Ryosuke Omar Siahaan.
Apa yang pertama kali terlintas di pikiran kalian setelah mendengar nama itu? Cowok Jepang yang masih keturunan Arab dan punya Bokap orang Batak? Nggak salah sepenuhnya sih emang. Yoyo, panggilan akrab Ryosuke, memang punya Papi yang orang Batak asli. Sedangkan Mami Yoyo blasteran Sunda-Arab yang cantiknya kebangetan. Sedikit banyak wajah, kulit, dan postur tubuh Yoyo ngikut Mami. Ali Syakieb sama Yoyo sebelas dua belas lah.
Sementara Jepang ... haha.
Baik itu dari pihak Papi maupun Mami, nggak ada setitik darah orang Jepang di silsilah keluarga mereka. Ada alasan kenapa 'Ryosuke' jadi nama depan Yoyo yang nggak ada keturunan Jepangnya sama sekali. Mami pernah cerita asal-muasal nama Yoyo yang agak 'nyeleneh' itu. Sewaktu Mami hamil Yoyo dulu, Mami tuh suka banget sama segala sesuatu berbau Jepang. Mau itu negaranya, orang-orangnya, filmnya, bahkan tumbuhannya. Mengatasnamakan ngidam, Mami bahkan nekat liburan sendirian ke Jepang karena Papi nggak bisa ngebawa pohon sakura ke Indonesia. Padahal ya padahal, saat itu kandungan Mami udah masuk bulan ke sembilan. Yang harusnya si Mami udah bed rest karena mau lahiran, taunya malah ngeluyur ke Jepang.
Jelas Papi Yoyo waktu itu kelimpungan.
Salah satu pabrik sawit Papi yang ada di Sumatera kala itu terancam tutup karena ketidakjelasan keputusan yang Papi ambil gara-gara khawatir sama Mami. Terpaksa Opung mengambil alih sementara tugas-tugas Papi dan nyuruh Papi lekas bawa mantunya pulang. Bukannya apa, Opung cuma takut ikutan gila karena Papi yang kebucinannya melegenda di keluarga besar Siahaan ditinggal minggat istrinya. Fyi, Papi kalau udah panik nggak cuma nyusahin diri sendiri, malah lebih banyak nyusahin orang lain.
Lalu terbang lah Papi ke Jepang.
Tapi ternyata perjuangan Papi nggak habis di situ. Mami yang lagi dalam mode ngambek on nolak kedatangan Papi. Di depan kamar hotel tempat istrinya menginap, Papi berlutut dan meratap sedih. Seribu satu rayuan Papi serukan untuk membuat Mami luluh. Nggak peduli para tamu dan pegawai hotel menatap terganggu dan kasihan padanya. Padahal sebenarnya menurut Yoyo--yang menjadi pendengar baik tatkala latar belakang namanya dikisahkan--saat itu Papi nggak salah sama sekali. Well, siapa sih yang bisa bawa pohon sakura, hidup-hidup, langsung dari Jepang, dalam waktu satu jam? Superman sekalipun butuh waktu cari gergaji buat nebang pohon kan?
Mami baru bukain pintu buat Papi setelah Papi nyebut-nyebut soal Klea dan Dhuna, kedua kakak kembar Yoyo yang waktu itu masih berumur empat tahun. Papi bilang, K(read: Key) dan D(read: Di) setiap malam menangis dan nggak bisa tidur karena ditinggal minggat Mami kesayangan mereka. Dan--modusnya--Papi sendiri mengaku lebih baik ditembak mati daripada ditinggal Mami.
Saat pintu terbuka Papi sujud syukur. Nggak tau kalau setelah masuk ke dalam kamar Mami, masalah sebenarnya dimulai.
Bukan. Mami nggak menanam pohon sakura kok di dalam kamar. Mami cuma menyembunyikan Bos Yakuza yang seremnya luar biasa di sana. Alhamdulillah banget sewaktu Papi dan si Bos tatapan, Papi nggak jatuh pingsan. Walau 'baik-baik aja' juga bukan definisi perasaan Papi saat itu.
Dia siapa Mi? Tanya Papi waktu itu, berusaha menutupi perasaan campur aduknya.
Mami tersenyum simpul. Dengan tingkat kepekaan terhadap perasaan Papi di level terendah, Mami mendekati Bos Yakuza dan menggandeng lengannya. Dia Ryoichi, cinta pertama Mami waktu SMA.
