Chereads / Jangan Rebut Suamiku / Chapter 22 - Part 21 - Sebuah Pengakuan

Chapter 22 - Part 21 - Sebuah Pengakuan

1 Bulan Kemudian.

Tepat satu bulan kepergian Tommy membuat Sabila masih tidak percaya jika mantan suaminya tersebut akan pergi secepat itu. Sabila merasa prihatin jika orang yang dulu pernah menjadi bagian hidupnya harus pergi dengan cara yang sangat tragis, menderita sakit, di telantarkan oleh istrinya, lalu sang istri pergi bersama lelaki lain dan membawa seluruh harta benda miliknya.

Astagfirullahaladzim, yang tenang di sana mas. Sekarang kamu sudah tidak ngerasain sakit lagi. Desis Sabila lirih.

Tak lama kemudian Rahman yang sedari tadi memperhatikan Sabila, tau betul apa yang sedang ia rasakan. Rahman segera bergegas menghampiri Sabila dan hal itu membuat Sabila sedikit tersentak kaget karena kehadiran Rahman.

"Mas Rahman, bikin kaget saja". Gumam Sabila.

Rahman tersenyum. "Maafkan aku Sabil, jika sudah membuatmu kaget. Melamun sore-sore sendirian itu gak boleh loh, makanya nih aku bawain teh hangat buat ngusir suntuk".

"Repot-repot banget sih mas, aku bisa kok bikin sendiri". Ujar Sabila.

"Gak apa-apa sekali-kali tamu menyiapkan untuk tuan rumah, kan selama ini kamu yang masak terus untuk aku". Sahut Rahman sambil mencoba menyeruput teh miliknya.

Sementara Sabila merasa sedikit lega setelah menyeruput teh buatan Rahman, seakan-akan segala kegelisahannya terlepas begitu saja.

"Gimana? Apa kamu sudah siap untuk acara lamaran nanti malam?". Tanya Rahman.

Sabila menghela nafas. "Insha Allah, aku siap mas. Doakan ya mas, semoga ini menjadi pernikahan terakhir untuk aku".

Rahman tersenyum. "Pasti Sabil, semoga kamu bahagia bersama Amar".

"Terima kasih, mas".

"Iya sama-sama Sabil, yaudah kalau gitu aku mau cek ke depan dulu ya. Siapa tau ada yang masih kurang untuk persiapan nanti malam".

Sabila mengangguk, sementara Rahman segera bergegas untuk mengecek kebutuhan acara lamaran adik iparnya.

Terima kasih ya Allah. Karena engkau masih mengijinkan ku untuk kembali berumah tangga. Gumam Sabila.

Malam hari pun tiba, Sabila sedang sibuk memoles wajahnya dengan riasan senatural mungkin. Lagi-lagi ia teringat masa lalunya ketika Tommy dan keluarganya datang untuk melamar. Tak lama kemudian Santi datang menghampirinya di dalam kamar, Santi tersenyum melihat ibu angkatnya yang sangat terlihat cantik.

"Masha Allah, ibu cantik banget".

Sabila membalikkan tubuhnya menghadap Santi. "Terima kasih sayang, ibu bahagia banget malam ini".

"Ya jelas dong harus bahagia, aku juga bahagia banget karena akhirnya Allah mempersatukan ibu dengan Dokter Amar".

"Terima kasih Santi".

"Bu, kayanya keluarga Dokter Amar sudah datang. Ayo bu, di selesaikan riasannya terus abis itu kita keluar".

Sabila langsung melanjutkan riasannya dan memoles bibirnya dengan warna lispstick soft peach yang membuat aura kecantikannya terlihat sangat natural. Setelah riasannya selesai, Sabila bergegas keluar kamar bersama Santi. Seketika para tamu undangan di buat terkejut melihat penampilan Sabila yang begitu sangat cantik.

Amar pun tak kalah tercengangnya melihat penampilan Sabila, sampai pada akhirnya lamunan Amar buyar ketika sang mama membuyarkan lamunannya.

"Ngedip Amar, dosa loh kamu kan belum sah". Ujar sang mama sambil mengusapkan tangannya ke wajah Amar dan hal itu mengundang decak tawa para tamu undangan.

