Chereads / Inner / Chapter 2 - 1

Chapter 2 - 1

6 Bulan kemudian setelah mendapatkan hal-hal baru, hidupku kembali normal dan tidak ada yang aneh-aneh sejak hari itu, hingga akhirnya aku lulus SMP dengan nilai yang baik, walau tidak dapat dipungkiri nilai kelas satu dan duaku benar-benar hancur, tapi bodo amat karena sekarang aku siap melangkah lebih tinggi lagi.

Hari ini hari kamis, hari yang paling kusuka sekarang meski kubenci dulu. Beberapa hari ini aku dapat shift malam karena menggantikan rekanku yang sakit magh. Tidak apa-apa, lagipula aku sudah lulus, maka kerja malam bukan masalah bagiku. Aku juga bisa duduk santai tanpa memikirkan sekolah untuk beberapa hari kedepan sebelum tiba waktunya untuk memilih sekolah baru.

Aku sudah pasti akan memilih lanjut ke smk, tapi bingung dengan jurusan yang akan kupilih. Apa cap cip cup aja ya? Lihat nanti deh.

Malam ini hujan deras. Pohon-pohon disekitar mengangguk-angguk bagai sedang menirukan ritme dentuman drum atau petikan bass lagu heavy metal.

Motor-motor dengan gesit melaju, menghindar dari serbuan air hujan. Hati-hati dong, setidaknya jangan tidak menghiraukan jalanan berlubang. Mobil-mobil dengan santai meledek menggunakan bel bagi mereka para pengendara kuda asia. Tin Tin. Sombong sekali.

Di depan toko, aku yang tengah terduduk di anak tangga lantai ini, sedang menggigil karena lupa bawa jaket. Kondisi didalam sedingin es sebab AC milik toko rusak sejak tadi siang, tidak bisa berhenti membekukan diri.

Kucoba untuk menghidupkan rokok, beberapa kali kusentik korekku keujung benda adiktif itu, tapi tak juga berhasil. Hingga percobaan ke sembilan, api telah berhasil melahap ujung dari penyebab penyakit kanker paru-paru dan tenggorokan sekaligus juga penghasil uang nomer satu dinegara ini.

Selagi menyesap rokok, pikiranku mengembara ke berbagai ruang dan waktu. Mengingatkan berbagai hal dimasa lalu sebelum masa lalu itu jadi buram: Aku yang tersadar di rumah sakit seorang diri, dokter yang memberitahukanku sebuah berita, aku yang berdiri didepan kelas memperkenalkan diri sebagai murid baru dan yang paling menyakitkan, aku yang diacuhkan oleh orang tuaku.

Semua ingatan itu mengalir, membawa jiwaku seakan melayang terbang, tapi ragaku sebenarnya sedang terduduk sambil menghembuskan asap rokok.

Asap itu kini tidak kesepian lagi, karena ia telah bertemu dengan angin, mereka sekarang bersama-sama telah pergi dari pandanganku dan akan berpetualang sampai keujung dunia.

Tanpa disadari, manusia sebenarnya adalah seorang time traveler. Kita hidup dengan tetap berjalan kedepan, tetapi kita punya sesuatu yang istimewa bernama memori atau kenangan yang kita simpan pada sebuah ruangan dalam otak yang sewaktu-waktu dapat kita kunjungi walaupun hanya dalam pikiran.

Ada sesuatu yang mengganjal dipikiran, akupun mulai berteori: Umurku saat ini enam belas tahun, bulan depan tujuh belas. Aku lahir tahun 2003 dan sekarang tahun 2020. Saat tahun 2003 aku baru lahir yang berarti aku belum menyentuh angka 1 tahun, kemudian terjadi pemotongan yang membuat ingatan lamaku terpisah (atau hilang) dengan ingatan yang baru.