Udah bisa ditebak kan gimana kondisi hati Papi saat itu? Remuk, coy.
Mami yang nggak ada respeknya sedikitpun sama sang suami malah ngomong sama Bos Yakult--Papi pelesetin dikit karena cemburu stadium akhir--pake bahasa Jepang. Tampak akrab dan penuh semangat.
Papi menatap kedua orang itu dengan tatapan sayu. Apalagi waktu Bos Yakult menyentuh perut Mami yang membuncit dengan gerakan ringan. Hati Papi yang remuk berceceran di lantai.
Tapi tenang. Papi bukan jenis orang yang bersahabat dengan kata menyerah. Jiwa Batak Papi nggak mengizinkannya putus asa. Dengan berjuta cara Papi melawan rintangan yang menghadang. Dengan penuh tekad Papi berseru, "Hidup Indonesia! Kemerdekaan ialah hak segala bangsa!"
(Hm, oke, Yoyo juga nggak ngerti kenapa Papi malah jargonin kalimat itu. Abaikan.)
Hingga akhirnya, setelah berjuang dan berkorban bersama luka dan darah, Papi berhasil meraih hati Mami kembali. Dengan catatan, Mami mau nama anak yang lagi di kandungnya dinamai Ryo, sesuai dengan nama cinta pertama Mami. Papi setuju? Yah, daripada bininya kabur lagi, Papi yang nggak ikhlas sedikitpun mengiyakan.
Tepat dua puluh dua tahun lalu, sehari setelah Papi-Mami baikan, masih di Jepang juga, Yoyo lahir dengan berat 3,7 kg pada 27 Maret.
Ryo, desah Papi saat menggendong Yoyo yang berumur satu hari. Saat akan mencium pipi mulus putranya, satu benda muncul di pikiran Papi. Sake. Dengan senyum mengembang lebar di bibirnya, Papi berseru pada Mami yang kala itu sedang memperhatikan suami dan putranya di atas ranjang rumah sakit, Ryosake! Namanya Ryosake, Mi!
Kebiasaan Papi yang memberi nama anak dengan kata pertama yang terlintas di pikirannya.
Mami menggeleng pelan. Nggak cukup Kleara dan Dhunaia yang memiliki nama hasil pelesetan--dari kelengkeng dan duku, karena kebetulan dua buah itu mirip--ternyata Yoyo juga mendapat perlakuan yang sama.
Dan sekali lagi, Mami berperan besar mengganti huruf 'a' dari Sake menjadi 'u', sehingga terciptalah nama Ryosuke.
•••
Ketiga lelaki tampan yang duduk di hadapannya terpana selama beberapa detik sebelum tertawa menyebalkan dengan suara keras. Yoyo tak perlu menerka seberapa keras suara tawa ketiga temannya karena setiap pasang mata yang ada di cafe ini tengah terarah ke meja mereka. Yang pasti mereka berempat sudah menjadi pusat perhatian. Yeah, perhatian berlebih dari orang-orang memang bukan hal asing lagi bagi keempatnya. Setahun terakhir, The Prime, grub band indie mereka memang membumi di negeri Pertiwi. Bukan hanya karena wajah keempat personelnya yang ganteng naudzubillah, tapi juga karena lagu-lagu mereka yang menyentuh dan berkualitas. Tak heran, album pertama mereka, Imperfect, melejit di pasaran. Bukan hanya pasar musik Indonesia, tapi juga pasar musik Asia Tenggara.
Ada Jena, sang Leader, gitaris, dan musisi yang punya tampang badboy tapi berhati malaikat.
Lalu ada Sam, Vokalis kalem (pencitraan) yang jadi face The Prime.
Ngga lupa sama Ben, Bass The Prime yang punya senyum memikat dan pesona mematikan.
Dan yang terakhir Yoyo. Drummer paling seksi--kata salah satu majalah wanita yang terbit Desember tahun lalu-- dalam sejarah permusikan Indonesia.
Kalau kata Primerose, fanbase The Prime, Korea boleh punya CN Blue, tapi di Indonesia The Prime tetap yang paling Wahid.
"Ya ampun, Yo! Seriusan bokap lo ngasih nama anak kelengkeng sama duku? Ahaha, adu-duh, perut gue, sialan! Sakit, Ahahaha!" Si kalem Sam bersuara.
