๐๐๐
Hujan baru saja berhenti. Menyisakan rintik kecil bergemerisik di atap seng. Elena duduk terpaku menatap sisa hujan yang mengembun di permukaan jendela kaca dalam kamar tidurnya yang sederhana. Banyak hal yang dipikirkan, salah satunya adalah kehadiran Danuar di rumahnya.
Dua hari yang lalu, pria yang masih berstatus suaminya itu tiba-tiba mengetuk pintu dengan tergesa. Ketika ibu Elena membuka pintu, Danuar langsung merangsek masuk bersama koper besar dan tas plastik berisi berbagai bahan makanan.
"Ibu, tolong izinkan saya tinggal di sini untuk merawat Elena. Ibu jangan khawatir, saya akan memasak, bersih-bersih, mengerjakan pekerjaan rumah tangga supaya Ibu tidak repot," kata Danuar dengan nada memohon. Bahkan, pria itu berlutut di depan sang ibu mertua.
"Tapi Elena belum bisa menerima kamu. Di rumah ini tidak ada kamar lebih. Kamu akan tidur dimana kalau Elena tidak menerimamu?" tanya Ibu Elena.
"Saya tahu Elena marah padaku. Dia mungkin sudah membenciku juga. Setidaknya Ibu kasi saya kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan saya. Hanya Ibu harapan saya untuk bisa membujuk Elena. Oh, masalah tempat tidur. Saya bisa tidur di sana, tidak apa-apa asalkan saya diberi kesempatan berada di dekat Elena," ujar Danuar menunjuk kursi kayu panjang dengan alas bantal busa. Tempat itu terlihat tidak nyaman untuk dipakai sebagai tempat tidur. Namun, bagi Danuar mengambil simpati Elena dan ibunya adalah hal utama dari pada kenyamanan.
Kini, pria itu sedang berkutat di dapur bersama piring kotor bekas sarapan sambil menunggu cucian pakaian. Deru mesin cuci berdengung nyaring di seluruh rumah yang tidak terlalu luas itu.
Ibu Elena hanya bisa berdiri terpaku di ambang pintu menyaksikan aksi menantu kayanya itu. Meskipun wanita paruh baya itu melarang Danuar melakukan hal-hal yang merupakan pekerjaan kasar baginya, tetapi Danuar tetap berkeras melakukannya. Dia bahkan menggiring Ibu Elena ke ruang keluarga, mendudukkannya di depan televisi, serta memintanya bersantai di sana.
Ibu Elena hanya bisa pasrah, cuma bisa menatap khawatir menantunya akan melukai dirinya sendiri.
***
Danuar mengetuk pintu kamar istrinya yang sedikit terbuka. Elena mengalihkan pandangan sejenak dari kaca jendela ke arah pintu. Di sana, Danuar berdiri dengan kaos putih polos lengan pendek serta celana training warna senada. Penampilannya berantakan, rambut acak-acakan, tepi bajunya pun tampak basah dan kotor.
"Aku membuat segelas susu hangat untukmu. Ini ada bubur ayam juga. Kamu belum sarapan, kan?" tukas Danuar sembari mengangkat nampan di tangannya.
Elena tak menggubris tawaran Danuar. Dia kembali mengalihkan pandangan ke arah jendela, menerawang dengan tatapan kosong.
"Boleh aku masuk. Cuma meletakkan nampan ini di atas meja," mohon Danuar dengan sabar. Tak ada sahutan dari Elena. Dengan langkah pelan Danuar masuk lalu meletakkan nampan di atas meja kecil di depan Elena. Ketika dia berbalik hendak keluar, tiba-tiba Elena mengayunkan tangan ke arah nampan sehingga susu dan bubur berhamburan di lantai. Sebagian susu menyiram celana yang dikenakan Danuar.
Emosi Danuar langsung tersulut, tetapi segera ditekannya dalam-dalam dengan menghela napas perlahan.
