Iris dan Alita sudah memacu kuda mereka dengan kencang ke perbatasan tepat sebelum matahari terbit, Litzy tidak kunjung kembali sejak malam tadi dan itu membuat Iris merasa gelisah. Morgan bersama Michelle berlari lebih dahulu dengan bentuk serigala mereka di depan.
Litzy tidak biasanya seperti ini, ia biasanya selalu tepat waktu untuk kembali padanya. Iris berpikir dua kemungkinan, yang pertama mungkin saja saat ini Litzy bersama Thomas dan yang kedua, mungkin saja saat ini Litzy telah ditangkap atau terluka di suatu tempat oleh prajurit perbatasan.
Iris memejamkan matanya, ia sama sekali tidak berharap kemungkinan yang kedua benar-benar terjadi.
Alita di sampingnya hanya diam dan menutup mulutnya rapat-rapat, wajahnya jelas menggambarkan perasaan gelisah yang amat sangat.
Mereka sudah berlari hampir tiga jam, Morgan sama sekali tidak memberi tanda atau sesuatu tentang keberadaan Thomas membuat jantung Iris berdetak lebih cepat dan ia merasakan firasat buruk semakin menguat di dalam hatinya.
"Aku melihat api!" Alita berseru dengan suara getir, wajahnya memucat ketika melihat bayangan api besar itu berasal dari arah yang akan mereka tuju. "Apakah Thomas akan baik-baik saja?"
Pertanyaan Alita hanya mengambang di udara, tidak ada yang bisa menjawabnya dan tidak ada yang bisa memastikan bahwa Thomas akan baik-baik saja.
"Morgan," kata Iris pada serigala abu-abu yang terus berlari di depan mereka, serigala itu hanya menoleh sekilas.
Mereka terus berlari hingga tiba-tiba, Michelle dan Morgan berhenti mendadak, dua serigala itu menatap sekeliling dengan waspada.
"Morgan, ada apa?" tanya Iris dengan bingung, tanpa Litzy ia benar-benar buta dan tidak peka dengan lingkungan sekitar.
Morgan tidak menjawab, ia melangkah ke depan dan menemukan Eros melangkah dengan tertatih-tatih tak jauh dari mereka. Michelle yang melihat itu langsung berubah dan berlari pada Eros.
"Eros!"
Eros melihat Michelle, wajahnya menjadi cerah dan ia membiarkan pasangan jiwanya itu memeluknya, Morgan menyadari jika Eros tidak sendiri, ia menggendong Thomas yang memejamkan matanya di belakangnya.
"Apa yang terjadi?" Iris turun dari kudanya, ia tidak memedulikan bahwa Eros adalah orang yang menculik Thomas dan segera memeriksa bocah itu.
Thomas sepertinya pingsan, ada beberapa luka lecet di tubuhnya dan kulitnya tampak lebih pucat dari biasanya, Iris khawatir jika efek kutukan itu semakin parah.
Morgan berubah ke wujud manusianya, ia mendekat bersama dengan Alita, Litzy yang tidak kunjung kembali rupanya berada di belakang Thomas, ia mengepakkan sayapnya dan mendarat di bahu penyihir itu.
"Eros, katakan apa yang terjadi!" Morgan tidak sabar mendengar penjelasan Eros, ia menarik tubuh Thomas dari punggungnya.
"Ah, yah. Ini buruk." Eros menundukkan kepalanya, jari-jarinya saling bertaut dengan gelisah. "Aku tidak menduga jika ada pertarungan para prajurit perbatasan dengan para pemberontak."
"Pemberontak?" Morgan mengerutkan keningnya, ia membiarkan Iris memeriksa bocah yang tidak sadar yang ia pegang.
"Kau tidak tahu?" Michelle menoleh pada Morgan. "Sejak Ratu Valerie naik tahta banyak kontra dalam berbagai ras, mereka memutuskan untuk membentuk aliansi dan merencanakan untuk menggulingkan tahta Ratu. Tidak hanya sekali dua kali prajurit kerajaan diserang."
Iris diam, ia menyentuh pipi Thomas yang dingin itu, rasanya seperti ia memegang sebongkah es, Morgan terlalu jengkel dengan segala perhatian Iris, ia menaruh bocah itu untuk bersandar di sebuah batang pohon dan penyihir itu tanpa kata mengeluarkan sebuah kain untuk menyelimutina.
