Chereads / Tutorial Menjadi Istri / Chapter 22 - Tamunya Adalah Dia

Chapter 22 - Tamunya Adalah Dia

"Baiklah, baiklah. Jangan melihatku begitu seakan aku baru saja menculikmu," kata Chu Xiaoxi. Ia duduk di samping Gu Xiaoxiao, meraih dan mencubit pipi Gu Xiaoxiao, dan berkata, "Aku mau memberitahumu sesuatu tentang perjanjianku dengan Jin Jing."

"Ke Italia?" tebak Gu Xiaoxiao.

"Benar," Chu Xiaoxi mengangguk. "Ada sesuatu yang belum aku katakan padamu. Merek GJ sebenarnya dirilis ketika aku berada di Inggris."

Mulut Gu Xiaoxiao sedikit terbuka. Ia tercengang dan hanya bisa menatap Chu Xiaoxio tanpa mengatakan sepatah katapun. Setelah beberapa saat, ia mulai angkat suara, "Jadi, yang Jin Jing pakai waktu itu benar-benar palsu?"

"Bukan itu poin yang harus kamu perhatikan!" kata Chu Xiaoxi. Terkadang ia tidak bisa memahami jalan pikiran Gu Xiaoxiao, "Bukankah harusnya kamu terkejut karenaku?"

"Aku terkejut!" Gu Xiaoxiao menjelaskan, "Tapi, aku selalu tahu bahwa kamu sangat hebat. Jadi, sepertinya aku tidak terlalu terkejut…"

Perkataan Gu Xiaoxiao membuat Chu Xiaoxi semakin merasa bersalah karena ia baru membuka kartu di akhir. Namun, Gu Xiaoxiao kembali bicara, "Baiklah. Sebenarnya aku tidak benar-benar tahu apa itu merek GJ yang kamu bicarakan, jadi—"

"Aku benar-benar kalah darimu."

Chu Xiaoxi meraih kerah Gu Xiaoxiao dan menarik temannya itu ke ruang kerja. Ia menyalakan komputer, mengklik halaman web tentang GJ, dan mengawasi Gu Xiaoxiao sampai temannya selesai membaca semua informasi di web itu. Kemudian, ia menunggu Gu Xiaoxiao perlahan berbalik dan bertanya, "Jadi, bagaimana menurutmu?"

"Kamu sangat busuk!" Gu Xiaoxiao berdiri sambil tersenyum. Lalu, ia menertawakan ekspresi Chu Xiaoxi yang seperti menunggu dipuji. Ia merangkul Chu Xiaoxi dengan lembut dan berbisik, "Xiaoxi, terima kasih telah menjadikanku teman."

Bisikan lembut Gu Xiaoxiao membuat Chu Xiaoxi menelan kembali kata-kata yang ia siapkan untuk protes. Gu Xiaoxiao tidak pernah menyangka bahwa ternyata Chu Xiaoxi memiliki status yang mengagumkan di tempat yang tidak dikenalnya dan di ketinggian yang tidak bisa dilihatnya.

"Tiba-tiba kamu begitu sombong, aku tidak tahu harus berkata apa…"

Chu Xiaoxi diam-diam tersenyum dan membelai rambut Gu Xiaoxiao. "Baiklah. Sekarang setelah kamu tahu seberapa tinggi sahabat baikmu ini, kamu harus melayaninya sesegera mungkin!" kata Chu Xiaoxi. Ia duduk di kursi sambil sedikit mengangkat dagu, lalu memandang Gu Xiaoxiao dengan bangga dan berkata, "Empat hidangan dan satu sup, tidak kurang. Di dekat gerbang komplek apartemen ada supermarket yang buka. Pergilah!"

"Oke, oke. Kamu bisa berkonsentrasi pada pekerjaanmu."

Gu Xiaoxiao keluar dari ruang kerja sambil tersenyum. Setelah terbiasa dengan lingkungan di dalam apartemen, ia pergi keluar untuk membeli barang-barang yang diperlukan. Setelah itu, ia kembali sambil membawa kembali dua tas berisi belanjaan dan segera mengisi kulkas dengan puas. Gu Xiaoxiao melihat jam dan ternyata masih terlalu sore. Ia pun membawa dua buku kembali ke ruang kerjanya.

Chu Xiaoxi sedang sibuk di meja kerjanya dengan kepala tertunduk. Di sisi lain di sofa, Gu Xiaoxiao dengan hati-hati melihat bukunya dan mencatat sesuatu. Ketika waktu makan malam hampir tiba, barulah Gu Xiaoxiao bangun dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Gu Xiaoxiao sangat pandai memasak, tapi ia jarang menunjukkan kemampuannya termasuk di depan Chu Xiaoxi.

Sebenarnya Chu Xiaoxi menyebutkan empat hidangan dan satu sup hanya untuk bercanda dengan Gu Xiaoxiao. Namun, ia tidak menyangka bahwa akhirnya Gu Xiaoxiao akan benar-benar menyiapkannya. Bahkan, semua hidangan itu tersaji rapi dengan warna dan aroma yang menggiurkan. Saat semua makanan sudah disajikan di atas meja, Chu Xiaoxi dan Gu Xiaoxiao saling memandang.

"Aku tidak menyangka bahwa kamu berpotensi sebagai istri dan ibu yang baik," kata Chu Xiaoxi yang melihat makanan di meja sambil geleng-geleng takjub.

Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Chu Xiaoxi melambaikan tangannya dan meminta Gu Xiaoxiao untuk membuka pintu. Gu Xiaoxiao berlari ke pintu dengan ragu-ragu. Apakah akan ada yang datang ke sini di saat seperti ini? pikirnya. Ia sejenak membeku saat melihat keluar dari kaca pintu. Setelah perlahan-lahan membuka pintu, ia akhirnya sadar dan mengerti mengapa tempat ini terlihat sangat akrab baginya…