Chereads / Aku Ingin Tidur Denganmu / Chapter 10 - 10. ODHA

Chapter 10 - 10. ODHA

Nizam pun dapat masuk dan menonton film di jam tayang yang sama dengan Zahro setelah membeli tiket dari salah seorang pengunjung. Dia memilih tempat duduk tepat di belakang Zahro dan Habib. Nizam ingin mengawasi mereka. Dia akan bisa menolong Zahro manakala Habib melakukan sesuatu yang tidak pantas pada gadis itu.

Nizam tidak menonton filmnya. Kedua netranya malah selalu terpusat pada Zahro dan Habib. Sesekali Habib membisikan sesuatu yang membuat Zahro terkekeh. Mereka berdua tampak sangat dekat hingga membuat Nizam kian dirundung kecemburuan.

Nizam menatap bahu Habib kesal, sebab sudah sok akrab dengan Zahro. Nizam amat tidak menyukai Habib yang sok asyik. Seolah terus menebar pesona dan kesan baik pada Zahro. Sekilas Nizam merasa kalau Habib tengah berusaha mendekati Zahro dan dia tidak menyukai hal itu.

Zahro tidak boleh dimiliki lelaki lain. Nizam yang masih amat mencintainya pun merasa tak rela jikalau membayangkan gadis itu dimiliki orang lain. Seketika Nizam menjadi kesal sendiri saat melihat perilaku baik Habib. Pria itu tidak memberikan celah bagi Zahro untuk membencinya. Alhasil Nizam berdoa kepada Allah untuk menunjukan sifat asli tersembunyi Habib pada Zahro.

Nizam yakin kalau Habib memiliki sifat buruk yang akan membuat Zahro hilang respek. Namun, seketika dia menyadari sesuatu. Untuk apa Nizam melakukan semua ini? Membuntuti Zahro dan Habib? Apa manfaatnya? Terlihat jelas kalau Habib dan Zahro saling menyukai. 

Lantas apa salahnya bila Zahro berhubungan dengan Habib? Kenapa Nizam harus cemburu? Zahro memang lebih pantas untuk Habib daripada dengannya. Seketika Nizam merasa sedih. Sorot matanya berpendar melihat kedekatan Habib dan Zahro. Semua yang dia lakukan ini tidak akan mengubah apa pun. Nizam tetap tidak bisa menikahi Zahro. "Astagfirullahaladzim. Ada apa denganku?"

Kala filmnya selesai, Nizam pun bergegas keluar lebih dulu. Dia tidak ingin Zahro dan Habib menyadari keberadaannya. Sesampainya di luar bilik bioskop, dia malah tak sengaja bertemu dengan Fatimah dan Asfa. "Mas Nizam nonton juga? Sama siapa?" tanya Fatimah beramah tamah.

"Sendiri." Nizam tersenyum bersahabat.

2 hari yang lalu dokter memperbolehkan Asfa pulang dan hari ini Fatimah mengajak anaknya itu untuk menonton film animasi yang sudah sejak lama mereka tunggu.

Zahro yang baru selesai menonton pun tak sengaja melihat Fatimah, lalu tanpa berpikir panjang, dia segera menghampirinya. "Mbak Fat, Asfa?" Zahro tersenyum senang saat melihat ibu dan anak itu. "Azam? Kamu juga di sini? Nonton juga?" Dia pula gembira saat menyadari keberadaan Nizam.

Fatimah menanggapi sapaan Zahro dengan ramah. Sementara, Nizam malah menjadi kikuk, tetapi bisa menyamarkannya dengan baik. Dia hanya mampu menganggukan kepala dengan air muka lempeng. Di satu sisi dia khawatir membuat Zahro curiga diikuti, tetapi di sisi lain Nizam keki melihat kedekatan Zahro dan Habib. Dia kembali merasa cemburu.

"Azam, aku pulang bareng kamu, ya?" Zahro mendekati Nizam sambil tersenyum berseri-seri.

"Zahro, kamu kan, jalan sama aku. Jadi, aku yang akan mengantarmu pulang," protes Habib.

"Nggak, Mas. Nggak apa-apa, aku pulang sama Azam aja. Aku nggak mau ngerepotin kamu."

"Aku nggak repot, kok. Biar aku saja yang antar kamu pulang. Nggak apa-apa."

"Mas Habib …."

"Mas Habib bener, lebih baik kamu pulang sama dia aja. Lagian aku kadung janji mau mengantar Fafat dan Asfa pulang." Nizam menyela.

Fatimah ingin menyangkal, tetapi urung kala dia dapat melihat wajah sukar Nizam. Fatimah tidak mengerti, tetapi dia mencoba berimprovisasi.

"Rumahku dan rumah Mbak Fat, kan searah. Nggak apa-apa, aku pulang bareng kalian aja." Senyuman masih tidak lepas dari bibir Zahro.

Habib hanya mampu memijat keningnya geram saat mendengar perkataan Zahro. Dia sangat ingin mengantarkan Zahro pulang supaya bisa tahu di mana alamat rumah gadis tersebut.