"Mama, apa sih ma". Gerutu Amar.

Acara lamaran pun langsung di mulai dengan untaian do'a yang di pimpin oleh seorang ustad. Suasana terasa sangat hikmad ketika Ibunda Amar memakai kan cincin di jari manis Sabila.

♡♡♡

Rio masih termenung memikirkan masalah yang sedang ia hadapi, tak lama kemudian Vina yang tak lain adalah sekretaris Rio, masuk ke dalam ruangannya secara tiba-tiba. Dan hal itu membuat ia tersentak kaget, sementara Vina langsung melempar senyum ke arah Rio.

"Vina, kamu bikin aku kaget aja". Ujar Rio sambil menggaruk tengkuknya.

Vina tersenyum sambil berjalan menghampiri Rio. "Maafkan aku bos, lagian bos lagi ngelamunin apa sih?". Sahut Vina yang langsung menempelkan dagunya di bahu kiri Rio.

"Biasa, urusan pribadi". Jawab Rio singkat.

"Emm.. Kalau boleh tau apa masalahnya? Siapa tau aku bisa bantu". Gumam Vina sambil berbisik lirih di telinga kiri Rio dan hal itu membuat bulu kuduk Rio merinding.

Dan hal tersebut membuat Rio salah tingkah dan tidak bisa lagi menahan diri untuk mengecup Vina. Dengan cepat Rio langsung menarik Vina ke dalam pangkuannya, tanpa pikir panjang Rio langsung melumat bibir Vina.

Tak lama kemudian permainan liar mereka terhenti karena terdengar seseorang mengetuk pintu ruangan Rio. Sementara Vina langsung merapikan rambut dan juga kancing bajunya, Vina segera bergegas membuka pintu tersebut dan di lihat nya Rena sudah berada di hadapannya.

Rena yang merasa emosi melihat Vina berada di dalam ruangan Rio, mencoba untuk menahan emosinya agar tidak meledak. Tanpa pikir panjang Rena langsung bergegas masuk tanpa bertegur sapa dengan Vina, kesal karena tingkah Rena yang seperti itu Vina segera pergi dari ruangan Rio.

"Hai sayang, gitu dong kalau masuk ketuk pintu dulu". Gumam Rio yang langsung menghampiri Rena dan mencoba untuk memeluknya.

"Udah deh gak usah basa-basi, ngapain perempuan itu ada di ruangan kamu?". Gerutu Rena.

Rio tertawa. "Rena-Rena, Vina itu sekretaris aku. Kalau dia ada di ruangan aku, berarti itu ada berkas yang harus aku kerjakan atau aku tanda tangani. Apa kamu sudah lupa apa saja jobdesk sebagai sekretaris? Dulu kan kamu juga sekertarisnya Mas Tommy".

"Tapi kamu gak macem-macem kan sama dia?". Tanya Rena sinis.

Sementara Rio hanya menggelengkan kepala. "Lalu kenapa kamu datang kemari?".

"Aku bosan di rumah, kenapa sih kamu larang aku buat kerja lagi? Terus kapan kamu mau nikahin aku?". Rengek Rena.

Rio menarik nafas panjang. "Aku lebih suka kamu menjadi seorang wanita rumahan yang bisa menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk suami dan anak-anaknya kelak. Makanya aku gak mau kamu bekerja lagi, soal pernikahan aku sudah pikirin semuanya matang-matang mungkin tiga bulan lagi kita akan menikah". Ujar Rio.

"Serius tiga bulan lagi? Kenapa kamu gak kasih tau aku dari awal soal ini?". Sahut Rena sumringah.

"Aku mau kasih surprise ke kamu dong, kalau dikasih tau diawal nanti bukan surprise namanya". Gumam Rio tersenyum.

Sementara Rena langsung memeluk Rio dengan erat, namun di lain tempat seseorang yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka merasa tidak menginginkan pernikahan itu terjadi. Orang tersebut langsung memikirkan strategi agar Rio tidak jadi menikahi wanita pilihannya.

♡♡♡

Sabila baru saja selesai menunaikan shalat dzuhur, tak lama kemudian sang ibu datang menghampirinya dan memberitahu jika Rahman datang untuk menemuinya.

