"Jangan tanyakan apa alasannya, mungkin aku sudah tertarik kedalam permainanmu."
Seperti rekaman suara yang berputar berulang-ulang, suara William terus memenuhi rongga kepala Rose dan membuatnya menjadi gelisah.
Apa secara tidak langsung William mengatakan jika ia mulai jatuh cinta padanya?
"Tidak mungkin..." Rose mengelak pemikirannya sendiri karena William memiliki banyak wajah, ia tidak boleh terpengaruh hanya karena kalimat ambigu itu.
"Benar, semua itu tidaklah mungkin."
"Apanya yang tidak mungkin?" Tanya William yang tiba-tiba muncul dan bersandar di sisi lain tepi jendela dimana Rose duduk melamun sejak tadi.
Rose mengangkat kedua bola matanya dan menatap wajah William yang terlihat sangat tampan dengan ekspresi yang tidak dapat ia baca. Wajah itu terlihat sendu tapi ia saat ini sedang tersenyum, bagaimana seseorang terlihat begitu misterius.
"Sampai kapan kita akan terjebak di dalam kastil ini? Kamu ingin menjadikanku Rapunzel?" Tanya Rose yang memilih tidak menanggapi pertanyaan William.
"Kamu merasa bosan?"
"Aku merasa tidak dapat bernafas."
William tersenyum kaku sebelum melangkah lebih dekat pada Rose.
"Aku bisa memberikanmu nafas buatan." Ucap William dengan tangan yang sudah terulur menyentuh pipi Rose lembut.
"Bagaimana bisa kamu memberiku nafas buatan jika kamu sendiri merasa sesak berada disini?" Sahut Rose balik bertanya.
William kembali tersenyum getir, Rose ternyata menebak apa yang dirasakannya dengan begitu mudah.
William kemudian duduk tepat dihadapan Rose dan mencondongkan tubuhnya mendekati tubuh Rose. Wajah mereka berhadapan kini dengan deru nafas yang beradu, William mengikuti kemana bola mata Rose bergerak dengan tenang.
"Sebenarnya, kita ini berada dalam lingkaran api dan kamu akhirnya menyadarinya lantas bagaimana caranya agar kita keluar dari lingkaran yang perlahan membakar kita?" Tanya William.
"Kamu bertanya padaku? Setahuku api itu kamu yang menyalakan, mengapa kamu tidak bisa memadamkannya?"
"Karena aku sudah terbakar sejak awal."
Garis senyum diwajah Rose perlahan menurun dan memudar.
"Aku tidak tahu caranya memadamkan api itu, tapi aku tidak takut terbakar dan terluka justru sebaliknya, aku takut melukaimu." Lanjut William.
Deg, sekali lagi... Sekali lagi jantung Rose terasa bergetar, tatapan mata William sama sekali tidak menyiratkan sebuah kebohongan dan bahkan William meneteskan air mata ketika mengatakannya, apakah semua itu tulus?
Mendadak suasana menjadi hening, Rose tidak bergeming, ia masih terdiam dan larut dalam pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benaknya sementara William memalingkan wajahnya menatap kearah luar jendela dimana sebuah helikopter terlihat terbang rendah dan perlahan mendarat.
"Ibuku mengatakan jika ia merindukan menantunya, ayo kita berkunjung sebelum pulang, kita juga harus membeli jam untuk rumah kita bukan?" Ajak William beranjak bangun dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum sementara Rose masih terlihat menimbang-nimbang untuk menyambut tangan William atau tidak.
"Kamu benar-benar ingin menjadi Rapunzel disini?" Tanya William bergurau karena Rose masih saja menatapnya tanpa mau menyambut tangannya.
"Rapunzel tidak berambut hitam, dasar bodoh!" Umpat Rose tapi dengan wajah tersenyum dan akhirnya menyambut tangan William.
"Haruskah aku mengganti pakaianku?" Tanya Rose sambil mengikuti langkah William yang menggandengnya.
"Tidak perlu, kamu selalu cantik mengenakan apapun." Sahut William.
"Benar, aku memang selalu cantik." Jawab Rose yang berhasil membuat William tertawa pelan.
"Ya.. ya.. istriku memang yang paling cantik."
"Suamiku juga tampan." Rose balas memuji kini dan tentunya membuat William tersenyum bangga, "Tapi hanya sedikit." Sambungnya yang langsung membuat senyuman William menghilang berganti dengan wajah yang cemberut.
"Menggemaskan sekali, aku jadi ingin menceburkanmu kelaut!" Ucap Rose sambil mencubit pipi William gemas.