"Nggak, Zahro. Saya nggak bisa. Udah, kamu pulang sama Mas Habib aja." 

"Tapi, Azam, aku mau pulang bareng kamu."

"Zahro, saya nggak bisa nganterin kamu." Nizam memijat pangkal hidungnya, geram.

"Azam …."

"Zahro, kalau kamu nggak mau pulang sama Mas Habib, mending pulang sendiri aja. Pesan taksi online, mudah kan? Jangan ngerepotin saya." Nizam yang biasanya sabar menghadapi sikap manja Zahro, seketika berubah judes.

Deg

Rongga dada Zahro tersengat nyeri kala mendapatkan perkataan dingin tak berperasaan serta tatapan sinis dari Nizam. Seketika Zahro pun membungkam murung.

"Ayo, Fat. Saya antar kamu pulang." Nizam berjalan meninggalkan Zahro dan Habib dengan Fatimah dan Asfa mengekori. Tak lupa Fatimah berpamitan terlebih dahulu kepada Zahro.

Nizam terus diam dengan muka masam selama dalam perjalanan. Fatimah amat penasaran dengan apa yang sedang pria tersebut alami. Kenapa Nizam berbicara sedingin itu kepada Zahro? Apa salah gadis ramah itu?

"Kenapa Mas Nizam berbicara seperti itu kepada Zahro? Dia pasti tersinggung atau mungkin sedang sedih sekarang?"

Nizam hanya terus diam sambil fokus menyetir.

Fatimah memperhatikan raut wajah Nizam. Dia tidak akan mendesaknya bila tidak mau bercerita. "Baiklah, saya nggak akan memaksa kalau Mas Nizam nggak mau cerita. Itu hak kamu dan …."

"Saya mengidap HIV," ujar Nizam memotong.

"A-apa?" Fatimah terjelengar dengan mulut menganga saking terkejutnya.

Nizam pun menepikan kendaraannya. Dia dapat melihat Asfa yang tidur dengan nyenyak di pangkuan Fatimah. Nizam juga dapat melihat garis terkejut pada wajah wanita di sebelahnya. Dia mengembuskan napas panjang sebelum memulai cerita. "3 tahun yang lalu saya melamar Zahro dan seminggu kemudian saya didiagnosa menderita HIV. Kemudian beberapa hari lalu saya membatalkan khitbah saya, sebab saya nggak akan mungkin bisa menikahi Zahro."

Fatimah membeku di tempatnya. Dia tak menyangka lelaki sebaik Nizam ternyata memiliki kemalangan yang sama dengannya. Seketika dia merasakan kesedihan Nizam. Fatimah paham betul bagaimana terpukulnya saat mengetahui virus tersebut hinggap di tubuhnya. "Tahap berapa?" tanya Fatimah dengan wajah sendu.

"Satu." Nizam menundukan kepalanya, sedih.

"Kenapa kamu baru cerita sekarang?"

"Menceritakan penyakit saya ke orang lain, nggak akan membuat virus ini lenyap." Nizam menyeringai tawar. "Dan hari ini saya mempunyai keberanian untuk menceritakannya, sebab saya merasa kalau kita memiliki kemalangan yang sama."

"Menceritakannya memang nggak akan menghilangkan penyakitmu, Mas. Tapi dengan bercerita, kamu nggak akan merasa sendirian. Senggaknya akan ada yang memberikanmu support dan semangat," tutur Fatimah. Kemudian dia menunduk melihat wajah polos Asfa-anaknya. "Saya tebak, ayah dan ibumu nggak tahu tentang penyakitmu ini. Iya kan?"

Nizam mengangguk tanpa bersuara.

"Menjadi seorang ODHA memang berat, apalagi kalau kita menutup diri dari lingkungan atau keluarga. Tapi itu nggak akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Kita tahu bagaimana stigma negatif masyarakat tentang kita-ODHA. Tapi, mau sampai kapan kita menyembunyikan kenyataan ini? Nggak bisa kita pungkiri, kalau kita adalah makhluk sosial dan karena itu pula kita akan selalu membutuhkan orang lain. Aku paham kalau kamu menyembunyikan masalahmu ini dari lingkungan, tapi kalau dari keluarga, aku nggak setuju. Karena bagaimanapun, kamu membutuhkan mereka."

Persepsi dan stigma buruk terhadap ODHA sering kali membuat pengidap memilih menyembunyikan diri. Semua tak lepas dari judgement dan diskriminasi yang kerap kali dilakukan lingkungan, sebab kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit tersebut.

"Apa Mbak Zahro juga nggak tahu tentang penyakitmu ini?"

"Nggak. Saya nggak mempunyai keberanian untuk menceritakannya."

Fatimah tersenyum sendu. "Mbak Zahro pasti bingung, karena kamu membatalkan pinangan tanpa menjelaskan apa alasannya. Ini nggak adil untuknya. Seharusnya kamu memberi tahu dia, supaya dia tahu apa yang mesti dilakukan dan agar dia juga berhenti berharap terhadap perasaannya."