aku akan menyuruh Mi Na untuk membeli obat," ujar Peter Anderson.
"Tidak perlu, biarkan aku membeli sendiri. Aku akan menyuruh Mi Na saja untuk membantu anda." Soo Yin segera keluar dari dapur. Seharusnya memang dari awal tidak membantunya. Kejadian ini sungguh membuatnya malu kepada Peter Anderson.
Peter Anderson hanya menggelengkan kepalanya. Sungguh tidak tega jika gadis sepolos dia akan menjadi korban. Seharusnya dia bertemu dengan pria baik di luar sana.