Iris tertegun, ia tidak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut Sarah.
Jari-jarinya saling terkepal menimbulkan bunyi gemerutuk, ia menanggalkan jubahnya ke tanah, gaun panjang yang anggun itu telah robek entah dari kapan, bibirnya menyeringai lebar dan matanya menyorot dengan penuh kebencian.
Sarah melihat wajah kaget Iris, ia mengulum senyum penuh kemenangan, melihat wanita itu berlutut dengan wajah pucat. Ia merasa bangga, sudah menebak reaksi Iris akan seperti ini.
"Apa kau takut?" Sarah bertanya dengan wajah mengejek, ia tidak membuang waktu, dengan cepat ia berlari dan menendang Iris.
Iris menghindar ke samping, ia mengucap mantera dengan cepat, sebuah akar melintang menghalangi tendangan Sarah, wanita itu terkekeh, ia balas menghantamkan tangannya dengan keras, akar itu retak dan hancur dalam sekejap.
"KRAK ... KRAK."
Iris mundur, ia mengeluarkan lebih banyak akar dari tanah, Sarah tertawa-tawa dan memukul akar itu dengan mudah.
"Ini saja kemampuanmu? Lebih lemah dari duel kita dulu!" Seru Sarah, ia memukul akar lagi, bunyi patah dan retak itu terdengar jelas, Iris tidak sempat menghindar, tangan kanan Sarah sudah melayang ke pipinya.
"BUGH!"
Iris merasakan pipinya panas terbakar, berdenyut nyeri, ia jatuh ke tanah dengan suara berdebam. Sarah terkekeh-kekeh dengan wajah penuh cemoohan.
"Apa karena kau tidak punya tongkat sihir sekarang?" Sarah mengelilingi Iris, wanita itu bersimpuh sambil memegangi pipinya yang kemerahan, ia terbatuk-batuk.
Dibalik wajah mengejek Sarah, diam-diam wanita itu berpikir keras, ia meragukan Iris, wanita yang sekarang di hadapannya ini terlihat lebih lemah, kemampuan sihirnya sangat rendah, berbeda sekali dengan dulu.
Wanita ini bukan Iris yang ia kenal, entah waktu yang merubah Iris atau ada sesuatu yang terjadi selama mereka tidak bertemu, yang jelas saat ini Sarah merasa asing. Tubuh itu terlihat sama persis dengan Iris, fitur wajahnya, bahkan gaya berpakaiannya, tapi sorot mata Iris terlihat asing, tidak penuh ambisi seperti biasa, tidak berkilat penuh obsesi, sorot mata itu terlihat lebih … hangat.
Sarah melotot, ia menggeleng, merasa lucu dengan pemikirannya sendiri, buru-buru ia menepis segala spekulasi yang bermunculan di hatinya. Ia sudah menetapkan hatinya jauh-jauh hari, jika ia akan memotong tangan Iris seperti apa yang wanita itu lakukan padanya.
"Kau sebenarnya siapa?" Sarah bertanya dengan gugup, setelah lama memikirkan pertanyaannya ketika Iris terlihat tidak berniat melawannya, wanita itu hanya duduk.
"Apanya yang siapa?" Iris balik bertanya dengan bingung, ia bangkit sambil memegangi pipinya yang bengkak.
"Kau terlihat berbeda," ucap Sarah jujur, ia kembali melayangkan tendangan ke wanita itu, lagi-lagi hanya menendang akar yang muncul tepat di depan Iris.
Sarah mendengus, ia sudah membuang tongkat sihirnya ke tanah, tidak ada waktu untuk mengambilnya kembali, ia harus menyelesaikannya secepat mungkin.
Iris terlempar ke ladang bunga matahari akibat tendangan Sarah, ia terbatuk lagi, darah keluar dari mulutnya, rasa sakit yang membakar menyerang paru-parunya, ia membuka mulutnya, meraup oksigen sebanyak-banyaknya.
Bunga matahari yang tertimpa tubuhnya patah, daunnya rusak, bunganya jatuh ke tanah. Iris menggenggam daun-daun itu dengan napas tertahan.
Ia memandangi Sarah, ingin menjawab pertanyaannya pun rasanya tidak bisa, tenggorokannya terasa tercekik, napasnya terasa tertahan di tenggorokan, darahnya terasa bergejolak, tubuhnya terasa panas luar biasa, tubuhnya terasa aneh dan ia tidak menyukai sensasi ini.
Ia tidak tahu jika serangan Sarah memiliki dampak yang menyakitkan bagi tubuhnya, entah sudah berapa lama Sarah berlatih dan sudah berapa lama ia mengetahui identitasnya, kekuatan Sarah sekarang tidak main-main.
