Ceiti duduk diam bersandar pada akar besar yang merambat, memerhatikan seorang manusia yang sibuk sendiri dengan pikirannya.
Setelah 30 menit lebih, Ceiti yang ketiduran dibangunkan oleh suara keras yang memanggil namanya.
"Ceiti!"
"Ya?!"
Ceiti terkejut, langsung terbangun dari tidurnya. Ketika membuka matanya, dia melihat seorang manusia berpakaian aneh berdiri di depannya.
"Jawab aku, kenapa kamu tidak memiliki sebuah tanduk? Bukankah kamu seorang Daemon?"
Mendengar ucapan itu membuat hatinya serasa ditusuk oleh ribuan jarum. Dia tersenyum masam, lalu menatap manusia itu dengan wajah yang menyedihkan.
"Aku ini seorang Daemon yang cacat... Bukannya tanduk yang muncul di kepalaku, melainkan sebuah telinga runcing seperti elf. Aku dikucilkan di kota sampai akhirnya seorang petualang membawaku bersamanya selama beberapa tahun, tapi kini dia mati di tangan monster mata satu itu." Ceiti menunjuk monster Cyclops yang berlimpah darah, "Aku tidak bisa kembali ke kota karena penampilanku yang seperti elf. Daemon itu, mereka identik dengan mata merah menyala dan sebuah tanduk yang menjadi kehormatan mereka, aku memiliki mata merah...," dia berhenti sejenak.
Tangannya bergerak menutup matanya beberapa detik, lalu menyimpannya kembali di pangkuannya. Setelah itu, dia membuka matanya dan warna matanya berubah menjadi merah, yang awalnya berwarna coklat.
"Lihat, aku memiliki mata merah, namun tidak memiliki tanduk. Menurut buku tentang kumpulan ras di dunia ini, ras yang memiliki mata merah dan telinga runcing sepertiku adalah ras yang sudah punah, dan merupakan leluhur dari ras Daemon, High-Daemon. Namun, penduduk di kota tidak mempercayai bahwa ras tersebut ada dan menganggapku seorang Night-Elf."
"Terus, masalahnya apa? Jika kamu seorang Night-Elf kah, Daemon kah, atau High-Daemon. Aku sebenarnya tidak peduli, aku hanya ingin kamu memberitahuku bagaimana caraku untuk pergi dari hutan ini dan menuju ke kota."
Ceiti berdiri dan memegang kedua pipi manusia berambut hitam—Zakiel, membawanya dekat padanya.
"Apa kamu tidak mengerti?! Aku saja yang hanya tidak memiliki tanduk ini sudah dikucilkan bahkan dianiaya di sana! Dan kamu seorang manusia, tanpa tanduk dan mata merah, mau ke sana? Itu bunuh diri namanya!" Ceiti melepaskan tangannya dari pipi Zakiel lalu menyilangkan tangannya.
Wajahnya mulai memerah setelah beberapa saat, lalu Ceiti memalingkan wajahnya ke samping.
"Bu-bukan maksudku peduli padamu atau apa! Aku hanya memperingatimu sebagai seseorang yang sudah menyelamatkanku, itu saja!"
Dengan wajah yang kebingungan, Zakiel menggaruk kepalanya sambil mengumpat beberapa kata kemudian menarik kerah Ceiti dengan kuat.
"Dengar, aku tidak peduli dengan peringatan dari seorang pengecut yang bahkan tidak bisa bertarung. Yang aku inginkan sekarang, tunjukkan aku jalan keluarnya dan bawa aku ke kota, mengerti?"
Bulu kuduk Ceiti berdiri, dia ketakutan saat menatap mata lawan bicaranya. Tatapannya begitu dingin, sedingin es dan kekuatan cengkramannya sangat kuat—itu bisa saja merobek pakaiannya.
'Apa-apaan manusia ini, tenaganya sangat besar. Dan kenapa auranya begitu menekanku?! "
Zakiel melepaskan kerah Ceiti dan sedikit memberinya dorongan. Dia merogoh kantong kecil di pinggangnya lalu menarik keluar ikat kepala dengan model satu tanduk kecil di sebelah kanan.
"Pakai ini, kita akan menuju ke kota."
Ceiti yang sedang merapikan kerahnya, lalu menerima sebuah ikat kepala bertanduk satu dari Zakiel.
"A-apa ini...?"
"Pakai di kepalamu seperti ini...." Zakiel memakai ikat kepala tanduk itu di kepalanya, lalu ikat kepala itu terlihat berubah dan menyatu dengan rambut, memperlihatkan sebuah tanduk kecil yang seperti tumbuh di kepalanya.
"Wo-woah, apa-apaan itu?! Kamu mempunyai tanduk hanya dengan memakai benda ini?!"