"Susu ini memang sudah agak dingin. Aku ingat kamu tidak suka minum susu dingin. Aku akan membuat yang baru yang lebih hangat," ujar Danuar seraya berjongkok memunguti pecahan gelas dan mangkuk serta isinya yang berhamburan di lantai. Dia tidak peduli jika salah satu beling menggores tangannya hingga mengeluarkan darah. Kesabarannya sedang diuji sekarang.
Rasa sakit direndahkan ini tak sebanding dengan yang dialami Elena, batin Danuar.
Danuar beranjak berdiri lalu kembali ke dapur. Ibu Elena datang tergopoh-gopoh menyusul menantunya setelah mendengar keributan dari kamar Elena. Dia mendapati Danuar sedang membuang pecahan beling ke tempat sampah, sementara salah satu jarinya masih bercucuran darah.
"Ada apa? Kenapa tanganmu berdarah?" tanya Ibu Elena cemas.
"Tidak apa-apa, Bu. Ini salahku," jawab Danuar dengan kepala tertunduk. Rasa sakit memukul rongga dadanya. Sebenci itukah Elena padanya? Dia juga marah atas kebohongan istrinya, tetapi dia masih mencintainya. Tak disangka jika keadaannya akan separah ini.
"Biar Ibu obati lukamu dulu. Nanti infeksi." Ibu Elena menghampiri Danuar dengan kotak P3K. Setelah membersihkan lukanya, Ibu Elena membalut jari telunjuk Danuar yang terluka.
"Istirahlah dulu, nanti Ibu yang membereskan sisanya," pungkas Ibu Elena menepuk bahu Danuar pelan. Pria itu berjalan dengan langkah lesu ke kursi panjang yang digunakan untuk tidur malam hari.
Pintu kamar Elena kembali diketuk. Kali ini ibunya yang berdiri di depan pintu dengan segelas susu hangat lain. Sang ibu masuk dan meletakkan gelas susu di atas meja lalu menghampiri Elena yang masih setia menatap kaca jendela.
"El, apakah kamu tidak bosan terus duduk seperti ini?" Wanita paruh baya itu diam sejenak sebelum melanjutkan. "Kasihan suamimu El. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tidak baik bersikap kasar padanya nanti dia makin sakit hati. Mungkin kamu marah dan kecewa padanya, tetapi dia juga sama marah dan kecewanya kepada kita. Ibu pun merasa bersalah padanya. Maafkan kesalahannya. Sikapnya yang peduli dan datang ke sini menunjukkan bahwa dia sudah memaafkan kesalahanmu. Ingat Nak. Allah saja Maha Pengampun terhadap hamba-Nya yang meminta taubat. Lalu, mengapa kita sesama manusia tidak bisa memaafkannya. Lepaskan semua rasa marah dan kecewamu supaya hatimu tenang, Nak," ucap Ibu Elena sembari mengusap lembut kepala Elena.
Perlahan, airmata yang telah lama menggenang di pelupuk mata Elena luruh membasahi kedua sisi wajahnya. Tak ada isak tangis, tetapi raut wajahnya mengisyaratkan kesedihan yang dalam.
"Elena yang salah, Bu. Elena bersikap begini agar Mas Danu pergi dari kehidupan Elena. Agar dia bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan wanita yang bisa memberikan apa yang diinginkan oleh seorang pria berkeluarga. Karena kondisiku sekarang tidak pantas lagi berada di sisi Mas Danu. Wanita cacat sepertiku tidak akan bisa memberikan kebahagiaan apa pun untuknya," lirih Elena dengan suara serak.
"Jika kamu tidak yakin lagi untuk mendampinginya maka kuatlah dan bangkitlah dari keterpurukan agar suamimu tidak mencemaskanmu lagi," pinta Ibu Elena lirih. Ibu mana yang tidak akan sedih melihat putrinya terpuruk.
"Istirahatlah." Ibu Elena kemudian meninggalkan putrinya yang masih berderai air mata. Saat dia keluar dari pintu kamar, Danuar sedang berdiri di sana, bersandar di dekat pintu kamar istrinya. Ibu Elena hanya bisa menghela napas sambil berlalu menuju dapur.
Danuar mengepalkan tangan erat. Ucapan Elena menghantam dinding hatinya. Elena mendorongnya pergi. Elena terus menolaknya.
