"Katakan Luna? apa yang kamu rasakan saat ini? kediamanmu apakah sudah menjawab semuanya??" tanya Alvaro menatap penuh wajah cantik Luna yang masih terpejam.
Perlahan Luna membukanya matanya, menatap dalam tatapan mata elang Alvaro yang menyiratkan sebuah kerinduan.
"Kita tidak bisa seperti ini Alva, hubungan kita ini akan mengkhianati Zenita. Zenita tidak ingin kita kembali menjadi sepasang kekasih. Dia hanya ingin melihat kita sebagai sahabat, dan selamanya seperti itu." ucap Luna seraya menjauhkan wajahnya dari wajah Alvaro.
"Apa yang kamu katakan Luna? jangan mencari alasan dengan apa yang di katakan Zenita. Zenita mengatakan hal itu karena dia akan menikah denganku. Di saat seperti ini, Zenita pasti mengerti apa yang kita rasakan." ucap Alvaro sangat shock mendengar ucapan Luna yang selalu memutuskan sepihak saja.
"Kamu tidak akan mengerti Alva, memang sangat berbeda apa yang di pikirkan wanita dengan seorang pria. Perasaan kita yang pernah ada tidak akan semudah itu kita bangun kembali. Aku tidak mau Zenita kecewa padaku." ucap Luna menggigit bibir bawahnya merasa bersalah pada Zenita.
"Benar, aku memang tidak pernah mengerti. Selama ini aku yang tidak mengerti! aku tidak mengerti bagaimana aku bisa menerima cinta Zenita yang jelas-jelas aku tidak mencintainya. Aku juga tidak mengerti kenapa aku mau saja bertunangan dengan Zenita. Semua ini salahku, aku yang tidak mengerti kamu sampai semua terjadi seperti ini!" ucap Alvaro sambil mengusap wajahnya dengan perasaan terluka.
Luna mengangkat wajahnya, ucapan Alvaro bagaikan sebuah tamparan yang sangat keras untuknya.
Semua yang di lakukan Alvaro hanya atas semua keinginannya. Dengan perasaan bersalah Luna menggenggam kedua tangan Alvaro.
"Maafkan aku Alva... maafkan aku. Sungguh aku tidak bermaksud memaksa kamu untuk melakukan hal itu semua." ucap Luna dengan tatapan bersalah menatap wajah keras Alvaro.
"Kamu tidak perlu meminta maaf Luna, apa yang kamu katakan benar. Kamu harus memikirkan perasaan Zenita. Bahkan Zenita sudah tiada kamu harus memikirkannya. Dan kamu tidak perlu memikirkan perasaanku." ucap Alvaro dengan perasaan kecewa melepas genggaman tangan Luna kemudian membuka pintu dengan lebar.
"Pergilah Luna, anggap saja semua yang pernah terjadi di antara kita hal itu tidak pernah terjadi. Aku putuskan hubungan kita hanya sebatas teman kerja saja. Aku berharap setelah kasus masalah ini selesai kita tidak satu tim lagi sampai kapan pun." ucap Alvaro dengan suara parau dan tatapan terluka.
Luna mengangkat wajahnya menatap Alvaro dengan tatapan tak percaya.
"Apa yang kamu katakan Al? apa kamu yakin dengan apa yang kamu katakan itu?" tanya Luna dengan perasaan terluka.
"Aku hanya melakukan seperti apa yang kamu yang kamu inginkan." ucap Alvaro benar-benar terluka dengan sikap Luna yang tidak pernah memikirkan perasaannya.
Luna menegakkan punggungnya kemudian bangun dari duduknya dengan pandangan tak lepas dari Alvaro.
"Baiklah Al, mungkin kita hanya di takdirkan dengan hubungan sebatas teman kerja saja. Sekali lagi aku minta maaf, jaga dirimu dengan baik." ucap Luna dengan perasaan berat hati terpaksa mengiyakan keputusan Alvaro demi rasa sayangnya pada Zenita.