"Sabil, di depan ada nak Rahman".

"Oh iya bu, sebentar ya nanti aku nyusul ke depan".

Sabila bergegas merapikan mukenanya lalu ia segera menghampiri Rahman.

"Mas Rahman, maaf ya lama".

"Nggak kok Sabil, aku juga baru aja datang. Nggak tau kenapa aku suka banget sama suasana halaman belakang rumah ini, rasanya tenang banget kalau lagi ada di sini".

Sabila tersenyum. "Aku sengaja mengubah nya menjadi area hijau disini mas. Jadi pas pagi dan sore kerasa segernya".

"Kamu memang pintar Sabil untuk menata hal seperti ini, aku sangat kagum".

"Ah, kamu bisa aja mas. Oh ya mas, ada apa ya kok tumben masih siang begini kamu sudah kemari?". Tanya Sabila.

"Begini Sabil, malam ini aku mengundang kamu, ibu, bapak dan juga Amar untuk makan malam bersama di rumah orang tuaku. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan sama kalian semua". Ujar Rahman.

Sabila mengernyitkan dahinya. Hal penting apa mas?". Tanya Sabila bingung.

Rahman tersenyum. "Nanti kamu juga akan tau semuanya, aku sudah menghubungi Amar untuk datang malam ini dan Amar akan datang setelah selesai praktek. Kalau begitu aku pergi dulu ya Sabil, aku harus menemui seseorang".

Sabila pun hanya menganggukkan kepalanya, lalu Rahman segera berlalu dari hadapan Sabila. Dirinya masih penasaran dengan apa yang ingin di bicarakan oleh Rahman. Sesekali ia mencoba menerka namun tak ada hasil untuk itu semua.

Tak lama kemudian Santi datang menghampirinya. "Bu, Santi mau ijin keluar sebentar ya".

"Kamu mau kemana?".

"Aku bosan bu, di rumah mulu. Jadi aku mau pergi ke toko buku, siapa tau ada koleksi buku terbaru".

"Oh yasudah kalau begitu, ini ibu kasih uang untuk membeli buku".

"Gak usah bu, kebetulan aku masih ada uang. Jadi kalau nanti ada yang lebih penting baru aku minta sama ibu".

Sabila menghela nafas. "Yasudah kalau begitu, kamu hati-hati ya di jalan. Jangan pulang malam-malam ya karena kita ada acara makan malam di rumah orang tuanya Pak Rahman". Ujar Sabila.

"Emm.. Iya bu, yaudah kalau gitu Santi pergi dulu ya bu".

Sabila menganggukkan kepalanya lalu ia memutuskan untuk beristirahat siang. Malam pun tiba Sabila baru saja selesai mengenakan jilbabnya, sesekali ia mencoba menelepon Santi namun ia tak kunjung menjawabnya.

"Kemana sih kamu, Santi". Gumam Sabila cemas.

Tak lama kemudian satu pesan di terima dari Santi yang meminta Sabila dan keluarganya untuk pergi terlebih dahulu dan ia akan menyusulnya. Sabila menghela nafasnya dan bersyukur setidaknya Santi baik-baik saja.

Suara bel terdengar berbunyi dan Sabila langsung bergegas untuk membukakan pintu. Di lihatnya Amar sudah berada di hadapannya, Amar hanya bisa terpaku melihat penampilan Sabila malam ini yang terlihat sangat cantik dari biasanya.

"Amar, kenapa melamun? Apa ada yang salah dengan pakaianku?". Ujar Sabila.

Amar pun tersadar dari lamunannya. "Kamu terlihat sangat cantik dari biasanya Sabil".

Sabila pun tersipu malu mendengar ucapan Amar. "Kamu bisa aja, oh ya sebentar ya aku panggil ibu sama bapak dulu sekalian mau ambil tas dulu". Ujar Sabila yang langsung bergegas memanggil orang tuanya dan mengambil tas miliknya.

Amar segera melajukan mobilnya sepanjang perjalanan mereka berempat saling berbincang sambil membahas soal rencana pernikahan  Amar dan juga Sabila. Setelah berkendara kurang lebih dua puluh menit akhirnya mereka berdua tiba di kediaman orang tua Rahman.