***
Keesokan harinya dan beberapa hari setelahnya, Danuar berangkat kerja pagi-pagi setelah mencuci pakaian, menyiapkan susu dan sarapan untuk istrinya di atas meja makan di dapur. Dia pulang di malam hari dan langsung tidur sesudah berganti pakaian. Seperti itu selama beberapa hari. Dia tak pernah mengantarkan sarapan langsung ke kamar Elena atau mengajaknya bicara.
Danuar terlihat sibuk dan lelah. Hal ini membuat Ibu Elena cemas. Mungkin hati Danuar kembali dingin setelah mendengar ucapan Elena. Wanita itu hanya bisa menduga.
Elena pun merasa jika Danuar benar-benar sudah menyerah karena penolakannya.
"Pada akhirnya dia menyerah dan tidak bisa menerima keadaanku," gumam Elena sendu sambil berjalan tertatih menuju dapur. Rasa sakit masih terasa menusuk pada luka operasinya.
Suasana rumah sangat sepi. Dia menduga jika ibunya sedang keluar. Tubuhnya terasa tidak nyaman. Dia ingin membasuh muka serta membersihkan tangan dan kakinya yang terasa kering dan gatal.
"Menghabiskan sisa hidup seperti ini sendirian bukankah lebih baik. Tidak ada yang merasa terbebani," lanjut Elena dengan senyum pahit.
"Apakah kamu menganggap dirimu beban bagiku?"
Sebuah suara berat menggema di belakangnya. Karena terkejut, Elena langsung terhuyun ke belakang tanpa sempat menggapai sisi pintu dapur di depannya.
Sepasang tangan kokoh langsung menangkap tubuh kurus Elena sebelum menyentuh lantai.
"Mas Danu," lirih Elena setelah berhasil mengenali orang yang menangkap tubuhnya. Danuar langsung menggendong tubuh Elena ala pengantin kemudian mendudukkan perlahan pada kursi nyaman di ruang tengah.
"Mau ngapain ke dapur?" tanya Danuar datar.
"Mau ... cuci muka dan tangan," cicit Elena. Dia tidak sanggup menatap mata elang milik Danuar.
Pria itu beranjak ke dapur lalu kembali dengan sebaskom air hangat juga handuk kecil bersih. Dia kemudian berjongkok di depan Elena. Dengan telaten Danuar membasahi handuk, memerasnya sedikit lalu menyeka kedua tangan Elena satu per satu. Hal itu dia lakukan berulang. Lalu, berpindah pada kedua kaki istrinya.
Danuar mengganti air dalam baskom dengan air bersih untuk membasuh wajah istrinya. Pria itu kembali berjongkok di depan Elena yang kini sedang menangis terisak. Keduanya bertatapan cukup lama, saling meresapi kesedihan yang terpancar di raut masing-masing.
"Jika kamu menganggap dirimu sebagai beban bagiku, berpikir aku tidak akan bahagia jika kamu di sampingku maka ... kamu keliru. Aku tidak akan meninggalkanmu meskipun kamu mendorongku pergi. Aku akan tetap di sini merawatmu," tutur Danuar sembari menyeka wajah Elena yang masih pucat berbalur air mata. Namun, air mata itu tak berhenti tercurah seperti air terjun.
"Meskipun aku tidak bisa memberikan apa pun padamu?" lirih Elena.
"Hmm. Aku tidak ingin yang lain darimu. Aku hanya butuh kamu memaafkanku dan membiarkanku berada di dekatmu," jawab Danuar tanpa menghentikan aktifitasnya menyeka sisi wajah dan leher Elena.
"Apakah karena kasihan padaku?"
Danuar menghentikan kegiatannya lalu menatap wajah istrinya seksama.