Yoyo mengidikkan bahu sambil tetap menyedot lemon tea-nya.
"Astaga, gue jadi inget temen gue pas kuliah dulu. Tivi Darla Purba. Ya Tuhan! Tivi namanya Broo!" Ben, si bule lokal bersuara.
Sementara Jena yang sudah meredakan tawanya hanya menggeleng pelan.
"Alasan kenapa bokap suka 'ajaib' ngasih nama karena Opung juga gitu ke anak-anaknya. Nama bokap gue Keran Siahaan. Tulang gue Daun Siahaan. Nantulang gue Coblos Siahaan." Tambah Yoyo ringan.
Ketiga cowok ganteng itu terpana sebelum kembali tertawa keras.
"Ya Tuhan, Yo. Gue nggak bisa bayangin gimana gokilnya keluarga bokap lo kalau pas ngumpul." Ucap Jena.
Kening Yoyo berkerut mengingat bagaimana keluarga besar Siahaan kalau kumpul di hari-hari besar. Banyak orang, banyak makanan, dan juga banyak teriakan. Tak perlu diragukan lagi, jiwa Batak keluarga Papi memang keras hingga ke sel-sel darah mereka. Kadang pun, pembicaraan santai antar dua orang kelihatan seperti perdebatan di mata orang lain. Kalau tidak sering-sering mengingatkan diri, mungkin setiap Tulang, Nantulang, atau Opung Yoyo bicara padanya, Yoyo akan menganggap mereka sedang menyerangnya, bukan malah ngajak bicara. Kata-katanya sih biasa aja, tapi setiap ngomong pasti nada suaranya nggak kurang dari lima oktaf. Jadi kesimpulannya, keluarga Papi pas ngumpul itu nggak ada gokilnya sama sekali. Dan kalaupun para tetua keluarga tertawa, Yoyo lebih sering nggak ikutan karena lebih sering nggak 'ngeh' dimana nilai humor dari pembahasan mereka.
"Ngomong-ngomong soal keluarga Yoyo, gue jadi inget sama Dhuna. Walau gue bukan pecinta berita, tapi gue suka banget pas kakak lo yang jadi news anchor-nya, Yo. Karakter dan kharismanya kuat banget." Sam berujar.
Mata Yoyo menyipit memandang vokalis band mereka. Sementara Jena dan Ben saling pandang sambil melempar kode.
Sam yang beberapa detik kemudian sadar pada perubahan suasana di antara mereka mengerjap. "Whoa, guys! Gue nggak ada maksud apa-apa loh dengan ngomongin Dhuna."
"Oh ya? Masa?" Ben mengejek.
Sam memutar bola mata. "Nggak guna juga gue boong."
"Naksir juga nggak pa-pa kali, Sam. Dhuna juga single. Ya kan Yo?" Komentar Jena.
"Astaga, Jen! Nggak mungkinlah gue sama Dhuna. Bisa di gorok gue sama Yoyo."
"Halah, banci banget lo! Nyerah sebelum berusaha cuma sikap pengecut!"
"Wah, Ben! Untuk orang yang belum bisa move on karena ditinggal sahabat ceweknya nikah tanpa pernah mengakui perasaan, kata-kata lo memotivasi banget!"
Skakmat.
"Dih, sialan!"
Lagi-lagi keempatnya tertawa.
"And, sorry to say guys," Yoyo bersuara setelah tawa mereka reda. "D minggu lalu baru lamaran. Bulan depan akad nikahnya."
"Hah?!"
"Wah, dapet orang mana?"
"Gila, hari ini udah dua orang yang gue denger bakal merid."
"Siapa lagi emangnya, Ben?"
"Itu, tadi pagi gue denger Bang Satya bulan depan minta cuti sama Pak Dirut. Pas ditanya buat apa, sambil nyengir dia jawab 'buat honeymoon sama istri saya, Pak.' Gue kaget dan Pak Dirut juga ternyata nggak kalah kaget. 'Lah?! Kapan nikahnya kamu? Kok udah punya istri?!' Masih cengengesan, Bang Sat jawab, 'nikahnya masih bulan depan sih, Pak. Hehe.' Hah, untung banget gue masih bisa nahan diri buat nggak nimpuk kepalanya pake sendal. Gemes banget gue!"