Penyihir hitam paling kuat dibandingkan dengan bangsa Orc, sama seperti penyihir merah, mereka tidak banyak, hanya ada beberapa orang yang hidup dalam satu dekade, itu pun jika mereka mengetahui identitas mereka, karena biasanya penyihir agung jarang memiliki keturunan.
Iris memejamkan matanya dan menarik napas panjang, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar tidak karuan, darahnya terasa mendidih, napasnya kian sesak dari waktu ke waktu, ia tidak bisa bertahan lebih lama melawan Sarah.
Sarah tidak peduli dengan keadaan Iris, melihat wanita itu kesakitan dan menampakkan wajah sekarat membuat hatinya berbunga-bunga, ia senang. Sarah kembali berlari ke arah Iris melancarkan tendangannya secara membabi buta, Iris menghindar dengan kewalahan, ia menahan tendangan itu dengan sikunya.
"Haa …." Sarah tertawa kecil, ia dengan cepat melayangkan tendangannya lagi ke perut Iris, wanita itu terlempar lagi.
Sarah tertawa-tawa, ia tidak menyangka Iris akan selemah ini, entah karena kekuatannya sebagai penyihir hitam atau karena Iris terlalu lemah, ia merasa ini semua benar-benar di luar dugaan.
"Mana yang disebut penyihir merah? Kau itu hanya penyihir kelas rendah," kata Sarah sambil bersedekap, ia mengembangkan senyum di bibir ranumnya itu ketika melihat Iris menunduk memegangi perutnya.
Iris terbatuk lagi, darah segar keluar dari mulutnya, ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangannya.
"Mari kita hentikan saja ini," ucap Iris tiba-tiba, raut wajahnya terlihat dingin.
Sarah mengangkat dagunya tinggi, ia mencibir, apa Iris benar-benar kehabisan tenaga sekarang? Ia menyerah secepat itu? Tidak bisa dipercaya sama sekali.
"Kulihat kau datang bersama pasangan jiwamu, kalau aku bermain-main dengan mereka sebentar boleh 'kan? Terutama yang rambutnya putih itu." Sarah terus membuka mulutnya, ia memprovokasi agar Iris marah.
Thomas.
Tangan Iris terkepal, ia menatap tajam Sarah, sedangkan yang ditatap hanya meregangkan tangannya merasa senang melihat reaksi Iris.
Sarah mendengus dengan kesal, ia mengangkat sebelah alisnya. Iris paham betul apa yang dimaksud bermain-main oleh Sarah, penyihir hitam itu mungkin akan melakukan sesuatu yang berbahaya kepada mereka, terutama Thomas yang saat ini nyawanya berada di ujung tanduk, jika ia terkena sihir lain justru akan mempercepat kematiannya. Sedangkan Morgan, Iris lebih khawatir mulut beracunnya itu akan membuat Sarah semakin marah.
"Jangan sentuh mereka," sahut Iris, tangannya mengepal erat, ia berdiri menegakkan tubuhnya di tengah tumpukan bunga matahari yang rusak, gaunnya robek di sana sini karena serangan Sarah, kotor di mana-mana, bibirnya sobek dan berdarah.
"Kalau begitu, mari tunjukkan padaku, kekuatan penyihir merah yang sebenarnya," tantang Sarah tanpa rasa gentar, ia benar-benar bersemangat dari waktu ke waktu.
Iris memandang Sarah dengan lekat, mereka hening sejenak.
"Benar, apa aku akan takut?" Iris tiba-tiba membuang semua botol sihir yang ada di balik jubahnya, botol-botol itu jatuh ke tanah lalu berubah menjadi asap tipis, Sarah memasang sikap waspada, namun ia tidak menemukan ramuan itu merubah sesuatu seperti sebelumnya, hanya hilang di tiup angin.
Sarah lagi-lagi menyeringai lebar, ia berdiri dengan wajah penuh kepongahan. "Aku tidak akan takut."
Iris tersenyum, ia menghapus jejak darah di dagunya, bibirnya bergerak-gerak merapal mantera.
Angin berhembus, rambut Sarah yang ikal itu berkibar, Sarah menghalaunya dengan tangannya, ia melirik sekeliling, langit tiba-tiba menjadi mendung, awan hitam berarak-arak menghalangi sinar matahari, batang-batang bunga matahari bergoyang seirama angin, berbunyi gemerisik, daun-daun yang rusak di tanah itu melayang-layang di sekitar mereka.
"Kalau begitu, jangan takut."