"Jika kamu menganggap aku kasihan padamu, itu terserah padamu. Asalkan kamu memberikan aku kesempatan memperbaiki semua kekacauan dalam rumah tangga kita, apa pun anggapan itu aku terima. Asal kamu tahu aku tetap mencintai kamu bagaimana pun keadaanmu. Kejadian ini menyadarkanku, masing-masing dari kita pernah melakukan kesalahan. Tetapi menutup semua kesempatan untuk memperbaiki keadaan hanya karena kesalahan-kesalahan kita itu tidak akan membuat kita tenang dan bahagia. Aku berusaha berdamai dengan masa lalu. Kuharap kamu mau melakukan itu bersamaku," tukas Danuar dengan nada sendu.
Perlahan tangan ringkih Elena menyentuh wajah lelah Danuar.
"Maafkan aku. Maafkan istrimu yang banyak berbuat salah padamu. Terima kasih sudah menerimaku dengan tulus," ucap Elena di antara isaknya. Danuar memeluk tubuh sang istri sembari mengecup puncak kepala Elena berulang-ulang.
"Tahukah kamu betapa sayangnya aku padamu," bisik Danuar.
***
Waktu berjalan cepat tanpa berhenti mengisahkan cerita hidup tiap makhluk yang masih berjalan di atas jalan hidup itu sendiri. Tak ada yang bisa menghindari kebahagiaan, kedukaan, kesusahan, kesenangan, kebersamaan, kesendirian, kesakitan, atau keterpurukan yang datang menghampiri. Hanya bisa berdamai dengan keadaan.
Banyak wanita yang menjalani hidup dalam keadaan sulit dan terluka. Namun, mereka bertahan. Bukan karena mereka wonder woman, tetapi lebih kepada keadaan menuntut mereka berdamai dengan kesulitan dan luka tersebut. Mereka bertahan demi orang-orang yang masih peduli pada mereka dan membutuhkan timbal balik kepedulian itu.
Berdamai. Karena hanya cara itu yang bisa membuat kita menerima hidup ini dengan segala kekuatan diri kita.
๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐
Setahun kemudian kehidupan berjalan baik bagi keluarga besar Arjuna dan Ayushita maupun Danuar bersama Elena.
Elena menjalani pemulihan kesehatan secara teratur ditemani Danuar yang tidak pernah absen mengantar ke rumah sakit swasta terbaik. Perlahan Elena pulih dan bisa beraktifitas kembali.
Harapan mereka untuk memiliki anak nol persen sejak rahim Elena diangkat, tetapi Danuar tidak ingin menampakkan harapan itu di depan Elena. Sebisa mungkin dia menjaga perasaan istrinya. Bahkan, Pak Yuda dan Nyonya Rosita pun diminta Danuar untuk tidak membahas masalah anak walau seberapa besar keinginan mereka untuk memiliki penerus dari darah daging Danuar sendiri.
Di suatu sore yang cerah, Elena keluar dari kamar setelah tidur siang. Sayup-sayup rongga rungunya menangkap suara tawa dan canda Danuar dan ibu mertuanya dari ruang tamu. Elena mencoba mengintip dari balik pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu.
"Tidurnya nyenyak ya? Jadi ingat waktu bayi kamu juga suka tidur kaya gini," ujar Nyonya Rosita sambil menimang bayi di tangannya. Tunggu, seorang bayi? batin Elena.
"Ma, dia seperti mendengkur. Imutnya, dia sangat menggemaskan," timpal Danuar sambil membelai perlahan pipi bayi mungil itu seolah takut membangunkan tidur pulasnya. Bahkan, pandangannya tak sedikit pun beralih dari bayi mungil itu.
Elena terpaku di tempat menyaksikan pemandangan yang mengiris hatinya tersebut. Perasaannya campur aduk. Tanpa terasa, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Elena?" panggil Nyonya Rosita. Seketika Danuar menoleh ke arah pandangan ibunya. Di sana istrinya berdiri terpaku dengan tatapan canggung. Mata bening istrinya terlihat berair. Danuar berdiri lalu menghampiri Elena.
"Sudah dari tadi bangun ya?" tanya Danuar memeluk pinggang istrinya lalu mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningnya. Elena hanya mengangguk dengan senyum tipis.
