Sandro begitu khawatir. Wajahnya bercucuran keringat. Jujur ia tak sanggup jika sesuatu yang buruk benar-benar menimpa Casta, wanita yang diam-diam ada dihatinya.
"Tuan. Kenapa nyonya seperti ini? hiks..." ujar Maria sambil terus menggenggam tangan Casta yang sudah sangat dingin dan kaku.
"Tuan apakah nyonya baik-baik saja?"
"Tenanglah Maria. Aku yakin Casta baik-baik saja." ujar Sandro berusaha menutupi kegelisahannya.
Bagaimana tidak? beberapa saat yang lalu ia memasuki kamar Casta dan mendapati wanita itu tak sadarkan diri dengan wajah pucat dan dingin. Lebih parahnya lagi, ketika Sandro menyentuh pergelangan tangan Casta dan tak merasakan denyut nadinya. Menyadari hal itu Maria berteriak histeris. Akan tetapi Tuhan masih berbaik hati. Beberapa detik kemudian nadinya berdenyut. Akan tetapi Sandro belum bisa tenang karena durasi setiap denyutannya sangat lama. Dan Sandro tahu betul Casta sedang tidak baik-baik saja. Ia kesulitan bernapas.
Cepat-cepat pria itu membawa Casta memasuki ruangan darurat rumah sakit.
"Dokter kumohon lakukan yang terbaik. Selamatkan dia." lirih Maria.
"Kau harus berdoa. Kami hanya bisa mengobati tapi Tuhan yang akan menyembuhkan."
"Lakukan yang terbaik untuk menyelamatkan nyonya dokter."
"Kami akan berusaha."
Maria tak bisa tenang diluar. Para tenaga medis sudah membawa Casta untuk diperiksa.
"Maria sebenarnya ada apa dengan Casta? apa dia menderita sesuatu?"
"Aku selalu bertanya tuan tapi nyonya tak pernah beritahu hikss...."
Maria dan Sandro menunggu dengan was-was. Didalam hati mereka terus berdoa meminta pertolongan sang pencipta.
Tiba-tiba seorang dokter keluar dengan raut wajah kebingungan.
"Bagaimana keadaannya dokter?"
"Kenapa kalian membiarkannya seperti ini?"
"Apa yang terjadi padanya?"
"Pasien menderita kanker di rahim dan otaknya."
Deg....
Damario tak bisa tenang dirumahnya. Meski ada banyak tamu datang dan memberi ucapan selamat, pria itu tak menunjukkan wajah bahagianya. Sejak tadi ia terus mengkhawatirkan keadaan Casta. Ia melihat dengan jelas wajah pucat dan kaku Casta ketika Sandro menggendongnya. Apa wanita itu baik-baik saja.
Semakin ia coba melupakan Casta, semakin besar kekhawatirannya akan wanita itu.
"Aku harus pergi."
"Sayang kau mau kemana?"
"Aku harus menemani Casta."
"Apa? apa kau sudah gila? hei kau ada disini untuk mengenalkan ku pada mereka sayang."
"Kau urus saja mereka. Aku tak bisa tinggal diam." Pria itu mengambil kunci mobil dari tangan Fernando dan masuk ke mobilnya. Diperjalanan, ia membawa mobil sangat laju. Pikirannya kembali teringat pada peristiwa kemarin yang membuatnya semakin khawatir.
FLASHBACK
Damario mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan mengingat acara ulangtahunnya tinggal sehari saja. Ia teringat akan Casta dan memasuki sebuah butik. Disana, ia melihat beberapa gaun yang sangat indah. Namun pandangannya jatuh pada sebuah gaun hitam berhiaskan berlian-berlian kecil yang melingkar indah di sepanjang leher gaun. Ia segera membelinya dan memberikannya secara langsung pada Casta. Bukan untuk mendapat pujian. Ia hanya ingin mencari alasan agar dapat melihat keadaan istrinya yang semakin buruk. Dua selang kecil menancap dihidungnya. Semua itu membuat Damario sedih. Ia tak menyangkan wanita tangguh seperti Casta akan sakit parah.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja tinggal menunggu beberapa saat hingga kakiku kuat lagi."
"Pakai ini besok!"
"Damario ini...ini indah sekali. Aku suka. Terimakasih."
"Tidurlah lagi. Kau terlihat sangat lemah."
"Hmmm..baiklah. Kau juga perlu menyediakan banyak barang. Maaf aku tak bisa membantu."
Baru saja Damario ingin meninggalkan Casta namun pandangannya tertuju pada secarik kertas berlogo rumah sakit Universitario la paz. Damario sangat penasaran. Akhirnya ia menunggu hingga Casta tertidur dan mengambil kertas itu. Ia menuju ke kamarnya dan membaca isi kertas itu.
Matanya membulat sempurna membaca keterangan di surat itu. Ternyata itu surat diagnosa beberapa bulan yang lalu. Damario membaca beberapa keterangan pemeriksaan dan mendapati bahwa Casta rutin ke rumah sakit miliknya setiap bulan tapi tidak untuk bulan ini.
"Tidak mungkin." tangannya gemetar membaca surat itu. Kemudian ia kembali ke kamar Casta dan mengembalikkan kertas itu. Jujur, dalam hati ia sangat sedih dan kecewa karena tidak bisa menjadi tempat Casta berbagi kesedihannya.
FLASHBACK END.
Damario mengingat kembali kejadian itu.
"Apa ini ada hubungannya dengan keadaan Casta barusan?" ia tak bisa berpikir jernih lagi.
drettt..drettt....
