Sinar matahari bersinar menyilaukan, seorang laki-laki bertubuh tegap menyipitkan matanya, tangannya bergerak berusaha menghalangi sinar matahari yang menimpa wajahnya, samar-samar suara tawa lembut seorang gadis terdengar di dekatnya.
"Kau adalah kandidat Alpha terkuat di pack kita. Aku bangga padamu," ucap seorang gadis dengan rambut ikal panjang, matanya yang besar itu berbinar, Morgan merasakan tangannya berguncang dengan pelan, ia membuka matanya dengan pelan dan melihat dengan jelas siapa yang kini ada di depannya.
"Giselle?"
"Aku akan menjadi pendukungmu nomor satu!" Gadis itu kembali terkikik, ia menarik tangan Morgan, berlari melintasi padang ilalang yang luas.
"Giselle."
Morgan membiarkan gadis itu membawanya pergi, langkahnya terasa ringan, angin sepoi-sepoi bertiup menerpa wajahnya, ia memejamkan matanya sejenak.
Kepalanya terasa pusing, ada bayang-bayang kasar yang tumpang tindih bermunculan ketika ia memejamkan matanya, seperti potongan flim yang berputar, Morgan mengerutkan keningnya, sejenak ia terasa linglung.
Apa yang telah terjadi ? Mengapa ia tidak ingat apa pun?
Morgan merasa ia sudah pernah berada di tempat ini, rasanya seperti adegan yang direka ulang, tapi ia tidak mengerti di mana letak salahnya, dalam hatinya ia bertanya-tanya, apakah ini masa depan? Masa sekarang? Atau justru masa lalu?
"Morgan lihat! Aku menemukan tempat rahasia di sini." Gadis itu menghentikan langkahnya, rambutnya yang ikal itu bergoyang di punggungnya, mereka berada di pinggiran tebing, ia menunjuk ke sebua tempat yang ada di bawah sana, sebuah air terjun yang ditutupi oleh hutan lebat dan penuh bebatuan besar.
Morgan mengedipkan matanya, jantungnya berdebar dengan cepat.
"Itu sangat indah, bukan?" Giselle mendudukkan dirinya di pinggiran tebing, Morgan secara langsung mengikutinya tepat di sebelahnya.
"Ya, itu indah."
Giselle terkikik pelan, tangannya menggenggam erat tangan Morgan dan gadis itu tanpa ragu menyandarkan kepalanya di lengan laki-laki itu. "Kuharap di masa depan kita bisa memiliki rumah dekat air terjun, agar aku bisa mendengar suara air yang beriak itu."
Morgan tersenyum, ia menoleh dan menatap Giselle dengan lekat, ia dengan jelas melihat binar penuh harapan di mata gadis itu, Morgan menggerakkan tangannya dan membelai wajahnya dengan pelan.
"Tidak apa-apa, kita masih muda dan bisa terus tumbuh beberapa tahun lagi untuk mewujudkan impian kita." Giselle kembali buka suara dan ia merapatkan tubuhnya.
Morgan menganggukkan kepalanya, bibirnya tanpa bisa ia kendalikan berucap. "Ya, kita masih punya banyak waktu untuk itu."
"Morgan, apa yang akan kau lakukan saat upacara kedewasaan? Bisakah kau mengalahkan Luke?"
Morgan tertegun, nama Luke sudah lama tidak didengarnya, Luke adalah salah satu pesaingnya sebagai seorang Alpha di pack Blue Moon, dia adalah laki-laki pendiam dan penyendiri, bentuk tubuhnya tidak sebagus Morgan tapi ia memiliki tinggi yang luar biasa.
"Aku punya cara, jangan khawatir." Morgan mengelus kepala Giselle dengan lembut, ia tahu benar kemampuannya dan ia tahu benar kemampuan musuhnya.
Pack Blue Moon sama seperti pack serigala lainnya, upacara kedewasaan diadakan untuk memilih siapa kandidat yang pantas menjadi seorang Alpha sejati, di musim ini ada Morgan dan Luke sebagai calon Alpha terkuat yang akan dipertaruhkan untuk memperebutkan posisi Alpha di masa depan.
"Tidak apa-apa kalau kau kalah," ucap Giselle sambil tersenyum, ia menyentuh dada laki-laki itu dan menepuknya dengan pelan. "Aku benci melihatmu terluka."
