Chereads / Kau Milik Kami Bertiga / Chapter 16 - Bab 16

Chapter 16 - Bab 16

Ael menidurkan Zura ditempat tidur dengan sangat lembut. Dia memulangkan gadis itu ke rumah Ibunya.

Dia mengelus pelan rambut Zura sambil mengamati wajah tidur gadis itu yang sudah tak asing lagi baginya. Ada lengkungan tipis di bibirnya ketika mengingat Zura dengan tubuh gadis kecil tersenyum, dihiasi lesung pipi disebelah kiri yang sangat manis, seolah senyumnya mengajak alam untuk ikut tersenyum.

Dia masih sangat ingat ketika tubuh kecil itu memarahinya. Mungkin orang-orang akan

mengatainya gila ketika tau dia menyukai gadis kecil berumur 8 tahun, tapi itulah kenyataannya. Apa yang ada pada Zura dia menyukainya.

Dulu dia tidak mengerti kenapa makhluk hidup harus memiliki cinta untuk memilih pasangan, padahal dia merasa cinta hanya akan membawa kedalam lika-liku yang merepotkan. Dia adalah keturunan bangsawan  tinggi, bagi adat keturunan bangsawan tinggi pernikahan itu hanyalah ikatan untuk saling menguntungkan satu sama lain.

Tapi ketika dia mengenal Zura, dia baru tau cinta itu memang merepotkan dan menyakitkan, keluar dari itu cinta juga memberikan sesuatu yang berbeda. Sejak dia mengenal gadis itu, dia merasakan sedih untuk pertama kalinya, merasakan putus asa untuk pertama kalinya, merasakan bahwa ada senyuman yang lebih indah dari segala-galanya, merasakan bahwa dia rela melepas kasta dan darah bangsawannya hanya untuk selalu bisa melihat sebuah senyuman.

Zura itu membuatnya menjadi sosok yang berbeda.

Bahkan selama ratusan tahun hidup, hanya gadis itu yang bisa membuatnya tak mengenali diri sendiri.

.

.

(Flashback)

Suasana sangat sejuk, angin berhembus pelan dengan damai. Dedaunan seolah melambai untuk menyapa siapa saja yang melihatnya. Burung bertebangan bersama para geng-nya.

Ael berjalan pelan menyusuri pertokoan yang menjual berbagai macam bunga. Dengan memakai topi, kacamata, dan style yang berbeda dia ingin mencari energi denga rasa baru.

Tapi dari awal ia memasuki kawasan penjual toko bunga, hanya ada satu toko yang membuatnya menghentikan langkah. Toko dengan desain dan suasana yang sangat familiar, seperti toko bunga di dunianya. Atap dan dinding toko itu penuh dengan bunga berwarna warni, seolah melihat perkebunan bunga yang nyata.

Ael menghampiri toko itu dan langsung melihat rak yang penuh dengan bunga-bunga segar dalam pot. Sekali lagi dia kecewa karna semua jenis tumbuhan yang ada di rak itu sudah pernah ia coba, tak ada yang baru untuknya.

Tapi ketika ia menoleh kesebelah kiri, dia melihat tumbuhan yang tidak pernah ia lihat. Daun dengan warna keuanguan membuat tangannya refleks menyentuh daun itu.

Daun itu perlahan melayu ketika Ael mengambil energinya. Ael protes dalam dirinya karna rasa energi daun itu sangat aneh, tapi tiba-tiba dari samping ada tangan kecil yang memukul tangannya. Dia tertegun sebentar, bukan karna kaget, tapi karna merasakan energi yang sangat luar biasa berbeda dari tangan kecil itu.

Ael menoleh melihat sosok kecil itu. Seorang gadis kecil berkacak pinggang dengan memasang wajah marah padanya.

"Dengar ya kakak.. kata Ayah Zura tidak boleh merusak tumbuhan.. tumbuhan itu makhluk hidup yang harus di jaga." Ucapnya dengan gaya yang menggurui.

Ael menggeleng pelan dan hendak menjawab, tapi Zura langsung memotongnya.

"Kata Ayah Zura kalau salah ngaku salah, jangan tidak mau mengaku..."

Ael hendak menjawab, tapi Zura segera memotong lagi

"Kata Ayah Zura orang yang mencintai tumbuhan itu memiliki hati yang dingin, dan kata Ayah Zura kalau yang tidak suka itu hatinya panas.. berarti hati kakak panas..."