Ponselnya berdering.
"Halo...."
"Halo...Kau tuan Damario bukan?"
"Iya".
"Apakah anda suami nyonya Casta?"
"Iya aku suaminya." Untuk pertama kalinya Damario merasa begitu bangga menyebut dirinya sebagi suami Casta.
"Baiklah. Sekarang terserah tuan mau apakan jenazah ini. Kami selaku dokter meminta maaf karena tak bisa menyelamatkannya. "
Ponsel terjatuh di mobil. Tangan Damario gemetar. Peluh membasahi dahinya perlahan.
"Tidak."
.....
Damario berlari sangat kencang menuju keruangan tempat Casta dioperasi. Matanya basah karena air mata.
"Tidak..tidak..tidak"gumamnya.
langkahnya terhenti di depan pintu operasi. Dengan napas tersengal-sengal ia membuka pintu dan mendapati Maria serta Sandro dan beberapa tenaga medis. Maria menangis sesenggukan. Matanya sembab. Sementara Sandro hanya menunduk sambil menggenggam tangan Casta. Dan tampak juga dokter Andreas dengan tatapan kosongnya.
Pandangan Damario berhenti pada seorang wanita yang terbaring di kasur. Wajahnya begitu pucat dan kain putih menutupi hampir seluruh tubuhnya.
"Casta....t...tidak...Casta..sayang."
"Nyonya jangan tinggalkan aku....."
"Casta...bangun sayang." Damario menangkup wajah pucat Casta dan menangis sejadi-jadinya.
"Bangun sayang...jangan tinggalkan aku. Aku tak bisa ditinggalkan seperti ini. Bangun sayang. Ayo pulang bersamaku. Aku belum menerima ucapan darimu." Ia memeluk Casta sangat erat dan menyembunyikan wajahnya di leher Casta.
"Sayang bangun....sayang....aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu...Bangun sayang."
Dokter Andreas memberi kode agar membiarkan Damario disitu.
Damario berulang kali mencium istrinya dan mengelus lembut wajahnya.
"Sayang. Jangan tinggalkan aku. Aku tak bisa hidup seperti ini...."
Ia meremas kain yang menutupi tubuh Casta.
"Sayang. Maafkan aku. Maafkan aku. Casta bangun!"
"Tuan..Kau harus merelakan kepergian istrimu. Dia sudah lepas dari semua sakitnya. Sekarang dia bebas disana." Dokter Andreas berusaha menenangkan Damario.
"Dokter aku mencintainya. Kenapa dia tidak mau bangun?" Damario menumpahkan kesedihannya. Ia tak malu lagi menangis didepan dokter Andreas. Ia tak peduli lagi. Casta lebih penting baginya.
"Saya tahu tuan sangat mencintai nyonya tapi nyonya sudah bahagia sekarang."
"Sayang bangun aku mohon...."
"Kami harus segera mengurus jenazah nyonya."
"Tidak jangan coba-coba menyentuhnya. Aku akan membawanya pulang dan tidur disampingnya. Iyakan sayang?"
"Tuan jangan seperti ini.."
"Kenapa? dia istriku. Aku berhak atasnya. "
Merasa terganggu dengan keberadaan Damario, akhirnya beberapa perawat terpaksa menyuntikkan obat penenang pada Damario hingga pria itu tak sadarkan diri. Sementara para dokter sibuk mengurusi jenazah Casta.
"Semua sakit dan kekecewaanmu telah berakhir Casta. Berbahagialah disana." Dokter Andreas menitikkan airmata ketika mengingat semua keluh kesah yang disampaikan Casta setiap kali menemuinya dirumah sakit.
"Bukankah sudah kubilang kalau suamimu sebenarnya sangat mencintaimu. Dia sangat membutuhkanmu Casta. Selamat jalan Alegria Casta Clodovea." Dokter Andreas mengusap air mata di pelupuk. Ia tak menyangka pasien setianya akan pergi secepat ini. Bahkan sangat miris. Wanita itu tak sempat mendengar pernyataan cinta suaminya.
Ia sudah tahu sejak awal bahwa Casta tak dapat diselamatkan mengingat penyakitnya yang ganas itu sudah terlalu lama berdiam diri ditubuhnya.
FLASHBACK
Setelah mendapat izin dari Maria & Sandro, dokter Andreas segera menyiapkan alat untuk operasi darurat. Sebenarnya ia tak terlalu berharap banyak hanya doa dan permohonan pada sang pencipta agar berbaik hati dan mengizinkan Casta untuk menatap dunia yang penuh dengan kesedihan sebentar saja.
"Bertahanlah Casta." katanya sebelum memberikan suntikkan pada Casta.
Ia dan beberapa perawat sibuk sampai tak menyadari bahwa kondisi wanita itu semakin tak menentu.
Sebagai dokter yang telah memeriksakan kesehatan Casta selama hampir 2 tahun, dokter Andreas tahu betul seperti apa kondisi Casta. Beberapa kali ia berusaha memompa jantung wanita itu namun tak lama kemudian, muncul garis lurus di layar monitor menandakan si pasien tak bernapas lagi.
"Ya Tuhan." ujar dokter Andreas dengan was-was. Ia tahu banyak diluar sana yang berharap agar Casta disembuhkan. Tapi jika harus jujur, dokter Andreas merasa inilah yang terbaik. Casta sudah bebas dari rasa sakitnya terhadap suami dan penyakitnya itu.
"Semoga kau tenang disana." lirihnya sambil memandangi wajah pucat Casta yang tampak tersenyum damai.
FLASHBACK END.