Ingatan baruku terbentuk saat aku berumur sembilan tahun, saat itu tahun 2012 dan aku tahu karena aku mengingat nonton film dengan judul yang sama dengan tahun itu. Filmnya tentang dunia diujung tanduk karena kiamat sudah datang. Baiklah, film itu jelek dan tidak logis jadi mari kita lanjutkan ke topik utama.

Berarti aku telah amnesia saat berumur satu sampai delapan tahun. Pasti ada hal yang menghalangiku untuk mengingat suatu kejadian diantara 2011 dan 2012 kan? Atau ada kejadian penting diantara tahun itu, tapi buat apa ya dipikirkan, toh aku sudah bahagia sekarang, walaupun teka-teki masih bersembunyi disekitar yang suatu saat nanti akan keluar memberikan sebuah kejutan untukku, Surprise!

Puntung rokokku ternyata sudah habis setengah dilalap api, abu dari rokok itu berterbangan ditiup angin. Kulempar rokok itu kearah tanah dan kuinjak agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nomer empat, yaitu kebakaran, dalam buku, "99 hal yang manusia tidak inginkan untuk terjadi."

Aku kembali masuk kedalam, melawan dinginnya AC hanya dengan segelas kopi. Berusaha sebisa mungkin melupakan dinginnya ruangan bermodalkan game smartphone, mumpung wifinya tidak dicolong kaum, "beli satu sewa wifi seharian."

Suara AC yang bergerak, meninggalkan bunyi hnngg yang memantul kesisi-sisi tembok dalam toko, yang perlahan berubah menjadi mirip suara geraman anjing. Suara baling-balingnya berputar tidak karuan, menghasilkan bunyi seperti tikus yang terjebak didalam tong sampah, grduk-grduk begitu bunyinya.

Aku cuek saja mendengarnya, karena suara-suara begituan udah biasa. Yo, bung, i've heard far more worse than that.

Pintu toko terbuka (dengan keras), pertanda pelanggan masuk, pelanggan itu seorang pria.

Padahal aku sudah memprediksi tidak akan ada orang yang datang malam ini, apalagi dengan kondisi hujan dan dingin. Memikirkannya jadi ingin cepat-cepat pulang dan menutup diri dengan selimut disekujur tubuh.

Pria itu terlihat mencurigakan, dia memakai jaket canvas hitam yang terlihat jamuran, terus memakai topi kupluk warna putih yang menyatu dengan warna coklat akibat malas berurusan dengan cuci menyuci. Ia berjalan sempoyongan kearah meja kasir, tempatku berdiri.

Aku sudah bersiap-siap, karena feelingku sudah gak enak.

Satu hal yang orang lain tidak tahu (selain masa laluku) yaitu aku selalu membawa stun gun didalam tas. Selain itu kalau masih kurang, aku bisa mempraktekkan jurus tingkat lanjut pamurku.

Orang itu perlahan mendekat, hanya tinggal tiga langkah saja maka pria itu akan merasakan setruman listrik yang memingsankan.

Ia keluarkan satu tangannya dari saku jaket. Kosong, tapi aku curiga dengan tangan satunya. Mulutnya terbuka, tapi ia hanya mengeluarkan suara patah-patah alfabet A. Tangannya itu bergerak-gerak menunjukku.

"A..aa," seraknya. Aku tahu ada yang gak beres dengan orang ini, maka dari itu stun gun sudah kugenggam, tapi kusembunyikan tanganku didaerah yang jauh dari jangkauan pandangannya.

Pokoknya jangan negatif thinking dulu.

"Ya mas, ada yang bisa saya bantu?" Ucapku sopan lengkap ditambah senyuman palsu, dengan ragu kulirik jam digital yang terpasang didinding, menunjukkan waktu jam 9 tepat.

Baru aku tersadar, ternyata ia sedang gemetaran, gigi pria itu juga bergemeletuk. Mungkinkah ia kedinginan? Apa harus kuberi kopi dia? Eh jangan deh, nanti situasinya jadi begini: "Wah makasih ya mas kopinya, nah sekarang kasih uang," sambil aku diacungin benda tajam.