Ael hendak menjawab lagi, tapi lagi-lagi Zura memotongnya.

"Kata Ayah Zura kalau hati panas itu harus didinginkan dengan berdo'a biar sejuk..."

"Terus kata Ayah Zura kalau..."

"Ulaa, mungkin kakak tidak sengaja." Potong seorang Pria yang baru saja datang dengan perawakan tenang dan sangat tampan.

Zura hanya nyengir kuda dan menjawab. "Maafkan Zura Ayah.."

Ael terkejut ketika melihat sosok Ayah Zura. Itu membuatnya sangat syok bak disambar petir. Sudah 200 tahun ia di Bumi, hari ini, hari pertama kalinya ia merasakan terkejut.

Pria itu tersenyum melihat wajah syok Ael. Dia berjalan kedalam toko, lalu kembali lagi dengan membawa pot yang berisi pohon bonsai yang sangat indah.

Ayah Zura memberikan pohon bonsai itu pada Ael.

"Energi Bonsai sangat cocok untuk orang seperti kita, semoga kau menyukainya. Maafkan anakku yang cerewet ini. Dia terlahir sangat imut." Ucapnya dengan senyum ramah.

Ael menerima Bonsai itu dan langsung mengetes rasa energinya. Benar saja, energi Bonsai enak.

"Ayo sana sapa pelanggan dengan senyuman." Pinta Ayah Zura, agar anaknya tak mendengar percakapan mereka.

"Siap! Ayah Zura tersayang..."

"Bagaimana senyumnya? Coba tunjukkan."

Zura tersenyum sangat indah, lesung pipi di pipi sebelah kirinya terukir bak pahatan seniman, gigi kelincinya yang lucu terpamerkan dengan jelas. Ael tertegun sekali lagi melihat itu, untuk pertama kalinya ia tau bahwa sebuah senyuman itu indah.

"Ingat ya kakak.. kata Ayah Zura jangan sakitin tumbuhan. Oke!"

"Kenapa harus bawa-bawa Ayah? Kan Zura yang mengatakan?"

"Karna Zura malu Ayah.." Zura nyengir sekali lagi sebelum melambai pergi.

Setelah kepergian Zura, Ael langsung memasang wajah seriusnya.

"Sudah 200 tahun aku di Bumi, aku baru tau ada makhkuk dari dunia tengah lain yang terdampar di Bumi."

Pria bernama Henan Zo Ouna itu tersenyum lembut sebelum berkata,

"Kasta?" Tanyanya.

"Ouna." Jawab Ael.

"Kita berasal dari kasta yang sama."

"Kenapa anda bisa disini?"

Henan mengisyaratkan Ael untuk mengikutinya. Mereka pergi ke belakang toko, disana ada halaman luas tempat gudang bunga-bunga dalam pot indah. Ditengah-tengah ada tempat bersantai untuk menikmati keindahan taman itu.

"Duduklah." Henan menarik bangku untuk Ael.

Ael duduk meletak bonsainya dibawah sebelum duduk.

"Hanya kematian di hari suci yang bisa mengutuk kita menjadi Manusia lalu ditendang ke Bumi. Kita melakukan hal yang sama, makanya kita bertemu disini."

Ael hanya mendengus mendengar pernyataan itu. Baginya keadaannya sekarang sangat miris. Sebagai putra bangsawan tinggi dia tak pernah melakukan apapun sendiri, dan sekarang dia harus mengurusi semua keperluannya sendiri. Dari pakaian dan semua keperluan. Dia bisa saja mempekerjakan pelayan, tapi entah mengapa jika ada Manusia dia merasa tak leluasa dan tak bisa jadi diri sendiri.

"Kau keturunan bangsawan tinggi, Tuan muda Ael Farlen Ouna. Walaupun aku juga bangsawan, seharusnya tadi aku memberi salam hormat karna aku hanya bangsawan biasa, tapi karna ini di Bumi aku menganggap kita sama."

"Anda mengenalku?"

Henan mengangguk dan tertawa kecil.

"Kau selalu berdiri gagah di samping Ayahmu setiap kali ada perayaan hari festival penghormatan bangsawan. Aku duduk di deretan para bangsawan biasa. Jadi mana mungkin aku tidak mengenalmu."