Rahman yang sudah menunggu kedatangan mereka, langsung menyambut kedatangan Amar, Sabila dan juga kedua orang tua Sabila. Tak lama kemudian orang tua Rahman juga ikut menyambut kedatangan mereka berempat.

"Sabila, anak ku terima kasih ya nak kamu sudah mau datang di acara makan malam hari ini". Ujar mama mertuanya.

"Iya ma, sama-sama. Mama gimana kabarnya?". Tanya Sabila.

"Alhamdulillah mama baik, yaudah yuk kita masuk".

Mereka segera bergegas masuk dan langsung menuju ruang makan, di meja makan sudah tersaji berbagai hidangan untuk menjamu Sabila dan keluarganya.

"Wah ma, banyak sekali masakan nya?". Gumam Sabila.

"Untuk menjamu tamu spesial ya harus menyiapkan yang spesial juga dong". Ujar mama mertuanya.

Sabila tersenyum. "Ah, mama bisa aja. Ma, pa, Mas Rahman, makasih ya sudah mengundang aku, ibu, bapak dan juga Amar makan malam bersama". Seru Sabila.

"Iya Sabil, yaudah yuk kita mulai makan malam nya". Ujar Rahman.

"Bisa tunggu Santi sebentar? Karena dia akan datang menyusul. Sabil mencoba menghubungi Santi namun nomor Santi tidak aktif.

"Kenapa Sabil?". Tanya sang ibu.

"Nomor Santi gak aktif bu".

"Kalau nomor Santi gak aktif kayanya Santi gak bakal bisa kesini, nak. Bagaimana bisa dia kesini tanpa maps yang kamu kirim". Timpal sang ibu.

Sabila menghela nafas. "Yasudah mas, kita mulai saja acara makan malannya".

Mereka semua segera memulai makan malamnya, suasana malam itu terasa hangat bagi Sabila. Sementara Amar pun merasakan hal yang sama, karena baginya kebahagiannya kini sudah lengkap dengan adanya Sabila di hidupnya. Setelah makan malam selesai Rahman segera meminta Sabila, Amar, orang tua Sabila dan juga orang tuanya untuk pindah ke ruang tengah sambil menikmati hidangan yang tersedia. Setelah semua keluarganya berkumpul di ruang tengah, Rahman segera membuka suara untuk menjelaskan maksud dari undangan makan malam yang ia selenggarakan.

"Sebelumnya saya mau mengucapkan terima kasih untuk Sabila, ibh, bapak dan juga Amar yang sudah bersedia datang pada malam hari ini. Acara makan malam ini saya selenggarakan untuk tetap mempererat tali silaturahmi di antara kita. Sabila, saya mau minta maaf sama kamu, karena—". Rahman tidak bisa meneruskan kalimatnya dan hal itu membuat Sabila dan juga yang lainnya bingung.

"Iya, Mas Rahman tapi maaf untuk apa?". Tanya Sabila bingung.

Rahman menyeka air mata nya dan mencoba untuk menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kalimat nya. "Sabil, maaf karena sejak remaja dulu aku tidak memiliki keberanian untuk menyatakan perasaanku padamu. Ketika aku mengetahui Amar mencintaimu, aku adalah orang pertama yang menghalangi cinta kalian berdua. Aku yang sudah mengambil surat milik Amar yang ia tinggalkan di kursi taman".

Amar terbelalak mendengar pernyataan Rahman, sementara Sabila hanya bisa menoleh ke arah Amar tanpa sepatah katapun.

"Mas, maaf sebelumnya tapi apakah kita pernah saling mengenal sejak dulu? Karena, aku baru mengenal Mas Rahman ketika bapak sama ibu menjodohkan aku dengan almarhum Mas Tommy". Ujar Sabila.

"Sabil, kita memang tidak saling mengenal. Tapi aku tau kamu, karena aku adalah kakak kelas kamu sewaktu di SMA. Sejak pertama aku melihat kamu, aku sudah jatuh cinta sama kamu dan saat itu lah aku mulai mencintaimu dalam diam". Sahut Rahman sementara Sabila sedikit terenyuh mendengar ucapan Rahman, bahkan ia tidak tau harus berkata apa lagi.

