"Kamu punya banyak keberanian," komentar Su Mohan. Lalu, ia tertawa dengan suara dingin yang terdengar berbahaya dan bisa membuat orang gemetar.
Ye Fei sadar suara Su Mohan terdengar semakin dingin. Jantungnya berdetak kencang, tapi lengannya yang memeluk leher Su Mohan menjadi semakin kuat. Keringat di lengannya menyatu dengan keringat di leher Su Mohan, tapi Su Mohan hanya mengerutkan kening tak berdaya.
Bukannya Ye Fei menolak untuk melepaskan Su Mohan. Hanya saja, ia sendiri yang barusan mengatakan bahwa ia pasti akan menempel pada Su Mohan seperti plester hingga pria itu tidak akan bisa menyingkirkannya. Ye Fei jamin bahwa jika saja Su Mohan menyuruhnya untuk melepaskannya, entah ia akan membuat Ye Fei menghilang selamanya atau ia tidak akan pernah membuat dirinya sendiri bahagia.
Kesabaran Su Mohan hampir mencapai batas. Ia mencengkeram lengan Ye Fei hingga membuat Ye Fei terlonjak tanpa sadar. Dua kaki rampingnya menjepit pinggang Su Mohan dengan erat untuk mencegah pria itu melempar dirinya. Kini Ye Fei menggantung di tubuh Su Mohan seperti koala bergelantungan di pohon.
Su Mohan hanya merasa berat dan tanpa sadar mengulurkan tangan untuk meraih Ye Fei. Dua tangan besarnya memegang Ye Fei dengan erat. Ye Fei tampaknya takut ia akan jatuh. Ye Fei menggosokkan kepalanya ke pundak Su Mohan lagi dan diam-diam memprotes.
"Turun!" perintah Su Mohan. Suara rendah pria itu bercampur amarah, tapi ia tidak mau langsung menjatuhkan Ye Fei.
"Aku tidak mau."
Satu tangan Su Mohan yang panjang menarik lepas lengan Ye Fei yang ramping, sedangkan tangan yang lainnya menyeret pinggang Ye Fei. Tanpa menunggu Ye Fei melawan, ia melempar wanita itu ke ranjang emas gelap yang empuk. Ranjang itu sangat empuk sehingga Ye Fei tidak merasakan sakit. Namun, sebelum ia bisa bangkit dan duduk, seseorang menggertak dirinya dan menatapnya.
Ye Fei tampaknya sudah kenal melihat wajah Su Mohan yang masih terlihat sangat suram. Ia malah terkikik sambil menggoda, "Sepertinya Tuan Su tidak tahan lagi…"
Su Mohan menatap Ye Fei yang tidak tahu bedanya hidup atau mati dengan tatapan muram. Bisa dibilang bahwa kata-kata Ye Fei berhasil menusuknya. Ia tidak tahu kenapa wanita di depannya jelas-jelas tidak menaatinya lagi dan lagi. Namun, Su Mohan masih bisa bersabar dan juga menolerir saat wanita itu bergelantungan di tubuhnya. Jika wanita lain yang berani melakukannya, Su Mohan pasti sudah mengusir wanita itu keluar dari pintu dan meminta pelayan rumah untuk menyeretnya pergi. Namun, Su Mohan bahkan tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya sendiri saat ia menghadapi wanita kecil di depannya.
"Bukankah Tuan Su marah padaku…" ujar Ye Fei datar.
"Itu tergantung pada perilakumu…"
Ye Fei mengambil inisiatif untuk mencium Su Mohan sejenak di bawah cahaya redup yang menyinari ruangan itu dengan nuansa lembut. Ciuman itu menjadi semakin dalam dan berlanjut menjadi pertempuran. Setelah beberapa awan dan hujan, Ye Fei menutup dirinya dengan selimut dan berbaring di ranjang. Ia mendengar suara air mengalir dari kamar mandi, lalu menutup matanya.
Bulu mata Ye Fei yang panjang dan halus memunculkan bayangan di pipi putihnya. Kulit indah Ye Fei benar-benar hadiah terbaik yang diberikan Tuhan padanya yang bahkan membuat pria seperti Su Mohan jadi menginginkan Ye Fei dengan serakah.
Suara air mengalir tiba-tiba berhenti. Ye Fei membuka sepasang matanya yang cerah dan berlari dari tempat tidur tanpa alas kaki. Ia berdiri di depan pintu kamar mandi sambil membawa handuk di kedua tangan. Tak lama kemudian, Su Mohan keluar dari kamar mandi dengan celana pendek. Lekuk tubuh yang indah dan sempurna langsung terlihat di depan matanya. Tetesan air dari rambut Su Mohan jatuh ke leher dan otot perutnya yang kokoh hingga membuat telinga Ye Fei memerah.
"Tuan… Apakah pelayanan dariku memuaskan?" tanya Ye Fei sambil tersenyum dengan menawan. Lalu, ia menawarkan handuk di tangannya pada Su Mohan.
Su Mohan mengangkat alisnya. "Kenapa? Apakah kamu menginginkannya lagi?"