Tiga tahun berlalu dengan cepatnya. Meski Citra mengawalinya dengan berat. Penundaan pernikahannya dengan Radi tentu mengejutkan keluarganya dan mengecewakan keluarga calon suaminya. Syukurnya mereka tidak terlalu mempermasalahkan itu dan memilih menunggu kepulangan Citra.
Setelah turun dari bus yang berhenti di depan pasar, Citra memilih pulang dengan menaiki truk mini yang biasanya diisi oleh sepuluh sampai lima belas penumpang agar dirinya bisa menyapa desa dengan baik. Sedangkan angin berlarian mengikutinya dan bersorak-sorak atas kepulangannya. Hawa dingin pegunungan memeluknya untuk mengusir gerah karena tekanan dalam bus. Hawa dingin tidak benar-benar memeluknya, karena sebelum hawa itu, jas putih lebih dulu memeluk tubuhnya.
"Apik tenan jaketmu. Pantesan, yang dari kota," kata seorang nenek memuji jas putih itu.
"Ini namanya jas, Mbok, bukan jaket," sahut Citra membenarkan.
"Jas atau jaket kan sama, dipakai biar enggak kedinginan, tho." Nenek itu menolak pembenaran.
"Apa itu buat anak Pak RW? Pasti cocok kalau dipakai di pernikahan kalian," kata seorang nenek lainnya.
Citra membalasnya dengan senyuman tipis. Untuk apa dia memberikan jas itu kepada laki-laki yang masih asing untuknya? Bahkan setelah menikah, laki-laki itu tidak akan membelikannya kalung emas seharga lima puluh juta.
Sesampainya di rumah, terlihat rumah Citra yang ramai. Kedatangannya telah ditunggu banyak orang. Bahkan keluarga calon suaminya juga berada di sana.
"Anakku, akhirnya kamu pulang dengan selamat," kata Bu RT, ibunya bersyukur. Dia memeluk putrinya bergantian dengan Pak RT, suaminya.
Setelah melepaskan pelukan dari kedua orang tuanya, Citra berhadapan dengan Radi. Tidak ada satu kata pun yang terucap. Tiga tahun tak bertemu membiarkan kecanggungan mengisi hubungan keduanya. Radi ingin mengangkat tangannya untuk mengatakan, 'hai', tetapi dia malah menggoreskan senyum malu. Bu RW yang melihat itu langsung menengahi mereka untuk memecahkan kecanggungan itu. Bu RW membelai kedua pipi Citra dengan lembut. "Masih sama cantiknya. Enggak terasa tiga tahun udah berlalu. Jadi jangan sampai bikin kami kecewa."
Radi menyenggol lengan ibunya. Siapapun tahu kalau itu bukan pujian, melainkan peringatan. Sedangkan Citra masih mempertahankan senyumannya. Lagipula sakit hatinya terhadap calon ibu mertuanya tidak bisa dibandingkan dengan persahabatan Pak RW dengan ayahnya yang menjadi seorang RT.
***
Tiga tahun berlalu dengan cepatnya. Akhirnya Dodik akan mengawali hari-hari beratnya. Usianya sudah 25 tahun. David, ayah tirinya menyuruhnya pulang untuk bergabung ke perusahaan. Dodik cinta kekayaan, tetapi tidak kepada David.
Usai pesta perayaan ulang tahun ke-25 tahunnya digelar, David dan Sofia, ibunya menyuruhnya untuk berkumpul di ruang kerja di rumah. David meletakkan sebuah amplop besar di atas meja. Dodik mengambilnya dengan keheranan. "Apa ini?" tanyanya sembari membuka amplop itu.
"Hasil tes DNA," jawab David.
Setelah dibuka, benar, amplop itu berisi kertas hasil tes DNA. Dodik berjalan mundur ke sofa untuk menikmati bacaannya sembari menyilangkan kaki. Namun, dia telah menyelesaikan bacaannya sebelum duduk di atas sofa. Dodik yang baru menekuk kakinya, langsung menegakkannya. "Apa maksudnya ini?!" serunya terkejut.
"Seperti yang dijelaskan di sana." David mengarahkan tangannya ke hasil tes DNA itu.
"Kalau aku adalah anak kandungmu?" Dodik menertawai surat itu. "Bagaimana mungkin, sedangkan papa yang bersamaku sejak kecil adalah Rico, bukan kamu."
"Papa yang merawatmu sejak kecil memang Rico, tapi kamu adalah anakku!" tegas David."