Ael mengangguk kecil, ya, dia lupa. Bahkan dia lupa bahwa dirinya terkenal dan  menjadi rebutan para gadis-gadis disana. Kakeknya adalah seorang adik Raja, jadi wajar saja dia memiliki darah bangsawan tinggi itu.

"Aku baru saja diturunkan 15 tahun yang lalu. Terjatuh diperkebunan bunga milik seorang petani bunga. Petani itu membawaku ke rumahnya yang sederhana, disana ada anak perempuannya. Dia mengangkatku jadi anak sehingga aku tidak terlalu kesulitan untuk hari pertama di Bumi." Jelas Henan. Melihat Ael mendengarkan serius, dia melanjutkan kata-katanya lagi.

"Tapi setelah 5 tahun, petani itu meningga. Meninggalkan anak perempuannya yang semata wayang. Istrinya sudah meninggal lebih dulu. Dia memberi pesan agar aku menjaga anaknya, menikahi anaknya. Kau tau sendiri bagi bangsawan Ouna pernikahan memang bisa terjadi jika saling menguntungkan, tapi sangat sulit mendapatkan cinta. Aku kesulitan membangun hubungan pernikahan karna istriku seorang Manusia yang membutuhkan cinta."

"Aku pura-pura mencintainya, pura-pura bahagia. Awalnya sangat sulit, hingga aku mendapatkan gadis kecilku yang imut tadi. Aku tidak mencintai istriku, tapi entah mengapa aku bisa mendapatkan anak.  Sebelum kesini aku juga mendapatkan bimbingan terlebih dahulu tentang bagaimana hidup di Bumi. Hanya saja yang tidak ku tau sampai sekarang, bagaimana caranya pulang. Sampai kapan kita disini? Apakah selama-lamanya?"

Ael menggeleng pelan.

"Ya, aku juga tidak tau itu."

.

Setelah pulang dari toko bunga itu, entah mengapa Ael selalu memiliki keinginan terus menerus pergi kesana. Dia selalu datang dengan kacamata hitam dan topinya, gadis kecil bernama Zura itu selalu menyapanya dengan hangat. Dia menjalani pertemanan yang baik dengan Henan dan istrinya.

Sampai sebuah perasaan tak biasa muncul di hatinya, dia merasa bahwa dia menyukai Zura. Di melawan, kenapa harus anak kecil? Jantungnya selalu berdebar tak karuan. Hingga ia memutuskan untuk hanya melihat Zura dari jauh saja. Dia akan datang menemui Henan ketika gadis itu pergi sekolah dan pulang ketika gadis itu pulang.

Walaupun begitu, dia menyiapkan banyak hal untuk Zura. Dia berencana mengencani gadis itu ketika ia dewasa nanti. Dia mengumpulkan barang-barang perempuan yang ia beli untuk Zura dalam satu kotak selama bertahun-tahun. Tapi ada satu kelakuan buruknya, dia selalu mencuri barang gadis itu, dari ikat rambut, pulpen, buku catatan, hal-hal kecil lainnya.

Dia suka melihat Zura marah-marah ketika barangnya hilang tiba-tiba. Dia memiliki kekuatan mendengar dari jarak jauh, dan bisa melihat isi sebuah kado tanpa membukanya. Dengan kata lain dia bisa melihat isi dalam rumah tanpa harus masuk kedalam.

Semua berlangsung baik sampai dia tau sebuah kenyataan pahit yang membuatnya merasa tak ingin hidup. Ketika Ayah Zura dinyatakan meninggal, ia buru-buru datang kerumah mereka. Yang dia dapat disana sebuah surat yang dititipkan pada Ibu Zura.

Surat yang berisikan tentang bahwa jika ingin kembali, dia harus jatuh cinta dan bahagia. Maka dia akan di hukum sekali lagi dengan dipisahkannya dia oleh kebahagian itu, maka hukumannya selesai.

Semenjak itu dia merasa sangat terpukul. Dari situ dia memilih hukuman tak bisa menyatakan perasaannya pada Zura daripada memilih hukaman terpisahkan dari gadis itu dan meninggalkannya dalam kesedihan. Seperti Ibu Zura sekarang..

(Flashback off)

.

.