Sudah sejak lama Iris berada di rawa kematian, ini pertama kalinya ia melihat Thomas banyak bicara, walau penampilannya tidak sesegar manusia pada umumnya, tapi ia terlihat lebih hidup. Thomas dan Morgan sesekali terlibat adu mulut di sepanjang jalan, atau Morgan sengaja mencari-cari masalah dengan Thomas, seperti menyikutnya, mendorongnya, atau tidak sengaja menabraknya.
Jika Thomas kekanakan karena kutukan penyihir putih, maka Morgan adalah laki-laki besar dengan jiwa penuh kejahilan dan kesombongan. Ia memiliki mulut yang beracun yang siap sedia menyakiti hati orang lain.
Saat ini mereka sedang berkuda menuju perbatasan Selatan, Iris mendapatkan kudanya kembali berkat bakat alami yang dimiliki Morgan, sedangkan Morgan menaiki kuda coklatnya bersama Thomas. Alasan lain kenapa Thomas bersama Morgan karena sang manusia serigala itu cemburu berat, ia tidak mengizinkan Iris dan Thomas duduk di kuda yang sama, prinsipnya lebih baik saingan cintanya bersamanya daripada bersama Iris.
Semua manusia serigala itu sama, terkenal dengan kesetiaannya dan juga keposesifannya. Jika sudah diakui sebagai miliknya maka akan jadi miliknya, tidak peduli apa pun itu.
Sementara itu Thomas juga menyukai Iris, tapi tidak berani berpikir untuk memiliki Iris, ia cukup sadar diri dengan segala keterbatasannya, ia adalah laki-laki yang merepotkan dan selalu tergantung dengan orang lain, harga dirinya menipis.
Sedangkan Iris? Dalam pikirannya saat ini tidak ada mereka berdua, ia tidak sepusing Morgan yang memikirkan saingan cintanya, ia juga tidak setakut Thomas untuk berpikir mencintainya. Ia suka mereka berdua, rasa suka yang sama, jika Morgan memintanya sebagai Luna dan Thomas, ia sendiri yang memintanya sebagai pasangan jiwanya, maka ia harus tetap bersama mereka selagi dibutuhkan, Iris hanya berpikir dengan sederhana.
Ia memang seorang penyihir yang berumur ratusan tahun, hidup lebih lama jika dibandingkan dengan mereka berdua, tapi ia tidak punya pengalaman tentang cinta, merasakan debaran asing di dadanya, dulu hidupnya hanya ia habiskan dengan tinggal di dapurnya dan meracik ramuan, selebihnya ia hanya akan bermain dengan Sarah.
Ras lain selalu bilang, jika penyihir itu memiliki sifat licik dan licin, pada kenyataannya memang itulah yang terjadi, hati mereka beku akan cinta, mereka lebih terobsesi dengan ilmu di kitab mereka dibandingkan dengan hubungan percintaan, sehingga ras penyihir merupakan ras paling sedikit di kerajaan Megalima.
"Apa yang kau pikirkan?" Morgan adalah orang yang paling peduli dengan perubahan raut Iris, bisa dibilang dia adalah yang paling peka dari yang lain.
Iris menoleh dan mendapati dua netra yang berbeda warna memandangnya. Kuda mereka berjalan dengan pelan melewati ladang bunga matahari, Thomas menyipitkan matanya karena silau dengan banyaknya warna kuning yang ia lihat.
Iris terkekeh pelan. "Tidak ada, aku hanya ingin buang air sebentar." Iris menunjuk sebuah kolam di ujung ladang, Morgan tanpa sadar mengangguk, ia menarik tali kekang ke arah sebuah pohon di sisi yang berlawanan.
Iris segera membawa kudanya ke arah kolam, namun ia tidak ke sana, melainkan terus memacunya hingga jauh dari Thomas dan Morgan, ia tidak benar-benar ingin buang air kecil, ia hanya mencium aroma lavender pekat yang menyengat di tengah ladang bunga matahari, firasatnya mengatakan, seseorang sedang mengikutinya, seseorang yang sangat ia kenal.
"Apa kabar saudaraku tersayang?" Suara lembut seseorang terdengar di telingnya, Iris dengan spontan menarik tali kuda, membuat kuda itu berhenti, ia menoleh dan mendapati sesosok wanita dengan jubah hitam keunguan berdiri tak jauh darinya.