William hanya dapat pasrah ketika Rose mencubitnya cukup kuat tapi kemudian ia menggendong tubuh Rose dan membantunya menaiki helikopter yang sudah terparkir di halaman depan mansion.
"Menceburkan ku kelaut? Aku mengingat seseorang memelukku sangat erat karena takut aku pergi meninggalkannya beberapa hari yang lalu." Goda William berhasil membuat wajah Rose merah padam mengingat bagaimana ia berlari karena ketakutan William akan meninggalkannya dan akhirnya ia berakhir kedalam pelukan William seperti orang bodoh.
Rose hanya dapat berdehem sambil pura-pura membenarkan rambutnya.
"Menggemaskan sekali, aku jadi ingin menciummu." Ucap William menggoda sambil mencubit pipi Rose pelan lalu duduk tepat disebelahnya.
"Jangan coba-coba, atau aku akan benar-benar menceburkanmu ke laut!" Ancam Rose galak dengan kedua bola mata yang melebar agar William setidaknya merasa gentar tapi bukannya takut William malah tertawa melihat wajah Rose yang membuat Rose menjadi kesal seketika.
***
Jarum jam berdetak sangat lambat dan terdengar sangat jelas memenuhi ruangan dimana Rayhan di rawat.
Sammy sudah terlelap setelah seharian mengoceh dan memberikan lelucon garing yang sama sekali tidak terdengar lucu tapi setidaknya Sammy selalu berada di sisinya, dia adalah satu-satunya orang yang tidak meninggalkannya.
"Rose... Aku merindukanmu." Gumam Rayhan sambil menatap kearah jendela yang menunjukkan pemandangan jalan raya ibukota yang ramai dipenuhi lampu dari kendaraan yang melintas dan juga lampu-lampu jalan, terlihat juga gedung-gedung tinggi pencakar dengan layar besar yang menampilkan sebuah papan iklan berisi iklan Rose yang menjadi sebuah brand ambasador sebuah produk kecantikan.
"Cantik sekali, aku ingin sekali membencimu tapi aku tidak bisa." Lanjutnya tersenyum kecut.
"Cepatlah kembali, aku ingin segera kembali memilikimu."
***
"Wah!" Seperti gadis norak yang tidak pernah melihat kemegahan sebuah bangunan, Rose menganga begitu melihat betapa besarnya sebuah bangunan yang William sebut sebagai 'rumah'.
"Apakah ini adalah istana kerajaan?" Tanya Rose yang masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
Rose mengura jika Mansion tempat dimana ia melangsungkan pernikahannya dengan William adalah bangunan yang sangat besar dan terlihat seperti sebuah istana tapi melihat kediaman kedua orangtua William saat ini adalah berkali-kali lipat lebih besar dari Mansion itu.
"Apakah kamu seorang pangeran?" Tanya Rose sekali lagi sambil mengikuti langkah William.
"Seberapa kaya kalian sebenarnya?" Tanya Rose tanpa sungkan.
"Cukup kaya sehingga aku mampu menikahi tuan putri sepertimu." Jawab William tersenyum.
"Jangan mulai Will, aku tidak ingin membahas itu lagi. Aku tidak bisa akting, aku tidak bisa berpura-pura tersenyum dihadapan kedua orangtuamu jika kita kembali membahas hal rumit itu lagi."
"Baiklah, maafkan aku." Ucap William menyesal.
"Tidak perlu meminta maaf." Jawab Rose merasa tidak enak karena Wajah William seketika menggelap, mungkin maksud William hanya bergurau tadi tapi ia terlalu menanggapinya serius.
"Hari ini saja, ayo kita menjadi suami istri yang sesungguhnya." Ucap Rose sambil mengalungkan tangannya di lengan William.
"Kamu yakin?"
Rose menarik nafas dalam sebelum akhirnya mengangguk setuju.
"Mungkin aku akan mengambil banyak kesempatan hari ini." Bisik William.
"Untuk hari ini saja, aku tidak akan marah dengan semua tindakan mesum mu padaku. Tapi hanya hari ini, awas saja kamu memanfaatkan situasi ini untuk menginap lebih dari sehari." Jawab Rose, tidak lupa ia mengancam di akhir kalimatnya.
Jawaban Rose membuat William terkekeh pelan.
"Baiklah... Baiklah Nyonya William Alexander." Sahut William setuju.
Nyonya William... Rose tidak kuasa untuk menahan senyumannya, ia merasa tergelitik geli ketika mendengar William menyandangkan nama belakangnya dengan embel-embel sebagai Nyonya William.