"Ayo duduk sini," pinta Nyonya Rosita. Danuar menarik tangan istrinya untuk duduk di sofa samping ibunya. Dengan ragu Elena duduk dan posisinya dekat dengan bayi di gendongan sang ibu mertua. Tatapannya fokus pada bayi mungil itu. Mulutnya bungkam tetapi ada banyak hal yang ingin dia tanyakan. Termasuk siapa pemilik bayi itu.
"Ini bayi keponakan Mama. Umurnya baru sebulan. Ibunya pergi berbelanja sebentar sementara di rumahnya tak ada seorang pun yang bisa menjaga bayinya. Jadi, dititip di sini dulu sebentar," ujar Nyonya Rosita seolah paham pikiran menantunya.
"Pegang tangannya, Yang. Halus dan lembut," kata Danuar. Elena menatap suaminya yang sedang tersenyum menatap si bayi. Perlahan Elena menyentuh tangan mungil itu dengan jari telunjuknya. Si bayi tak bergeming, tetap pulas dalam mimpi indahnya. Kemudian Elena memberanikan diri menangkap tangan si bayi dengan tangannya. Begitu lembut tak berdaya. Ada getaran halus menyusup dalam sanubarinya. Sebuah senyum samar menghias bibirnya.
Aku tidak memiliki kesempatan untuk memiliki yang sepertimu, tetapi suamiku punya kesempatan itu, bisik hati Elena.
Di malam hari, Danuar mengganti baju dengan piyama tidur yang disediakan Elena. Sementara Elena asik melamun di atas tempat tidur.
"Lagi mikir apa, Yang?" Danuar duduk di atas ranjang dan merangkul bahu istrinya yang diam melamun. Elena menghela napas sesaat.
"Kepikiran bayi," jawab Elena. Danuar langsung mengernyit.
"Mas, aku memang tidak punya peluang untuk punya anak, tetapi Mas bisa," tukas Elena menatap Danuar serius.
"Apa maksudmu?"
"Mas tetap bisa punya anak kalau Mas ...,"
"Stop, Elena. Aku tahu apa yang coba kamu katakan. Namun, sekali-kali jangan pernah mengatakan itu. Sudah berulang kali aku bilang, aku tidak masalah kalau tidak punya anak. Menginginkannya bukan berarti harus memiliki. Kalau memilikinya namun harus mengorbankan perasaanmu maka aku tidak akan menginginkannya," potong Danuar dengan nada tegas.
"Bagaimana dengan Mama yang terlihat begitu menginginkan punya cucu. Mas anak tunggal, tentu saja harapan Mama cuma ada pada Mas," sanggah Elena.
"Tidak usah memikirkan hal yang tidak perlu. Ayo tidur. Besok kita berangkat liburan," bujuk Danuar. Segera dia menarik sang istri agar berbaring di sampingnya, memeluk tubuh hangat itu dengan erat. Tak ada yang berbicara, hanya detak jam yang mengalun teratur.
"Mas." Suara Elena memecah keheningan itu kemudian.
"Hmm," gumam Danuar dengan mata terpejam.
"Bagaimana ... kalau kita adopsi bayi," lirih Elena.
"Apa?" Danuar langsung membuka mata lebar lalu menatap wajah sang istri yang terlihat serius.
"Kita bisa mengadopsi anak dari pihak keluargamu atau dari pihak keluargaku. Kita adopsi yang masih bayi banget kaya yang tadi siang," usul Elena sedikit ragu. Dia takut Danuar akan marah lagi. Danuar terdiam sesaat.
"Apakah kamu yakin?" tanya Danuar. Elena mengangguk.
"Adopsi anak tidak gampang sayang. Prosedurnya rumit. Mas pertimbangkan deh," tukas Danuar. Dia kembali memejamkan mata.
"Tapi Mas mau kan adopsi?" desak Elena.
"Kita lihat nanti, Sayang."
"Mas." Elena mulai merengek. Danuar mengeratkan pelukannya pada Elena. Mengecup kening sang istri berulang kali.
"Apa pun untukmu, Sayang," bisik Danuar. Elena balas memeluk Danuar erat.
