Ael menghembus kening Zura, membuat gadis itu kembali normal karna sebelumnya dia membuatnya tak akan terbangun dari mimpi indah.
"Semoga mimpi indah.." Ucapnya, lalu segera berjalan ke arah jendela.
Ael hendak melompat, tapi kemudian dia menghentikan langkahnya ketika merasakan energi Misya.
"Kak..."
Ael menoleh ke belakang, melihat Misya berdiri dengan tatapan sedih yang selalu diperlihatkan padanya.
"Tidak bisakah kau pulang bersamaku?" Lanjut gadis itu lagi.
Ael diam sejenak, memperhatikan wajah adik satu-satunya itu. Sebenarnya dia tidak tega sama sekali, tapi yang namanya Misya tidak akan menyerah sebelum kemauannya terpenuhi. Dia sudah capek.
"Pulanglah.. Ibu pasti mengkhawatirkanmu."
"Kau tinggal bahagia bersama gadis ini, maka kita bisa pulang bersama."
Ael menatap datar. Sudah ratusan kali Misya mengatakan hal yang sama, seratus kali pula dia menjawab dengan jawaban yang sama. Tapi gadis itu tidak pernah menyerah.
"Tempatmu bukan disini. Selagi kau masih bisa pulang, pulanglah."
"Aku mempertaruhkan hidupku agar bisa kabur dari dunia tengah, bersembunyi di cincin itu, demi bisa menemanimu disini sampai kau bisa pulang bersamaku. Tapi lihat kau ini, kau malah dilemahkan oleh cinta. Kau.. bukan Ael yang ku kenal."
"Dengar baik-baik Misya. Aku tidak pernah menyuruhmu mengorbankan hidupmu. Aku tidak memintamu untuk menemaniku. Aku berkali-kali mengatakan bahwa kau tidak bisa tinggal disini, kau tidak memiliki tubuh manusia. Yang kau lakukan sekarang hanya menghabiskan waktu, menyia-nyiakan hidup yang seharusnya kau jalani dengan baik."
"Tapi kak.."
"Pergi kesini adalah pilihanmu. Maka nikmati."
"Dan satu lagi, berhentilah mengatakan omong kosong pada Zura. Dia akan mempercainya." Ael melompat dengan satu gerakan, meninggalkan Misya yang tidak bisa mengikutinya. Satu langkah saja Misya berada di bawah langit maka sinyal keberadaannya akan diketahui, dan dia akan langsung diseret paksa karna melawan kodrat.
Misya menoleh ke arah Zura yang tertidur pulas. Dia memperhatikan wajah gadis itu dengan nafasnya yang sangat teratur, sangat damai.
"Kin sialan.. Zura itu milik kakakku.. Andai aku tidak mencintaimu, maka aku akan berusaha membunuhmu.." Ucapnya geram, sambil mengepalkan tangannya kuat.
โ
โ
Zura terbangun dari tidurnya. Dia langsung terduduk ketika menyadari langit-langit kamar yang dia lihat. Dia melihat pakaiannya, memakai piyama biru gelap yang kebesaran untuk tubuh rampingnya.
"Ah, kenapa harus mengantarkanku ke rumah Ibuku, Kin monyet..." keluh Zura. Dia pikir Kin yang mengantarkannya pulang.
Dia bingung harus mengatakan apa jika Ibunya tau dia disini.
Angin pagi yang dingin masuk dari pintu jendela yang terbuka semalaman. Zura menatap jendela itu, berpikir keras kenapa dia bisa tidur dengan mimpi indah ketika angin yang sangat dingin masuk ke kamarnya tanpa halangan.
Tak mau banyak berpikir, dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah jendela itu, untuk melihat pemandangan yang sejuk dari halaman tetangga.
"Wah.. benar ya kata orang, kalau melihat laki-laki tu pas pagi-pagi, ketika dia baru saja bangun tidur. Sungguh bercahaya." Ucapnya ketika melihat sosok Ael yang sedang duduk di bangku taman sambil menyesap segelas teh hangat.