"Kamu pasti marah ya Sabil karena akhirnya kamu tau kalau aku yang sudah mengambil surat dari Amar?". Sambung Rahman.

"Tidak mas, aku sama sekali tidak marah. Yang berlalu biarkanlah berlalu, aku tidak mempermasalahkannya mas. Karena kalau Amar memang jodohku, dia pasti akan kembali untukku dengan adanya campur tangan Allah dan buktinya sekarang aku dan Amar di persatukan kembali kan mas?". Ujar Sabila.

"Yang di katakan Sabila itu benar Mas Rahman, saya juga tidak marah. Ya, mungkin ini sudah jalan hidup saya untuk mendapatkan Sabila dengan cara yang rumit. Sudah mas jangan terlalu di pikirkan karena hal itu sudah berlalu dan saya juga mendoakan agar Mas Rahman segera menemukan kebahagiaan sesuai dengan yang Mas Rahman inginkan". Ujar Amar.

Rahman kembali menyeka air mata nya setelah mendengar pernyataan dari Sabila dan juga Amar. "Tapi semua masalahnya bukan hanya di situ Sabila". Seru Rahman.

"Lalu?". Sahut Sabila singkat.

"Ketika aku harus menerima kenyataan di jodohkan dengan almarhumah Laras, aku berjuang keras untuk mencintai dia tapi aku selalu gagal. Dan ketika aku tau bahwa almarhum Tommy di jodohkan dengan kamu, sejak saat itu aku sangat marah dengan orang tuaku dan aku juga tidak rela jika kamu menikah dengan adikku. Ketika seminggu setelah pernikahanmu, aku berniat untuk membunuh kamu karena aku tidak rela jika adikku memilikimu. Maka dari itu aku menuangkan zat kimia ke dalam sup yang akan kamu makan, aku pikir zat kimia itu langsung bereaksi di dalam tubuhmu namun sayang rencanaku gagal dan aku terus mencoba memasuk kan zat kimia tersebut secara terus menerus ketika kita memiliki kesempatan makan malam bersama keluarga. Dan pada akhirnya zat kimia tersebut baru bereaksi setelah satu tahun pernikahanmu dan akhirnya kamu mengalami stroke". Ujar Rahman terisak.

Semua orang terbelalak mendengar pernyataan yang di berikan oleh Rahman. Terlebih lagi dengan Sabila, ia tidak menyangka jika kakak iparnya yang ia kenal baik di matanya ternyata dulu sangatlah kejam pada dirinya.

"Apa? Jadi maksud Mas Rahman, aku stroke karena perbuatan kamu mas?". Gumam Sabila sambil menitikan air mata.

"Iya Sabil, aku melakukan itu karena aku terpaksa. Aku tidak rela jika kamu menjadi milik Tommy". Sahut Rahman.

"Rahman, bapak tidak menyangka kamu tega berbuat seperti itu kepada Sabila. Dimana hati nurani kamu Rahman, kamu hampir saja membuat Sabila kehilangan nyawanya. Bapak benar-benar kecewa sama kamu Rahman, ternyata kamu tidak ada bedanya dengan adikmu itu". Seru sang bapak.

"Maafkan aku pak, aku tau aku salah dan aku siap menerima hukumannya". Sahut Rahman lirih.

"Lalu, apa Mas Rahman bahagia setelah melihat aku tidak berdaya?". Ujar Sabila.

"Jujur awalnya aku bahagia, namun setelah aku melihat langsung kondisi kamu, hatiku benar-benar hancur dan perasaan bersalah terus menghantuiku Sabil. Maka dari itu aku berusaha keras untuk menyembuhkan kamu dan membawamu keluar dari rasa sakit yang kamu derita, sekali lagi aku minta maaf Sabil. Aku ikhlas jika kamu mau melaporkan aku ke polisi, karena aku adalah seorang pembunuh". Seru Rahman terisak sambil berlutut di hadapan Sabila. Namun Sabila hanya bisa terisak mendengar semua pernyataan Rahman, sementara Amar mencoba untuk menguatkan Sabila.