"Lalu kau tidak jadi membawa buruanmu pada mereka dan memutuskan untuk kembali?" tanya Morgan lagi, ia jelas merasa ada yang janggal dengan ini semua. Matanya melirik cahaya merah yang menari-nari dari kejauhan. "Api besar itu adalah perbuatan pemberontak?"
"Ya, mereka terlibat pertempuran hebat. Aku benar-benar tidak menduga itu." Eros menghela napas, tanpa ia sadari tangannya menggenggam kuat tangan Michelle.
Alita menghela napas saat menyadari jika Thomas baik-baik saja, ia kemudian berbalik dan melotot pada Eros, ia hampir mengumpat namun dipotong oleh Morgan.
"Siapa yang menang? Prajurit perbatasan atau para pemberontak?"
"Ah … itu …." Eros tergagap, ia membuka mulutnya hendak menjawab.
"Tentu saja para prajurit perbatasan!" Alita bersedekap dan cemberut. "Mereka adalah prajurit khusus, para pemberontak yang tidak terlatih itu benar-benar tidak ada apa-apanya. Bukan berarti aku bangga pada kekuasaan ibuku, tapi mustahil untuk para pemberontak menggulingkan tahta ibuku kalau mereka seperti ini. Mereka harus melakukan revolusi!"
Morgan tidak berkata apa-apa lagi, ia tahu jika Alita tidak begitu dengan dengan ibunya, mungkin jika ibunya kehilangan tahta atau mati karena pemberontakan, Alita adalah orang yang pertama bertepuk tangan dan tertawa di atas mayat ibunya sendiri.
Morgan tidak terlalu peduli dengan para pemberontak, ia mungkin mengira jika saat ini sedang terjadi perebutan tahta para manusia yang haus kekuasaan di ibukota Megalima sana.
Eros tidak berkata apa-apa lagi, ia menundukkan kepalanya. Michelle memeluk erat pasangan jiwanya itu, seakan sedang menyalurkan kasih sayangnya untuk menenangkan Eros.
Iris tidak peduli dengan pembicaraan mereka seputar para pemberontak, ia duduk di samping Thomas dan menunggu dengan sabar kapan bocah itu terbangun.
"Tomy?" Iris memegang tangan Thomas, matanya langsung cerah saat melihat mata biru Thomas terbuka.
"Iris?" Thomas mengangkat tangannya dan menyentuh pipi wanita itu, ia melirik sekitar dengan linglung dan menemukan Alita menjatuhkan tubuhnya dan memeluknya dengan erat.
"Astaga, aku hampir berpikir kau akan mati! Tapi syukurlah kau masih hidup!" Alita berseru riang, ia mengusak rambut Thomas dengan gemas.
Morgan menatap Thomas, ia tidak berkata apa-apa, Michelle dan Eros menyingkir dengan perlahan-lahan, berusaha untuk menghilang dari pandangan mereka.
"Bocah, kau baik-baik saja?" tanya Morgan sambil berjongkok, ia membantu Thomas berdiri dan mengerutkan keningnya saat melihat luka samar di tubuhnya.
"Aku baik-baik saja." Thomas tersenyum, ia menghalau tangan Alita yang ingin memeluknya lagi. "Aku baik-baik saja, Iris."
Iris menghela napas dengan lega, ia tertawa kecil lalu menggenggam tangan Thomas, rasanya ia lelah sekali dalam dua hari ini hanya karena memikirkan Thomas, penyihir itu menarik Thomas ke dalam pelukannya.
Morgan diam, ia mengepalkan tangannya. Bukan karena ia sedang cemburu sekarang, tapi ia merasa ada sesuatu yang salah pada Thomas, seperti ada sesuatu yang berbeda yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Sesuatu yang mengancam yang tidak bisa ia jelaskan sama sekali, Morgan menatap Iris yang menyerahkan sebotol air pada Thomas dan Alita yang mengoceh tiada henti padanya.
Meski ia tidak tahu apakah ini hanya perasaannya saja atau ini adalah bagian dari keegoisannya, instingnya mengatakan bahwa Morgan harus mengawasi Thomas lebih ketat sampai perasaan mengancam ini menghilang dari hatinya.