***
Nun jauh di pedalaman Kampung Petak Hijau. Ayushita sedang duduk bersandar di depan dada Arjuna sembari keduanya menatap layar televisi. Akhir pekan mereka habiskan dengan beristirahat di rumah rumah mereka yang sebelumnya adalah rumah dinas Arjuna. Arjuna juga sedang tidak berdinas ke luar daerah.
"Hubby, Kak Ayub sering banget ya mengunjungi Firda akhir-akhir ini. Kayanya dia sudah pindah tugas di sini?" ucap Ayushita tiba-tiba.
"Kaya tidak paham saja. Kak Ayub lagi bucin tuh sama Firda," tukas Arjuna.
"Kayanya dia kena tula deh." Ayushita terkekeh.
"Kaya Honey wife juga. Dulu jual mahal ke aku, pada akhirnya jatuh cinta juga kan sama suamimu yang tampan ini," ujar Arjuna sambil memainkan alisnya naik turun.
"Tidak kebalik? Perasaan yang ngejar aku itu kamu," tangkis Ayushita tidak terima.
"Tahu tidak gimana sampai aku suka banget sama kamu dulu dan bertekad mengejar kamu sampai dapat?" pancing Arjuna.
"Gimana?"
"Pertama, waktu kamu melawan Joe dan kawan-kawannya sendiri. Kamu mengahajar mereka hingga babak belur. Benar-benar wonder woman. Kedua, waktu kamu menolong bocah yang jatuh ke sungai itu. Kamu berani bertaruh nyawa untuk orang lain. Terus kamu sakit keesokan harinya, di situ pertama kali aku lihat kamu tidak pakai kerudung. Rambutmu hitam dan panjang, kamu cantik banget meskipun saat itu lagi sakit."
"Jadi kamu sudah pernah lihat auratku sebelumnya?" Arjuna mengangguk.
"Aku suruh Firda tutupi rambut kamu. Tidak boleh lagi ada pria bukan mahrommu yang boleh melihatnya. Aku ingin jadi satu-satunya yang melihat kecantikan kamu yang itu," tutur Arjuna. Tangannya mulai membelai pipi dan bibir Ayushita.
"Ini tangannya apa maksudnya?" sungut Ayushita menahan tangan sang suami.
"Lagi rindu kamu, Honey wife," bisik Arjuna seduktif.
"Ish, siang-siang gini?" tanggap Ayushita cepat. Dia paham maksud Arjuna dengan kata rindu itu.
"Siang atau malam sama saja, Sayang. Kita melakukan ibadah dan dapat pahala," sela Arjuna.
"Lagi tidak mood, Hubby," tolak Ayushita halus.
"Tidak boleh menolak keinginan suami, Honey. Nanti berdosa. Ayo sayang, ya?" bujuk Arjuna yang kini memeluk Ayushita dari belakang. Bibirnya tak berhenti mengecup daerah sensitif sang istri.
"Tunggu, Hubby. Aku ... tunggu ... hueekk." Ayushita langsung berontak dan melepaskan diri dari pelukan Arjuna. Dengan tergesa dia berlari ke kamar mandi di dalam kamar tidur mereka.
Arjuna bengong sejenak. Dia terkejut melihat Ayushita berlari begitu kencang sambil menutup mulutnya dengan tangan. Suara muntah dari dalam kamar mandi langsung menyadarkan Arjuna. Segera dia menghampiri sang istri yang sudah duduk lemas menghadap dinding kamar mandi.
"Honey wife, kamu kenapa? Kok tiba-tiba muntah?" Arjuna menyodorkan segelas air yang diambil dari dapur.
"Tidak tahu nih. Tiba-tiba mual saja. Mungkin masuk angin," jawab Ayushita. Dia meneguk sedikit air.
"Yuk, sini aku balur dengan minyak angin," tawar Arjuna. Ayushita mengangguk dan mengikuti Arjuna ke dalam kamar. Setelah merebahkan diri di atas ranjang, Arjuna mulai membalur minyak angin ke perut Ayushita.
"Hubby, kita ke warung Bu Sri ya," pinta Ayushita tiba-tiba.