Dia juga memasang lensa merah di matanya, dan terlihat seperti seorang ras Daemon yang dikatakan oleh Ceiti.
'Akhirnya barang-barang cosplay yang kucuri berguna juga....'
Setelah Ceiti memakai ikat kepala itu dan mendapatkan tanduk palsunya, dia menangis sambil memegang tanduk palsunya.
"Sebuah tanduk... Aku memilikinya...."
"Itu hanya tanduk palsu."
"Aku tahu... Tapi, aku merasa sangat senang memilikinya."
Ceiti menghapus air matanya, dia sangat ingin sekali menangis sekencang-kencangnya. Tapi, dia menyudahinya saja, lalu tersenyum dengan ceria yang ditujukan pada Zakiel.
"Terima kasih...."
Hati Zakiel berdetak kencang melihat Ceiti berterima kasih seperti itu. Bukan karena jatuh cinta, tapi dia merasa iba pada Ceiti yang dikucilkan sejak kecil karena kecacatannya.
Zakiel dapat memahami perasaannya, karena dia juga pernah mengalaminya. Rasanya dikucilkan oleh orang di sekitar, tidak diinginkan oleh orang yang melahirkannya, bahkan dianggap sebagai pembawa sial. Namun, setelah bertemu ketiga temannya itu, yang menerimanya, bahkan menilai tinggi dirinya sebagai orang yang hebat, Zakiel mendapatkan kembali kehidupannya yang telah lama dihancurkan oleh keluarganya sendiri.
****
Mereka berdua berjalan melewati akar-akar besar menuju ke selatan. Ceiti senyum-senyum sendiri tiap kali dia melihat dan memegang tanduknya.
"Apa rahangmu tidak pegal?"
Ceiti melihat Zakiel dengan wajah bodohnya sambil memegang tanduk di kepalanya.
"Hmm?"
Dia tersenyum tipis dan memiringkan kepalanya, seperti berkata kenapa atau ada apa.
Zakiel menghela nafas dan kembali melihat kompasnya.
Mereka sudah berjalan sangat lama di hutan itu, namun tak kunjung menemukan jalan keluar. Zakiel berhenti melangkah dan memerhatikan setiap pohon besar.
"Ada apa?" Ceiti pun ikut berhenti setelah melihat Zakiel berjalan menuju pohon besar.
"Hyaa!"
Zakiel memukul batang pohon tebal tersebut dan meninggalkan sebuah jejak di pohon tersebut, walau kemudian tangannya berdarah. Dia melihat tangannya yang terkepal diselimuti darah.
"Apa yang kamu pikirkan sampai memukul pohon besar itu?"
"Aku hanya merasa ada yang tidak beres, jadi aku memutuskan untuk memukul pohon."
"Kuharap tidak semua manusia seaneh dirimu."
"Haha!"
Zakiel berbalik dengan tatapan dinginnya, melihat pada Ceiti untuk sekilas, kemudian melanjutkan jalannya.
Ceiti kebingungan ketika Zakiel tiba-tiba kembali menatapnya dengan dingin, dia benar-benar tidak mengerti apa yang ada di pikiran manusia itu. Ceiti mengejar Zakiel yang sudah berjalan jauh di depannya.
Mereka terus berjalan dan tidak berkata apapun, setelah cukup lama berjalan, Ceiti mulai kelelahan dan kakinya sudah tidak sanggup untuk melakukan perjalanan lagi.
"Bisakah kita istirahat sebentar saja?"
"Baiklah."
Ceiti mengembuskan nafas berat lalu ambruk, dia bersandar pada akar besar dan menutup matanya ketika melihat ke atas.
Mendengar suara langkah kaki yang menjauh, dia membuka matanya dan melihat Zakiel pergi.
"Kamu mau kemana?! Jangan tinggalkan aku!"
"Aku mau buang air, kamu masih mau mengikutiku?" suaranya terdengar semakin kecil.
Ceiti meludah dan memukul akar pohon yang merambat, ketika itu wajahnya pun menjadi merah padam. Dia mengumpat sebelum kembali menutup matanya dan bersandar.
20 menit berlalu, Ceiti terbangun dan mendengar suara langkah kaki yang mendekat, dia langsung berdiri sambil berkata, "Zakiel, apa itu ka—"
Matanya terbelalak, terkejut melihat sosok bayangan hitam yang berwujud seperti manusia dan memiliki sebuah mata bercahaya berwarna emas.
Sosok bayangan hitam itu memang mempunyai anatomi tubuh seperti manusia biasa. Meskipun sosok itu tampak memiliki rambut yang panjang dan mengenakan pakaian yang terlihat seperti sebuah jubah, namun semuanya tampak gelap dan seluruhnya hitam diselimuti oleh bayangan.
Lalu, mata kuningnya bergerak dan menemukan Ceiti.
"A-ahh...."