Asap mengepul keluar dari sebuah pondok kayu jauh di tengah padang rumput ilalang yang tinggi, seorang pria berjubah hitam datang dengan langkah pelan, menaiki tepian-tepian kayu menimbulkan bunyi berderak, mengetuk pintu sebentar lalu membuka pintu lebar-lebar.
"Kau datang?" suara halus menyambut pria itu, tampak seorang wanita dengan rambut panjang ikal bergelombang berdiri membelakanginya.
Tangan halus wanita itu sibuk, mengaduk sesuatu di sebuah kawah besar berisi cairan berwarna hijau yang meletup-letup seiring besarnya api di bawahnya.
"Apa kau mendengarnya?" Pria itu melepas jubahnya, duduk di kursi kayu dekat jendela yang terbuka lebar, menikmati semilir angin.
Wanita di depan kawah itu tak menyahut, sibuk mengaduk.
"Kasus kematian di desa Utara, itu bukan ulah penyihir biasa," lanjut pria itu.
"Aku tahu, Gail." Setelah sekian lama berdiam diri wanita itu menyahut.
"Apakah dia?" Gail mengusap rambutnya yang berwarna keemasan, berkilauan tertimpa matahari.
"Ya, dia benar-benar kembali."
"Penyihir yang membuatmu kehilangan tangan kirimu?" Gail bertanya lagi memastikan, melirik tangan yang dibenamkan oleh wanita itu ke cairan panas dalam kawah.
Mereka larut dalam keheningan, hanya suara letupan dan bunyi kayu yang dilalap api.
"Sarah?" Gail memanggil, antara khawatir dan tidak sabar.
Wanita itu, Sarah, menarik tangannya yang dipenuhi lendir hijau berasap, mengambil kain untuk menyeka tangannya.
Gail melihatnya hanya menutup mulut, takut muntah. Ia tidak pernah suka melihat penyihir mengaduk ramuan, mereka memasukkan benda-benda jijik yang membuatnya perutnya bergolak mual.
"Ya." Sarah berbalik, menatap Gail yang masih duduk di kursinya, "aku tidak sabar untuk bertemu dengannya lagi, Amara Iris."
Sarah mengeluarkan tangan kirinya dari kain, memamerkan pada Gail bahwa tangannya kembali utuh.
"Akan Kupastikan dia akan mati di tanganku," ucap Sarah sambil memasang senyum menyeringai, Gail yang menatap itu hanya bergidik ngeri, dalam ingatannya ia mengingat-ingat siapa sosok yang membuat teman tercintanya itu mendendam sampai berakar seperti ini.
Amara Iris, penyihir yang tidak diketahui berasal dari keluarga mana, namanya tidak jelas. Kekuatannya sangat aneh.
"Dia tidak seberbahaya itu lagi kan?" Gail bertanya. Mengingat tongkat sihir Iris berada di tangan Sarah.
Sarah melirik tongkat sihir yang dikurung dalam stoples kaca, seperti barang berharga berdampingan dengan mata dan kuku manusia yang difermentasi dalam air.
"Dulu aku terlalu lemah dan naif." Sarah duduk di hadapan Gail sambil membawa teko berisi air, menuangkannya ke cangkir, "Tapi sekarang aku tahu."
"Dia wanita licik. Mengambil tongkat sihirnya tidak berarti apa-apa."
"Bagaimana mungkin? Tongkat sihir adalah benda paling penting bagi penyihir." Gail memelankan suaranya, teringat hal lain, " Hanya penyihir putih yang agung bisa menyihir seseorang tanpa tongkat."
"Aku tahu. Tapi aku sudah memeriksa tongkat Iris selama bertahun-tahun dan hasilnya, nihil. Tidak ada apa-apa, itu hanya tongkat kayu biasa."
Gail membuka mulutnya hendak bicara namun tertahan.
"Aku penasaran siapa sebenarnya dia."
Sarah menggerakkan tangan kirinya yang baru terbentuk dari ramuan yang dibuatnya, tersenyum puas.
Ia tidak ingat kapan pertama kali bertemu Iris. Yang ia ingat mereka tidak pernah akur, mereka selalu bersaing dalam segala hal, seolah ditakdirkan menjadi musuh abadi, Sarah adalah salah satu dari penyihir tingkat atas, ia terkenal dengan kemahirannya meracik ramuan sihir, dan Iris bukanlah siapa-siapa pada awalnya, tapi menjadi sosok yang paling dibenci Sarah ketika Iris berhasil membuat ramuan kehidupan.
Ramuan itu terlarang, bahkan bagi penyihir agung sekelas penyihir putih, Iris berhasil membuatnya, dan ia mendapat perhatian lebih dari penyihir lain, ia menjadi ditakuti.