"Untuk apa? Tadi kan sudah makan gado-gado," balas Arjuna heran.
"Pengen makan goreng ikan gabus dan nasi jagung yang dimasak sama Bu Sri," rengek Ayushita. Wajahnya penuh dengan raut memohon. Arjuna mengerutkan alisnya.
"Honey wife, bulan ini periodmu sudah datang?" tanya Arjuna. Kali ini Ayushita yang mengerutkan alis. Dia berpikir sejenak.
"Kayanya dua minggu aku belum dapat period," jawab Ayushita. Keningnya makin berkerut.
"Sepertinya si adek pengen makan masakan Bu Sri," celutuk Arjuna dengan senyum lebar. Wajahnya berbinar bahagia. Ayushita masih bingung dengan ucapan suaminya.
Arjuna ikut berbaring di samping Ayushita, memeluk wanita itu erat.
"Sepertinya kamu hamil, Sayang." Kedua bola mata Ayushita langsung membola.
"Bagaimana kamu tahu?"
"Karena aku dokter anak," jawab Arjuna sekenanya.
"Apa hubungannya?" kilah Ayushita. Arjuna terkekeh.
"Seorang dokter paham masalah umum kaya gini, my wife. Lagian aku ayahnya, aku bisa merasakan kehadirannya di sini," ucap Arjuna seraya mengelus lembut perut Ayushita yang masih rata. "I love you. Thanks for this amazing gift." Arjuna mengecup kening, mata, dan bibir Ayushita. Wanita itu langsung terharu. Rasanya akan sangat luar biasa jika dia benar-benar mengandung buah cinta mereka.
"Kita harus memastikan dulu dengan memeriksanya, kan?" tanya Ayushita. Arjuna hanya mengangguk.
"Tetapi sekarang tugas kamu adalah mengantar aku ke warung Bu Sri. Calon ayah harus siaga, kan?" pungkas Ayushita dengan senyum senang.
"Oh Gusti! Jangan sekarang, ya?" keluh Arjuna langsung menarik selimut.
๐๐๐๐ The End ๐๐๐๐
NB:
Alhamdulillah, akhirnya BWW tamat juga. Ini adalah novel kedua saya tulis, tetapi yang pertama tamat.
Saya senang karena banyak komentar pembaca mengatakan kalau novel ini ringan dan alurnya mengalir. Ini adalah hal positif buat saya. Dan juga, selama menulis novel ini saya sangat menikmatinya. Saya berusaha menempatkan diri dan perasaan saya sebagai Ayushita, Firda, dan juga sebagai Elena.
Big thanks untuk pembaca pertama saya, dan pembaca-pembaca selanjutnya yang selalu setia menunggu up novel ini walaupun sempat hiatus selama beberapa bulan karena kesibukan real life. Big thanks untuk yang mampir ke novel ini, walaupun tidak memberi vote, komentar, atau dukungan lainnya. Kalian memberi nilai di viewer novel ini.
Big love untuk teman-teman yang senantiasa memberikan komen positif, komen kritikan juga, yang memberi power stone, reviews, dan dukungan lainnya. Semua pemberian kalian adalah berkah dan motivasi positif yang mendongkrak semangat saya.
Untuk sekuel BWW, saya belum bisa berkata banyak karena ada beberapa event yang akan saya ikuti selama paruh waktu di tahun 2021 ini.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya, sedalam-dalamnya, jika tulisan dalam novel ini ada hal-hal senonoh yang tidak sesuai dengan etika, agama dan adat istiadat kita. Mohon maaf jika ada hal-hal sensitif yang menyinggung agama tertentu, suku dan ras tertentu. Mohon maaf juga jika ada balasan komen saya yang menyinggung perasaa teman-teman semua. Sesungguhnya setiap kekeliruan datangnya dari diri saya pribadi, sedangkan kebaikan datangnya dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Terakhir, semoga teman-teman author lain juga semakin semangat berkarya. Sekali lagi terima kasih dan sampai jumpa di karya selanjutnya.
Wassalam.
Morowali, 24 Mei 2021
With love,
Aeri Purplish