A.. pa ini pa.. k?" Katanya persis kayak orang tolol, padahal kan jelas-jelas ini rokok. Tunggu dulu, ini serius mau adegan perampokan atau apasih? Kalau ngomong yang bener dong. Sia-sia aku curiga.

Ia tiba-tiba menampar wajahnya, gara-gara itu aku terlonjak kaget dan gara-gara aku begitu ia juga kaget. Setelah itu kami dirayapi senyap yang canggung. Beberapa menit kemudian, lagi-lagi ia menampar wajahnya.

Hoi, ini orang bener-bener gak beres deh. Setelah itu badannya tidak lagi gemetar, suaranya juga jadi lebih jelas dan tenang.

"Ee.. Itu maksudku, itu rokok apa?" Ucapnya sambil menunjuk.

Baru aku sadar yang ia tunjuk bukan aku, tapi pajangan rokok dibelakangku. Aku menghembuskan nafas lega.

Aku ambil sekotak merek rokok yang ia maksud. "Hmm, yang ini?" Tunjukku padanya, aku tatap ia dari bawah sampai atas, yang paling mencolok adalah matanya, matanya jelas-jelas sedang ketakutan.

"Aaa, iya.. yang itu tuh, haha." Ia terlihat semangat sekali, malah sambil mengacungkan jempol dengan canggung.

Ya tuhan bisa gak ini cepet selesai, canggung banget.

"Kalau boleh tahu namanya apa ya?" Lanjutnya lagi. Matanya melirik ke pantulan kaca pajangan rokok.

Aku memberikannya tatapan bingung, ia menyadarinya, "ooh haha, maaf-maaf mata minus, gak keliatan," katanya masih dengan melirik ke pantulan kaca.

Aku masih bingung apanya yang lucu.

Aku menyerah, "ini merek Carpol. Harganya empat belas ribu sekotak." Jawabku secepat mungkin agar transaksi dan perbincangan menggelitik ini cepat selesai.

Ia menunjuk dengan ujung jempolnya ke merek lain dipajangan, setidaknya dia masih mengerti tentang tata krama, "maaf hehe.. he, kalo itu namanya apa?"

Aku membalikkan badan, "Oh ini merek Ice."

"Beli juga mas?" Lanjutku, sambil membawa bungkusnya.

Aku terus menatap matanya yang terus melirik ke arah pantulan kaca pajangan, entah apa yang ia lihat, tapi makin kesini firasatku makin gak enak. Mataku jadi terus mengawasinya, padahal barusan aku melonggarkan kecurigaanku. Apa jangan-jangan ia nyari kesempatan buat ngerampok rokok? Eh tapi gak mungkin sih.

Ia terdiam sejenak, mengalihkan pandangannya dari pajangan rokok ke arahku. Aku dapat melihat sedetik wajahnya yang sangat datar, tapi sedetik kemudian kembali tidak.

"Iya, dua-duanya ya.. Dijadiin satu," ia tersenyum seperti terpaksa. Raut wajahnya kecewa bercampur takut.

Sepertinya kecurigaanku ternyata sia-sia, orang ini tidak melakukan apapun yang berbahaya, walaupun tingkahnya aneh setengah rumus akar pangkat kuadrat.

"Satu rokok carpol dan ice." Aku arahkan barcode kedua barang itu ke arah mesin pengecek harga, mesin kasir mengeluarkan suara tiiit yang sedang.

Kumasukkan kedua benda itu ke plastik berlogo alfamart, tapi tanganku berhenti tepat sebelum pria itu mengambilnya.

Tunggu dulu, Carpol.. jika dibaca bisa mendekati dengan kata callpol, lalu jika disatukan dengan Ice maka...

Oh shit, i think i am in a dangerzone right now.