"Sarah." Iris bergumam, tangannya menggenggam dengan erat. Matanya menatap dengan tajam.
Sarah menarik tudung jubahnya, ia tertawa pelan. "Senang kau mengingatku."
Iris turun dari kudanya, ia saat ini memakai gaun pendek dengan celana dan sepatu kulit, berbeda dengan Sarah yang masih tetap setia pada gaya lamanya, gaun dan jubah panjang.
"Ya, aku ingat." Iris berdiri di hadapan Sarah, hatinya berdenyut sakit. Sarah adalah orang yang paling lama bersama dengannya, ia percaya dengan Sarah sepanjang hidupnya, namun semua itu berubah karena kedengkian yang mendalam di hati Sarah. Temannya itu iri dengan apa yang ia lakukan.
Tapi walau pun begitu, ia tetap menganggap Sarah sebagai temannya.
"Apa yang kau inginkan?" Iris bertanya, ia memasang sikap waspada, ia tidak tahu apa yang diinginkan oleh Sarah setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tapi yang jelas firasatnya semakin memburuk.
Sarah mengeluarkan tangan kirinya dari balik jubahnya, ia menyeringai. "Aku datang untuk memotong tangan kirimu."
Iris terkekeh pelan, ia tidak terkejut melihat tangan Sarah yang kembali utuh, entah berapa banyak percobaan yang dilakukan Sarah untuk mendapatkan tangannya kembali, ia menarik sebelah bibirnya, tersenyum miring.
"Potong saja, kalau kau bisa." Iris menantang, ia melepas tali kekang kuda dan melecutnya, kuda berlari menjauh dari Iris dan Sarah, dua penyihir itu saling pandang dengan tajam.
Sarah mengeluarkan tongkat sihirnya, ia hanya bergumam pelan, sebuah kilat menyambar dari sana, menyerang Iris.
"BLEDAR!"
Iris menghindar dengan cepat, namun Sarah sudah berada di sampingnya dan meninju perutnya, Iris terlempar ke tanah.
Sarah memegang tangannya sambil terkekeh, ia menatap Iris yang bangkit berdiiri.
"Bagaimana? Aku sudah melatih fisikku, tidak mengecewakan kan?"
Iris mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah, sepertinya tergigit, ia mengeluarkan beberapa botol dan melemparkannya ke arah Sarah. Semut-semut berubah menjadi raksasa, menyerang Sarah.
Tapi Sarah hanya tertawa-tawa, ia mengayunkan tinju dan kakinya, tidak butuh waktu yang lama mereka semua hancur di hadapan Sarah. Iris menatap potongan tubuh semut sihirnya dengan tertegun, bagaimana mungkin Sarah menjadi lebih kuat?
"Kau terkejut?" Sarah mencampakkan tongkat sihirnya ke tanah dan memandangi Iris dengan remeh. "Penyihir selalu dikaitkan dengan orang yang lemah secara fisik, tapi aku tidak."
"Apa kau berlatih?" Iris tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya, ia mengerutkan keningnya.
"Tidak juga. Sejak kekalahanku aku menyadari satu hal. Kita memang ditakdirkan sebagai musuh abadi karena kita berada di jalan yang berbeda."
Iris semakin tidak mengerti perkataan Sarah, ia bangkit dengan waspada.
"Jujur saja, kau itu penyihir merah, bukan? Aku terlalu bodoh tidak menyadarinya." Sarah menggerak-gerakkan tangannya, fisiknya terasa sangat kuat saat ini, darahnya mendidih karena semangat.
Iris menelan ludah, ia diam tidak menjawab. Itu adalah rahasia yang ia jaga sepanjang hidupnya, bagaimana mungkin Sarah mengetahuinya? Ia tidak pernah bertindak mencurigakan di depan Sarah.
"Darimana kau tahu?" tanya Iris dengan sorot mata sedingin es.
Sarah meluruskan tangannya, tinjunya saling mengepal. "Tentu saja aku tahu, karena aku …." Sarah menggantungkan kalimatnya, rambut ikalnya berkibar-kibar tertiup angin di ladang bunga matahari. Bibir merahnya yang ranum itu mengukir seringai lebar. "Penyihir Hitam."