"Astaga!" Zura terkejut ketika Misya tiba-tiba disampingnya.
"Kau kebiasaan datang tiba-tiba." Keluh Zura sambil mengelus dadanya. Rasanya hampir saja dia kehilangan jantung, dia lupa ada sosok Misya di rumah Ibunya.
Misya tidak memperdulikan keluhan Zura itu, dia tampak berbeda, yang biasanya senyum ceria terukir di bibirnya kini hanya ada wajah datar dicampur kesedihan.
"Menurutmu.. Ael itu orang yang seperti apa?" Tanya Misya sambil menatap kakak kesayangannya dari jauh. Dia tau Ael pasti bisa mendengar percakapannya dengan Zura, maka dari itu dia mewakilinya menanyakan hal yang sebenarnya Ael ingin tau tapi tidak bisa bertanya langsung.
"Emmmm..." Zura berfikir sejenak sebelum menjawab, "Misterius?"
"Hanya itu?"
"Emmm.. tampan, dia sangat tampan. Rambutnya... sangat indah."
"Hanya itu?"
"Apalagi ya, entahlah, aku agak familiar dengan sosoknya. Seperti pernah bertemu tapi entah dimana, mungkin dulu aku pernah bertemu dengan orang yang mirip dengannya."
"Mungkin, atau memang dia?" Misya memancing.
"Tidaklah, aku seperti pernah melihatnya dulu. Kalau sekarang orang itu pasti sudah tua, tidak sebening Ael."
Misya mendengus, "lalu kau pikir Ael itu umur berapa?"
Zura menoleh ke arah Misya, dia tidak pernah memikirkan hal itu. "Kau tau?"
Misya menggeleng, "sudah ku bilang, makhluk sepertiku tidak tau banyak. Kenapa kau tidak menanyakannya langsung? Mencoba untuk dekat dengan lelaki sepertinya tidaklah rugi. Dia sangat baik dibalik sifat dinginnya. Andai aku Manusia, pasti aku dengan senang hati memberikan semua energiku untuknya agar tetap bisa bertahan hidup di Bumi dengan tubuh Manusia yang tidak cocok untuknya. Kau tau? Sangat melelahkan bagi makhluk sepertinya terperangkap di tubuh Manusia, sangat berat ketika energinya habis."
"Hantu sepertimu saja bisa tertarik padanya." Cibir Zura.
Misya hanya bisa tersenyum kecil mendengar ucapan itu, karna sebenarnya derajatnya jauh lebih tinggi dari hantu.
Zura mengamati Ael lama, dia memperhatikan lelaki itu dari kejauhan, melihat betapa indahnya kulit lelaki itu di terpa cahaya pagi yang sejuk.
"Jangankan bertanya umurnya, waktu aku datang mengantar bonsai pesanannya saja dia mengusirku secara halus. Heran, sangat disayangkan jika orang sepertinya anti sosial begitu."
"Dia bukan anti sosial, dia memang seperti itu. Dia memiliki kepribadian yang tidak suka mengelurkan banyak kata-kata, misterius, tapi dia memiliki sisi yang damai. Dia juga bukan tipe orang yang bisa menyakiti hati orang lain." Ucap Misya, dia membicarakan sosok kakaknya. Kakak yang dia kenal, kakak yang dulu selalu memperhatikannya dengan cara sendiri. Tanpa kata, Ael tau apa yang harus dia lakukan.
"Ada satu yang membuatku bingung. Ael itu, sepertinya kerjaannya hanya di rumah. Orang tuanya pasti berada di dunia asalnya. Kalau begitu darimana dia mendapatkan uang? Dilihat dari style berpakaiannya aku tau itu mahal. Belum lagi rumah indahnya itu, tanaman-tanaman mahalnya. Darimana dia mendapatkan itu? Mencuri?"
Misya melirik tajam ke arah Zura, sangat tak enak mendengar perkataan tuduhan mencuri itu.
Zura tau lirikan tajam itu, dia tertawa kecil. "Aku hanya asal bicara." Ucapnya sambil nyengir.