Orang itu ternyata sedari tadi memberikanku sebuah petunjuk, nasib baik aku menyadarinya sebelum terlambat. Pokoknya telepon dulu baru tanya alasannya.

"Eh mas, sebentar ya, mas ingin beli pulsa?" Tanyaku berakting.

Orang itu kaget, wajahnya panik bercampur senang karena aku mengerti, ia semakin terengah-engah, kepalanya mengangguk keatas dan kebawah dengan cepat, secepat kilat ia menuliskan nomer dikertasnya.

Itu bukan nomer miliknya, itu nomer polisi dan sebuah pesan yang ia tulis dengan ngawur, karena tangan yang gemetaran, pesan itu tertulis, "cepat sebelum itu membunuh kita."

Aku tentu saja tidak merinding membacanya, karena kau tahukan... Error. Tapi tak dapat kupungkiri kalau aku merasakan sesuatu yang aneh saat itu juga, rasanya seperti suatu tangan tak kasat mata membelai bulu-bulu halus tanganku. Mungkin tubuhku memiliki semacam echolocation seperti lumba-lumba, tapi merasakan bahaya.

dengan cepat aku beralih menuju telepon, aku membatin seraya memencet tombol-tombolnya, "satu-satu-du-"

Drrt

Tiba-tiba semua lampu mati secara bersamaan. Sedetik kemudian aku sudah dikerubungi oleh kegelapan yang memenuhi pandangan atau kata lainnya: Ancaman telah datang dan siap untuk menyerang.

Aku tetap harus tenang walaupun dalam kondisi antara hidup dan mati. Bisa sajakan memang konslet dari pusat? Bisa sajakan pulsa listrik habis?

Jahatnya, pikiranku tidak ada yang ingin membela, semua secara sarkastik mengatakan, "bung, kalau memang mati listrik, mengapa kebetulan pas kau mau nelpon polisi?"

Semua pikiranku, berubah dari sumbu proton menjadi elektron dalam sekelebat. Menggemakan semua situasi-situasi buruk yang mungkin akan terjadi sebentar lagi, semua itu berpantulan dalam dinding-dinding otak, membuat turunnya mental dan harapan yang aku punya. Memberikan sebuah gambaran kalau aku mungkin akan mati malam ini dengan na-as.

Mati na-as, masuk dalam daftar nomor tiga belas dibuku "99 hal yang manusia tidak inginkan untuk terjadi." Bukan informasi penting, tapi patut untuk disampaikan.

Aku masih bisa mendengar suara nafas pria itu. Syukurlah, berarti aku tidak akan mati sendirian malam ini. Aku tahu dia masih diam ditempat, walaupun gelapnya minta ampun.

"sst.. sst," siulku, memberikan sinyal padanya.

"Diamlah," bisiknya, "atau mati-"

Aku sontak mengikuti perintahnya, daripada mendengar kata MATI, lebih baik aku bertemu cahaya cilok. Ternyata aku merindukan cahaya-cahaya itu, karena itu lebih baik daripada mati.

Lampu-lampu kembali hidup, aku bernafas lega semuanya sudah berakhir. Aku mengecek kalau-kalau ada bagian tubuhku yang hilang. Aku tertawa canggung.

"Yahh, tadi mungkin konslet mas, tapi sekarang baik-baik saja-" Ucapakanku terpotong, karena aku hanya mengajak ngobrol angin. Pria itu sudah tidak ada.

Ditempat pria tadi berdiri, yang tersisa hanyalah genangan merah pekat, yang kalau kuasumsikan, semoga saja saus tomat atau apalah, yang penting bukan darah.

"Kok..." Aku membisu dengan mulut membentuk lingkaran kecil, belum sempat aku menspekulasikan semuanya. Terdengar suara listrik konslet dan lagi-lagi aku diselimuti oleh kegelapan.

Oh ternyata, semuanya belum berakhir semudah itu. Ini baru permulaannya.