Morgan terkekeh pelan, ia manarik Giselle sepenuhnya agar bersandar di dadanya. "Tenang saja, luka tidak akan membunuhku semudah itu."
Giselle berdecak, ia menggembungkan pipinya dengan kesal, Morgan di belakangnya hanya tertawa kecil, merasa gemas dengan tindakan Lunanya, ia membawa hidungnya ke atas kepala Giselle, mencium aroma manis yang paling ia sukai pada Lunanya.
Morgan memejamkan matanya, entah kenapa, ia merasa sangat merindukan aroma ini, seperti sudah lama tidak mencium aroma manis ini, ia mengeratkan tangannya di pinggang Giselle, terasa hangat dan pas padanya.
Perasaan sakit dan kerinduan yang mendalam tiba-tiba muncul dalam hatinya, apa yang sebenarnya terjadi?
"Dear!" Giselle tiba-tiba berseru, ia mendongakkan kepalanya pada Morgan. "Mari kita saling panggil dear!"
Morgan tertawa, merasa lucu dengan perkataan Giselle. "Dear? Itu terdengar aneh."
Giselle menggelengkan kepalanya, ia mendengkus. "Itu tidak aneh sama sekali, wajar bagi pasangan menyebut pasangannya dengan panggilan kesayangan."
Giselle menegakkan tubuhnya, ia menatap lurus Morgan dan menepuk lengannya. "Ayo kita coba. Begini … ayo kita kembali ke rumah, dear."
Morgan tertawa terbahak-bahak, ia bahkan hampir terguling ke tanah ketika melihat wajah Lunanya yang merah padam menahan rasa malu, Giselle berdecak, ia bangkit dan bersedekap.
"Jangan tertawa, itu panggilan kesayangan kita."
"Aha, baik-baik." Morgan berdiri dan menyeka sudut matanya yang sedikit basah, ia memeluk Giselle dari belakang. "Aku tidak akan tertawa lagi, dear."
Pipi Giselle memerah, Lunanya itu mengangguk dengan malu-malu. Tangannya diam-diam saling bertaut dengan gugup.
Morgan mengusak kepala Giselle, ia kemudian membawa Lunanya kembali ke pack mereka dengan jalan yang santai, ia dengan sabar mendengar semua ocehan Giselle, suara yang riang itu terus menerus masuk ke telinganya, Morgan sama sekali tidak terganggu, bahkan jika ia harus mendengarnya selama seharian penuh, ia bisa melakukannya dengan senang hati.
Karena yang mengoceh ini adalah Lunanya, pasangan jiwanya yang diputuskan oleh dewi bulan, bagian dari masa depannya.
Morgan tersenyum, ia menautkan tangan mereka dan meremasnya dengan pelan, Giselle adalah segalanya bagi Morgan, Lunanya yang akan selalu berada di sampingnya, ia adalah orang yang paling cantik dari Luna siapapun, Giselle adalah miliknya seorang.
Giselle merasa Morgan sejak tadi tidak mengucapkan sepatah kata pun, laki-laki itu hanya tersenyum dan memandangnya dengan lekat, gadis itu menusuk pingang Morgan dengan jari telunjuknya. "Apa aku sebegitu cantiknya hingga kamu tidak berkedip sama sekali, dear?"
Sudut bibir Morgan berkedut, meskipun masih merasa tidak terbiasa dengan panggilan kesayangan mereka, ia tetap berusaha menyenangkan hati Lunanya. "Kamu memang yang paling cantik, dear."
Giselle tertawa, merasa geli sendiri ketika ia mendengar panggilan itu terucap dari bibir pasangannya, ia menempelkan jari telunjuknya di bibir Morgan. "Itu hanya boleh diucapkan ketika kita sedang berdua, jangan sampai orang lain tahu."
Morgan menganggukkan kepalanya, ia paham betul apa yang dimaksud oleh Giselle, ia tidak akan protes sama sekali dengan pendapat Lunanya, karena memang benar terasa aneh dan memalukan jika mereka saling memanggil dengan panggilan kesayangan mereka di depan manusia serigala lainnya
"Oke, itu berarti dear akan menjadi panggilan kesayangan rahasia kita, setuju?"
Giselle menganggukkan kepalanya dengan cepat, bibirnya mengulum senyum lebar dan tangannya bergerak memeluk leher laki-laki itu.
"Tentu saja aku setuju, dear."