"Dia memiliki usaha perkebunan pohon jati dan karet dengan luas yang sangat luas, aku tidak tau berapa itu. Aku juga pernah dengar dia memiliki ratusan kapal nelayan. Ada banyak usaha yang dia punya tapi aku hanya tau itu, intinya dia selalu memilih bidang usaha yang berurusan dengan alam." Jelas Misya. Dia sendiri juga tidak tau detail, Ael tak akan terbuka soal itu.
"Wah, kau tau banyak ternyata," Kata Zura sambil berdecak kagum. "Pantas saja Ibuku sangat semangat menyuruhku mengenal Ael."
"Daripada memikirkan hal itu, lebih baik kau bersiap-siap. Kau ada kelas pagi hari ini, Bye.." Misya masuk ke dalam lemari setelah mengucapkan kata perpisahan.
"Yah.. padahal masih banyak yang ingin ku tanya..." Ucap Zura kecewa. Dia menatap lemarinya lama, merasa aneh melihat Misya yang tidak seperti biasanya. Dia bisa menangkap kesedihan dari tatapan gadis itu.
โ
โ
Zura menguap berkali-kali ketika merasa kantuk yang menyerangnya seperti wabah. Dia masuk ke supermarket besar langganannya yang tak jauh dari kampusnya.
"Udah jam empat sore aja.." keluhnya sambil mengambil minuman kopi yang dikemas dalam botol di rak minuman.
"Eh, kayak kenal." Dia melihat sosok Neo yang berdiri di rak minuman rasa buah. Kakinya berjalan hendak menghampiri dan berniat menyapa, tapi tiba-tiba dia teringat pin pengenal yang dipakai Neo di The Secret juga lambang A sama seperti Kin.
Tak mau cari masalah lagi, dia langsung menutup wajahnya cepat-cepat menggunakan buku kuliahnya agar bisa keluar dari kawasan minuman tanpa ketahuan.
"Aku tau kau." Kata Neo ketika Zura melewatinya dibelakang.
Zura langsung menghentikan langkahnya, berbalik untuk melihat Neo. Dia nyengir kuda dan langsung menunduk memberi salam. "Selamat sore bos."
Neo juga ikut berbalik untuk melihat sosok Zura, dan langsung melempar tatapan sinis pada gadis itu. Dia terus bertanya dikepalanya, apa yang istemawa dari Zura? apa yang mebuat Kin dan Ael memperebutkannya? kenapa dia tidak merasakan keistimewaan apapun pada gadis yang sedang berdiri kikuk didepannya itu? Kenapa baginya tanpa energi Zura tak berarti apa-apa. Melihat Kin dan Ael sampai segitunya, membuatnya jadi penasaran, apa keistimewaan Zura sampai sosok Kin dan Ael yang terhormat bisa jatuh padanya.
"Apa keistimewaanmu?"
Zura mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Neo, "Maksudnya? Ah, kekuatan kenapa aku bisa masuk The Secret begitu?"
"Lupakan, pergilah." Kata Neo, lalu berbalik membelakangi Zura lagi untuk kembali memilih minuman-minuman yang ingin dia beli tadi. Dia seharusnya tak ikut terlibat dengan Zura, pikirnya.
"Dasar tidak jelas." Cibir Zura dibelakang Neo.
"Aku bisa mendengarmu." Kata Neo tanpa berbalik.
Zura menelan ludahnya, padahal dia sangat pelan mengatakan itu. "Maaf bos, aku mengatai ibu-ibu di rak sebrang, dia tidak jelas mau milih apa dari tadi mondar-mandir aja."
"Aku tau kau bohong."
"Maaf bos, maaf!" Setelah meminta maaf dia langsung memilih pergi menjauh daripada tiba-tiba dia dijadikan samsak dan ditemukan tewas dipinggir jalan, pikirnya.
Neo hanya menggeleng pelan melihat kepergian Zura bak dikejar setan, padahal dia tak berniat melakukan apapun.
______________________
Bersambung...