Ditakuti oleh ras lain tetapi dipuja oleh ras penyihir, Iris diperlakukan seperti dewa. Sarah menjadi iri dan dengki.
Setiap kali mereka bertemu, perkelahian di antara mereka selalu terjadi, entah siapa yang memulai pada awalnya, hubungan mereka semakin hari semakin memburuk.
Dan terakhir kali mereka bertarung hingga sampai titik darah penghabisan, Sarah kehilangan tangan kirinya dan Iris menghilang.
"Mengapa kau masih mengincarnya? Itu sudah lama terjadi, mungkin saja dia sudah melupakanmu." Gail menatap keluar jendela, berusaha berpikir logis, dia tidak ingin ikut campur masalah pribadi Sarah, ia hanya ingin hidup dan menikmati bagaimana ilalang bergoyang tertiup angin, menikmati matahari di luar sana yang bersinar terik.
"Kalaupun dia lupa, akan kubuat dia mengingatnya." Sarah ikut menatap ilalang yang bergoyang.
Gail terkekeh, tak tahu harus berkata apa, temannya ini tidak berubah, selalu terobsesi dengan Iris.
"Jika dugaanku benar, dia bukan penyihir biasa."
"Lalu siapa dia?" Gail bertanya, tidak benar-benar tertarik sebenarnya.
"Aku masih menerkanya, dia mungkin saja salah satu dari ini."
Sarah membuka sebuah buku yang sampulnya sudah robek sebagian, Gail mendengus, melihat tangan Sarah menunjuk sebuah lukisan dengan tiga garis warna, merah, hitam dan putih.
"Merah?" Gail bergumam tidak paham, dia ksatria, bukan penyihir hanya melihat garis warna dan tulisan seperti rumput itu tidak akan membuatnya mengerti meski dipelototi ratusan kali.
"Siapa penyihir agung yang kau ketahui?" Sarah balik bertanya, mata hitamnya itu berkilat menampakkan sebuah antusias yang tinggi.
Gail menggaruk belakang kepalanya bingung, Sarah terlalu berbelit.
"Tentu saja penyihir putih." Gail menyahut singkat.
"Itu sekarang. Tapi dulu ada tiga penyihir agung."
"Eh? Apa itu sebelum aku lahir?"
Sarah terkekeh, bagaimanapun Gail adalah manusia, umurnya berbeda, ia hanya mengangguk memperhatikan wajah polos Gail.
"Tidak hanya penyihir putih, tapi penyihir hitam dan penyihir merah."
"Hah?"
"Jika penyihir putih terkenal dengan kutukannya, maka penyihir hitam terkenal dengan kekuatan fisiknya, sedangkan penyihir merah ...." Sarah menunjuk garis merah yang melintang lebih panjang dari yang lainnya.
"Mereka terkenal dengan kesadisannya."
"Apakah mereka membunuh?" Gail merasakan merinding tiba-tiba, Sarah mengangguk samar.
"Dengan kejam dan brutal."
"Lalu apa hubungannya dengan Iris? Kenapa sekarang hanya ada penyihir putih? Aku tidak mengerti."
"Mereka tidak seperti penyihir putih yang taat pada ratu, membuat banyak kekacauan dimana-mana, membuat ratu harus mengeluarkan perintah penahanan, namun dibalik semua itu mereka berdua saling bersaing. Menurutmu Gail, mirip siapa?"
"Kau dan Iris?" Gail bergerak gelisah, Sarah tidak pernah berbicara sebanyak ini, biasanya wanita ikal ini hanya berbicara sepatah dua patah kata ketika ia datang, apa Iris membuatnya begitu bersemangat?
"Tepat sekali. Aku adalah keturunan penyihir hitam dan aku menduga Iris adalah penyihir merah itu."
"Wow, itu mengesankan." Gail berkomentar, setelah sekian lama bersamanya baru sekarang ia mendengar Sarah mengungkap jati dirinya, "Lalu kau ingin berduel lagi dengannya?"
"Ya. Tidak akan kubiarkan musuh bebuyutannya hidup dengan tenang, akan kucari dia sampai ke ujung dunia."
Gail menghela napas panjang, ia sudah menduga ini akan terjadi jika berkaitan dengan musuh bebuyutannya Sarah, ia sudah memperhitungkan reaksi wanita itu.
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo kita susul musuh bebuyutanmu itu."
Sarah tersenyum puas, membelai rambut keemasan milik Gail sambil menjilat bibirnya, ia tidak sabar bertemu dengan Iris, darahnya serasa mendidih karena terbakar rasa antusias yang tinggi.