"Balqis ...."
"Hmmm," Balqis hanya bergumam menanggapi panggilan Hilman. Pandangannya lurus ke depan menatap deburan ombak silih berganti menghantam karang. Saat ini keduanya tengah duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang di bibir pantai.
"Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku bersungguh-sungguh ...," Hilman menggantung perkataannya, menatap wajah gadis yang disukainya sejak lama seraya menebak-nebak ekspresi wajahnya yang sulit diartikan.
"Aku suka sama kamu." ucap Hilman jujur, kedua bola matanya menatap lekat wajah Balqis yang juga sedang menatapnya.
Balqis tertegun mendengar pengakuan Hilman tentang perasaannya. Gadis itu menautkan kedua alisnya tak percaya dengan yang didengannya. Ia merasa geram pada laki-laki di sampingnya yang sudah jelas-jelas telah berkeluarga. Namun masih berani menyatakan cintanya kepada wanita lain.
"Tuan Hilman, apa maksudmu berbicara seperti itu? Apa kamu sedang mengungkapkan perasaanmu padaku?" Balqis menatap Hilman dengan ekspresi mengejek.
Hilman terdiam beberapa saat kemudian mengangguk mengiyakan. "Aku serius, Balqis ... maukah kamu menikah denganku?" ucapnya serius.
Balqis terkekeh pelan menanggapi ajakan Hilman yang meminta untuk menikah dengannya. "Aku memang sedikit tertarik sama kamu, tapi bukan berarti aku mau menikah sama kamu!" ucap Balqis tegas.
Hilman kecewa mendengar jawaban dari Balqis. "Boleh aku tahu alasanmu menolakku?" tanyanya serius. Ia ingin mendengar alasan Balqis menolaknya. Bila menurutnya sesuatu hal seperti sikap pada dirinya ada yang salah dan masih bisa untuk ia perbaiki. Maka laki-laki itu bertekad akan melakukan apa pun agar Balqis mau membuka hati untuknya.
"Mana mungkin aku mau menikahi laki-laki yang sudah beristri bahkan sudah memiliki seorang anak. Aku gak mau di madu!" lirihnya namun masih terdengar jelas oleh Hilman.
Laki-laki bertubuh kekar nan tampan itu mengerutkan alisnya tak mengerti dengan maksud ucapan Balqis. Siapa laki-laki beristri yang dimaksud oleh Balqis, mungkinkah itu dirinya?pikirnya.
Balqis beranjak dari duduknya setelah mengatakan hal yang selalu mengganjal di hatinya. Ia berniat untuk pergi meninggalkan Hilman sendiri. Namun niatnya terhenti ketika laki-laki itu mengucapkan sesuatu yang membuatnya tertegun.
"Siapa yang kamu maksud sudah beristri? Apakah itu aku?" tanya Hilman. Ia ikut beranjak dari tempat duduknya, melangkah mendekati Balqis.
"Aku belum pernah menikah, dan aku belum memiliki anak,"
"Bila yang kamu maksud adalah Marisha dan juga Kevin. Kamu sudah salah paham terhadapku. Marisha adalah adikku, otomatis Kevin adalah keponakanku." jelas Hilman.
Balqis tertegun mendengar penjelasan Hilman tentang Marisha dan Kevin. Benarkah Marisha adiknya, bukan istrinya?tanyanya dalam hati. Gadis itu membalikkan tubuhnya menghadap Hilman. Menatap kedua bola mata berwarna hitam milik laki-laki itu. Mencoba mencari kebohongan di dalam sana. Namun, Balqis tak menemukannya.
"Jadi, Marisha itu--"
"Ya! Dia adikku. Adik kandungku!" potong Hilman.
"Tapi, Kevin memanggilmu Daddy?" tanya Balqis. Hilman menyunggingkan senyumnya menanggapi pertanyaan Balqis. Ya, ia baru sadar, pantas saja Balqis menganggapnya sudah menikah dan memiliki anak. Kevin, keponakannya memang selalu memanggilnya dengan sebutan Daddy. Wajar saja bila Balqis salah paham, bahkan mungkin bukan hanya Balqis. Semua orang pun akan beranggapan sama dengan Balqis.
"Ya, Kevin memang memanggilku Daddy. Itu karena kami sangat dekat. Kevin menganggapku sebagai ayah kedua setelah papanya," jelas Hilman.
Balqis menundukkan kepalanya merasa malu setelah mendengar kebenarannya. Selama ini ia telah salah paham kepada Hilman. Semenjak pertemuannya dengan Marisha dan Kevin saat itu. Balqis membuat benteng besar agar membatasi kedekatannya dengan Hilman.
"Jadi, kamu beneran belum menikah?" tanya Balqis lagi memastikan yang baru saja di dengarnya. Hilman mengangguk mengiyakan.
"Aku belum menikah. Dan akan menikah hanya sama kamu."
Hilman menatap wajah Balqis yang sudah bersemu merah. Sangat menggemaskan. Rasanya ia ingin mencubit pipi gembil gadis berhijab itu. Namun saat ini, Hilman harus menahan keinginannya. Karena ia tahu Balqis tidak ingin bersentuhan dengan bukan muhrimnya.
"Jadi gimana?"
Suara Hilman membuyarkan Balqis dari pikirannya. Ia menoleh menatap mata laki-laki bernetra hitam itu sesaat, kemudian memalingkan kembali wajahnya ke arah lain.
"Gimana apanya?" tanyanya polos tak merasa bersalah.
Hilman mendengus pelan. Sedari tadi ia menunggu jawaban dari gadis berhijab itu atas lamarannya. Tapi gadis itu tak menjawab apa pun, bahkan seolah melupakannya.
"Balqis, maukah kamu menikah denganku?"
Ini terlalu tiba-tiba. Gadis berhijab itu tertegun, menimang ajakan laki-laki berparas tampan yang baru saja dikenalnya. Haruskah ia menerima lamaran itu, atau menolaknya? Jujur saja, Balqis belum yakin dengan perasaannya. Pernikahan bukanlah sebuah lelucon. Jadi perlu dipikirkan secara matang sebelum mengambil keputusan.
"Aku, belum bisa menjawabnya sekarang. Lagi pula, kita baru saja bertemu. Kita belum saling mengenal dengan baik."
Balqis berbicara sambil menundukan pandangannya. Masih jelas dalam ingatannya, bayangan masa lalu yang masih membekas dalam hatinya. Sebuah pengkhianatan seseorang kepada dirinya.
Meski kecewa, tetapi Hilman mencoba untuk mengerti. Memang terlalu cepat untuk melangkah langsung menuju pernikahan. Namun, bagi Hilman, dari pada memintanya untuk menjadi pacarnya. Lebih baik mengajak gadis berhijab itu untuk langsung menikah.
Bukan apa-apa, sebagai laki-laki normal, Hilman hanya takut tak bisa menahan syahwatnya. Gadis berhijab itu begitu spesial di mata Hilman. Ia tak ingin menodainya sebelum gadis itu menjadi istrinya.
Hari sudah mulai petang. Hilman memutuskan untuk mengantarkan gadis berhijab yang saat ini sedang bersamanya, pulang. Sebenarnya Balqis masih ingin berada di pantai. Ia ingin menyaksikan matahari terbenam. Namun, saat ini ia sedang tak sendiri. Ada sosok laki-laki bersamanya. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Akhirnya Balqis setuju untuk pulang.