Yasmin pernah bertanya, "Kenapa sih lo nggak suka nongkrong di tempat rame, Na?"
Dan saat itu Igna--seperti biasa--cuma senyum tipis sambil bilang, "Gue lebih suka tempat yang tenang, Yas."
Nyatanya? Hah... mau dimanapun Igna berada, tempat tenang itu nyaris mustahil di dapat. Mau di rumah, di kamar mandi, di sekolah, di perpustakaan, di kantin, di jalan, di cafe, bahkan di atas pohon sekalipun, nggak ada tempat tenang buat Igna.
Kenapa gitu? Karena Igna bisa lihat yang orang kebanyakan nggak lihat. Karena Igna bisa dengar apa yang orang kebanyakan nggak dengar. Karena Igna bisa berkomunikasi dengan mereka yang kebanyakan orang nggak percaya ada.
Iya. Igna itu indigo.
Sejak kapan? Sejak Igna bisa bicara dan tahu kalau teman mainnya selama ini nggak kasat mata yang kalo di garis miringin sama dengan sejak lahir.
Seru ya? Hm, kalau ini di novel pasti seru banget. Apalagi kalau Igna bisa nentuin bentuk hantunya gimana. Sayangnya, hantu-hantu yang muncul di hadapan Igna keseringan wujudnya nggak mampu digambarkan dengan kata-kata. Jangan harap ada hantu seganteng Shawn Mendes atau secantik Bae Suzy. Selain ini Indonesia, Igna juga sadar diri. Dia nggak secantik Yasmin apalagi sepinter Ilyas. Igna juga nggak populer. Jangankan guru, teman sekelasnya tiga tahun terakhir ini juga banyak yang nggak kenal dia. Jadi, rasa-rasanya terlalu muluk mengharapkan hantu sekelas Zayn Malik mengunjungi rakyat jelata macam Igna.
Untungnya--kalau ini masih bisa dibilang untung--Igna bukan produk milenial tulen yang hobi nyinyir di dunia nyata atau dunia maya. Igna itu pendiam banget-nget-nget. Dia cuma ngomong di tiga situasi. Satu, situasi dimana ada yang mengajukan pertanyaan dan mau nggak mau Igna harus jawab. Dua, situasi dimana Igna butuh referensi garis miring informasi garis miring pengetahuan dari orang atau makhluk halus. Tiga a.k.a terakhir, di situasi darurat.
Tapi, mau gimanapun pendiamnya Igna, telinganya nggak bisa menyaring apa yang mau di dengar dan apa yang nggak mau di dengarnya. Malahan, setelah delapan belas tahun hidup dengan--bukan hanya--manusia juga para hantu, Igna semakin sensitif soal suara dan level pendengarannya satu tingkat di bawah super. Tapi yah, sehebat apapun pendengaran Igna, dia bukan cenayang yang bisa nebak suara yang didengarnya itu berasal dari hantu atau manusia tanpa melihat langsung makhluknya.
Untungnya--lagi-lagi--Igna pendiam, jadi dia nggak perlu pusing mikirin tanggapan apa yang harus dia kasih ketika temen-temen manusianya ngomong,
"Ya Ampuunnn! Bang Sam ganteng bener!!"
"Ada ya, cowok secakep Ben yang kalau ngakak buat ileran."
"Kalo gue mah lebih suka yang cool-sexy kayak Yoyo."
"Aelah, soy. Sekarang ini mah lagi ngetrend yang badboy macem A'a Jena."
"Heleh! A'a A'a-an lo!"
"Hih! Itu panggilan cinta tauu!"
"Ya ampun lo pada! Bisa diem kagak sih?! Berisik bener dah! Inget dong! Kita di sini mau diskusi buat konsep baju perpisahan kelas kita! Ngapa jadi galfok sih?"
"Yeu! Cowok sepet kayak lo mah emang cuma bisa ngiri aje, Sal."
"Sepet lo kate?! Nggak inget tahun lalu lo masih minta balikan sama gue?!"
"Mana ada! Halu banget lo, Sal! Jadian kapan, putus kapan, eh malah fitnah minta balikan! Sakit jiwa Lo nih!"
"Ya kagak usah nimpuk gue pake kotak tisu juga, May! Jiwa Ibu Tiri banget lo emang!"
Atau temen-temen hantunya yang menyahuti,
"Ya amsyong! Kenapa sih ciwok-ciwok kinclong cem gini nimbul setelah gua mati?? Huhuhuhuu... Syedih banget Syahrini."
"Kalo gue bisa nyentuh tu cowok pada ya, pasti--gue tekenin lagi, PASTI--bakal gue kejer kemanapun mereka pergi!"
"Yatuhan. Please deh, Hans Kubel*! Di ambil sisi positifnya kalee!"
[*Hantu-hantu kurang belaian, ini adalah group arisan hantu-hantu rumah tangga di komplek sini, yang kebetulan lagi arisan di meja sebelah.]
"Sisi positif gimane, Mpok?"
"Ha, nih ye, dengerin gue. Tu cowok-cowok cemiwiw kagak bakal bisa lo pada sentuh walau Izrail belum nyamperin kita-kita. Justru dengan jadi hantu, lo bisa ngintilin mereka kemanapun tanpa khawatir kena pasal pidana. Bisa lihat pack-pack mereka. Bisa grepe-grepe sampe mimisan. Dan... bisa bobo bareng tanpa takut ketahuan! Huwahaha!"