Sam dan Jena ternganga, sementara Yoyo tertawa kecil. Bang Satya itu manajer mereka. Walau lelaki Jawa itu lebih sering bertindak daripada bicara, para personel The Prime bisa merasakan kepedulian Satya yang teramat besar pada mereka. Sangat mengejutkan mengetahui kabar pernikahan Satya, padahal lelaki itu sama sekali tak pernah terlihat sedang menjalin hubungan dengan siapa pun.
"Lo serius Ben?" Jena yang biasanya tenang--kecuali disaat-saat emosional--terlihat syok.
Ben mengangguk yakin. "Seratus persen!"
"Sama siapa Bang Sat merid?" Sam bertanya pelan. Tampak dua kali lipat lebih syok daripada Jena. "Ya Tuhan, dia kok nggak pernah cerita sama kita-kita?"
Kalau Jena leader yang memiliki jiwa seorang Ibu di The Prime, Satya adalah manajer berjiwa Ayah untuk mereka. Jika Jena sudah puas memarahi anggotanya saat mereka berbuat salah, maka ada Satya yang akan merangkul keempatnya untuk tak terpecah belah. Satya adalah pengatur jadwal dan pendengar yang baik. Ketika schedule mereka amat sangat padat, dan keempatnya jadi emosional karena terlalu lelah, Satya akan menjadi pengawas bahkan tak keberatan menjadi pelampiasan. Padahal mereka pun tahu, mengurus jadwal empat orang yang berbeda itu bukan hanya sulit melainkan super duper sulit. Tak akan ada yang membantah jika diantara mereka berlima, Satya lah yang memiliki jobdesk paling padat dan paling tak beraturan. Jangankan untuk kekasih, waktu untuk diri sendiri saja kadang Satya tak punya. Asing rasanya mendengar Satya akan menikah padahal tak sekalipun ia tampak menjalin asmara.
"Gue juga masih nggak nyangka Bang Sat bakal merid." Ben menghela nafas. "Kalau tadi gue nggak denger sendiri percakapan Bang Sat sama Pak Dirut, gue bakal jadi orang pertama yang teriak hoax."
Yoyo menahan seorang pelayan yang hendak lewat dan memesan secangkir coffee latte. Ketika kembali memandang ketiga temannya, ia menaikkan alis mata, "Kenapa? Lo pada mau pesen juga?"
Sam mengerutkan kening. "Lo kok nggak kaget sih, Yo?"
Ben mengangguk. "Lo kayak udah tahu Bang Sat mau merid."
Jena memiringkan kepalanya. "Lo... Emang udah tahu kan?"
Yoyo mengidikkan bahu dengan gerakan sambil lalu. "Gue juga baru tahu minggu lalu kok."
"Minggu... lalu?" Mata Jena membola. "Jangan bilang..."
Yoyo menyeringai. "Yup."
Sam dan Ben saling pandang. "Jangan bilang apa?"
Yoyo mengeluarkan ponsel berlogo apel satu gigitan, membuka galeri, dan menyodorkan gambar undangan pernikahan berwarna gold kepada ketiga temannya.
"Dhunaia Sharma Siahaan dan Harsatya Wiryawan." Yoyo membacakan nama kedua mempelai minus gelar mereka dan mendapatkan ekspresi berbeda dari tiga lelaki di depannya.
Jena menghela nafas panjang, Sam terkesiap, dan Ben memelototi ponsel Yoyo seolah rangkaian nama di gambar itu hanya halusinasinya saja.
"Gue... gue nggak nyangka..." Sam menormalkan raut wajahnya yang speechless.
Jena menepuk punggung Sam dengan raut sama.
Sementara itu, Ben melemparkan ponsel Yoyo ke atas meja dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi dengan sikap kalah. "Jangan bilang Bang Sat sama Chef Alba masih sodaraan."
"Emang." Yoyo menjawab.
Ben mengerang sementara Jena dan Sam memandang dua orang selain mereka dengan tampang butuh penjelasan.
Dengan masam Ben menunjuk ponsel Yoyo. "Lo berdua harus jeli baca nama si Satya bangsat." Ujarnya jengkel. "Harsatya Wiryawan. Wir-ya-wan. Wirya Group. Ww Entertain."
Jena dan Sam kompak menganga.
==SWAROVSKI==