"Mas Rahman, sudahlah. Kamu bukan seorang pembunuh karena orang yang berencana kamu bunuh sampai sekarang masih hidup dan sehat wal'afiat di hadapan kamu. Sudah mas, jangan berlutut seperti ini, karena aku telah memaafkan kamu. Asalkan kamu janji sama aku, kamu tidak akan melakukan hal yang sama kepada orang lain". Gumam Sabila.

Rahman yang mendengar ucapan Sabila langsung menangis histeris, ribuan kata maaf dan juga ucapan terima kasih tak henti hentinya keluar dari Rahman. Tak lama kemudian seseorang keluar dari dalam kamar tamu, Sabila terbelalak kaget ketika melihat anak angkatnya sudah berada di hadapannya.

"Santi? Kenapa kamu bisa ada disini?". Tanya Sabila bingung.

Santi segera bergegas menghampiri ibu angkatnya dan mencium punggung tangan ibu angkatnya, lalu ia langsung duduk berlutut di samping Rahman.

"Bu, apa ibu mau memaafkan semua kesalahan Mas Rahman?". Ujar Santi.

"Apa? Mas Rahman?". Seru Sabila bingung, karena setau Sabila anak angkatnya tersebut tidak pernah memanggil Rahman dengan sebutan "mas".

"Iya bu, maaf sebelumnya jika Santi tidak pernah menceritakan hal ini pada ibu. Santi sudah lama menjalin hubungan dengan Mas Rahman bu, maaf jika Santi dan Mas Rahman merahasiakan tentang hal ini". Ujar Santi.

"Mas Rahman, apakah benar yang di katakan Santi? Kenapa kamu tidak pernah menceritakan semuanya padaku mas?". Gumam Sabila lirih.

"Maafkan aku Sabil, aku hanya menunggu moment yang pas untuk menceritakan semua ini padamu". Sahut Rahman.

"Lalu bagaimana rencana selanjutnya? Apa kamu benar-benar mencintai Santi mas? Santi jadi pria yang waktu itu pernah kamu ceritakan pada ibu apakah Mas Rahman?".  Ujar Sabila bingung.

"Aku berencana menikahi Santi tahun ini dan setelah itu aku akan membawa Santi dan juga Fira ke Amerika. Karena banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan disana, kamu gak usah khawatir Santi dan Fira akan melanjutkan pendidikan nya di Amerika". Gumam Rahman.

"Iya bu, pria yang lebih tua yang pernah aku ceritakan pada ibu adalah Mas Rahman. Maaf kalau pada saat itu aku belum bisa berterus terang". Ujar Santi.

Sabila tersenyum. "Aku merestui hubungan kalian, karena kebahagiaan kalian adalah kebahagiaanku juga". Sahut Sabila.

"Terima kasih Sabil, aku janji akan menjaga Santi dan Fira". Ujar Rahman.

"Makasih ya bu, Santi tidak akan pernah melupakan kebaikan ibu". Gumam Santi yang langsung memeluk Sabila.

"Mas Rahman, Santi, sekali lagi selamat ya. Saya ikut bahagia dan juga senang mendengar kabar baik ini. Kebetulan setelah menikah nanti saya juga berniat akan mengajak Sabila ke Amerika, karena saya akan di pindah tugaskan kesana selama beberapa tahun sekalian melanjutkan studi S3 saya disana. Ya, jadi kita bisa sering-sering kumpul bareng ya disana". Ujar Amar.

"Loh kamu kok gak pernah cerita soal itu sama aku sih". Gerutu Sabila.

"Rencana nya aku mau kasih tau kamu setelah acara pernikahan kita, tapi berhubung sekarang momentnya pas jadi sekalian aja aku umumkan disini". Sahut Amar.

Rahman dan Santi yang mendengar kabar tersebut juga ikut bahagia, terlebih lagi untuk Rahman kini ia tidak perlu lagi menanggung kebohongan yang ia simpan rapat selama bertahun-tahun. Karena baginya beban tersebut sudah hilang ketika Sabila mau memaafkan dirinya.

Sementara Sabila masih tidak menyangka jika kakak iparnya malah berjodoh dengan anak angkatnya sendiri. Sabila berharap Rahman bisa menjaga Santi dengan baik, karena Sabila sangay menyayangi Santi seperti anak kandungnya sendiri.