"Woahh!"
"Cakep Mpok!"
"Nggak nyesel gua milih lo jadi ketua arisan waktu pemilu kemaren!"
"Muehehe, gua ngasih lo pada kiat yang udah viral kok. Keponakan temennya temen gue udah membuktikan! Dia curhat ke gue kalau dadanya Chef Alba lebih maknyus dari yang ada di Mbah Google. Nggak cuma sender-able, tapi juga peluk-able!"
"Huahhh..."
Igna menompangkan dagu sambil mengaduk jus markisa. Tanpa ekspresi berarti, matanya mengamati empat cowok ganteng yang menjadi topik pembicaraan makhluk-makhluk di sekitarnya.
The Prime.
Band indie yang lagi hitz banget di Indonesia. Posisi duduk keempatnya yang menyamping membuat Igna bisa memperhatikan wajah cowok-cowok ganteng itu dengan leluasa. Yoyo yang duduk sendirian di sofa single sedang menyodorkan benda--yang Igna tebak sebuah ponsel--kepada Jena, Sam, dan Ben. Walau sadar tujuh puluh lima persen dari pengunjung cafe menatap mereka, nggak ada sikap keberatan atau nggak nyaman dari keempatnya. Kayaknya mereka udah terbiasa. Dan nggak perlu waktu lama bagi empat adam itu untuk membuat gempar dua dunia, lagi.
"Astaga, astaga!!"
"Kok bisa sih tampang kaget cowok secakep itu?!"
"Fix Mpok! Gua bakal ngestalker Ben sepulangnya dari arisan kite!"
"Sam gantengg! Jadi laki aye yuk!!"
"Udah beda dunia, nyong! Kagak bisa!"
"Lah?!"
Igna menyembunyikan senyum kecil di dalam gelas jusnya.
"Heboh bener yak," Yasmin yang baru kembali dari toilet melemparkan bokongnya di samping Igna.
Igna mengalihkan pandangan ke cewek itu.
"Udah sampe mana pembahasannya?" Yasmin mencomot kentang goreng Igna yang masih sisa setengah.
Igna menggeser gelasnya yang sudah kosong. "Masih warna."
Yasmin, cewek paling cantik di angkatan mereka yang mengaku sebagai sahabat dunia akhirat Igna, mendengkus sambil mengarahkan bola mata ke atas. "Udah gue tebak bakal begini." Keluhnya. "Padahal gue udah bilang sama Faisal kalo mau diskusi di rumah salah satu dari kita aja. Gratis dan bisa selonjoran. Ngapain juga ke cafe-cafe artis kek gini. Udah menunya pada mahal. Kenyang enggak. Ada WiFi juga malu mau minta password. Diskusi juga jalan di tempat. Nggak becus banget." Omel Yasmin--seperti biasa.
Igna mengangguk sekali. Sebagai bentuk apresiasi untuk Yasmin yang sudah bersusah payah mengomeli teman-teman mereka, walau objek omelannya sama sekali tak menghiraukan gadis itu.
"Si Ilyas juga pake acara ngilang segala! Dia kemana sih? Nggak cuma dia orang sibuk di dunia ini. Lagian UN udah selesai. Ujian SBMPTN nggak besok juga. Maniak buku banget! Heran gue dulu bisa pacaran sama tu orang. Kena pelet gue kali yak?" Yasmin mengerutkan hidung. "Apa jangan-jangan waktu Ilyas nembak gue dulu, gue lagi kerasukan ya, Na? Makanya nerima dia? Ya lord! 99% pasti gitu! Yayas kan ga sedikitpun masuk kriteria cowok idaman gue!"
Igna menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mulai memvisualisasikan Ilyas Hakim, sang Juara umum dan juga mantan terindah Yasmin, di kepalanya. Putih, tinggi, rapi, berkacamata, dan nggak banyak bicara. Tipikal cowok OSN yang emang terlahir untuk membaca buku. Kesayangan para guru dan panutan seluruh murid. Meski Ilyas nggak seganteng Aliando, dia punya kharisma yang kuat karena otak encernya. Dan dari pengamatan Igna dua tahun terakhir, Yasmin selalu nolak cowok yang nembak dia karena selalu membandingkan mereka sama Ilyas. Yah, Igna nggak bisa nyalahin Yasmin juga. Walau nggak blak-blakan, Ilyas itu cowok yang perhatian. Udah putus sama Yasmin pun sikapnya nggak beda. Diomelin Yasmin sampai telinganya berasap sekalipun, Ilyas nggak berubah. Nggak salah kalau Yasmin nggak--atau belum bisa--move on dari doi.
"Ngomong-ngomong, Na. Siapa artis yang dateng ke sini sampai mereka stuck?"
Igna mengarahkan dagu ke meja four prince di cafe ini. "The Prime."
BRAKK
"What?!" Yasmin menggebrak meja sambil mendelik.
Igna meringis. Lupa kalau Yasmin itu--
"YATUHAN MAS YOYO!! LOOK AT ME PLEASE!!"
--Penggemar Yoyo garis keras. Wahh... Igna mulai menyesali keputusan untuk ikut diskusi di tempat ini. Firasat Igna tiba-tiba menjadi buruk.
==SWAROVSKI==