Masih dengan tatapan tak lepas dari wajah Alvaro Luna berjalan ke arah pintu untuk segera pergi.
Alvaro menelan salivanya mengalihkan pandangannya saat Luna berhenti sesaat dan menatapnya dengan tatapan berkaca-kaca.
"Selamat tinggal." ucap Luna dengan suara pelan kemudian beranjak pergi meninggalkan semua kenangan yang ada saat bersama Alvaro.
Dengan perasaan terluka Alvaro menutup cepat pintu kamarnya dan menyandarkan punggungnya di pintu dengan mata terpejam. Tidak lama kemudian tubuh Alvaro merosot ke lantai dengan kedua tangan menutup wajahnya. Sayup-sayup terdengar suara tangis tertahan Alvaro.
Perasaan Alvaro benar-benar terluka dengan sikap Luna yang menganggapnya bukan seseorang yang berarti selain partner kerja saja.
Di saat Alvaro terpuruk dalam kesedihan di luar pintu kamar Alvaro, Luna juga bersandar di pintu kamar Alvaro dengan air mata berlinang.
"Maafkan aku Alvaro, sungguh aku tidak bermaksud menyakiti hati kamu. Tapi aku tidak bisa melangkah lebih jauh denganmu. Aku harus memikirkan perasaan Mama dan Papa dan keluarga besarku yang masih kehilangan Zenita. Aku tidak ingin menyakiti hati mereka semua, terutama Zenita." ucap Luna dengan dada terasa sesak mengenang masa-masa indahnya bersama Alvaro.
Setelah cukup lama menangis dalam kesedihannya, Luna mengusap air matanya dan segera pergi meninggalkan rumah Alvaro sebelum ketahuan dia masih di sana.
Tiba di rumah besar, Luna melihat orang tuanya berkumpul dengan keluarga besarnya.
"Luna, kamu dari mana? Papa menghubungi David tapi David bilang kamu sudah pulang." ucap Darries dengan tatapan penuh kecemasan karena tinggal Luna putrinya yang masih hidup. Darries tidak ingin kehilangan putrinya lagi.
"Aku dari rumah Alvaro Pa. Alvaro saat ini sakit typus dan harus banyak istirahat. Mungkin nanti malam dia tidak bisa datang ke sini." ucap Luna sambil menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa tidak kamu antar ke rumah sakit saja Lun?" ucap Sofia mamanya Luna yang sudah menganggap Alvaro sebagai putranya.
"Alvaro tidak mau Ma, dan aku tidak bisa memaksa Alvaro kecuali Zenita." ucap Luna sambil menahan tangis teringat manjanya Zenita pada semua orang hingga semua orang tidak bisa menolak keinginan Zenita.
"Kamu benar Luna, tapi siapa lagi yang akan memperhatikan Alvaro kalau bukan kita?" ucap Sofia kemudian mengambil ponselnya dan segera menghubungi Alvaro.
"Hallo Alvaro." panggil Sofia dengan suara lembut.
"Ada apa Ma?" tanya Alvaro masih dalam keadaan duduk bersandar di pintu dengan wajah memerah karena demamnya yang tinggi.
"Luna bilang kamu sakit typus dan tidak mau di rawat di rumah sakit. Dengarkan Mama, Alvaro. Kamu harus ke rumah sakit agar cepat sembuh." ucap Sofia dengan penuh perhatian.
"Aku tidak apa-apa Ma, itu hanya kecemasan Luna saja. Aku baik-baik saja Ma, hanya kelelahan saja. Nanti malam aku ke sana ikut berdoa tiga harinya Zenita." ucap Alvaro menutupi semuanya dari orang tua Luna.
"Sebaiknya kamu istirahat saja Al. Kalau kamu sakit, kami semua juga cemas." ucap Sofia sambil menatap ke arah Luna yang sedang menatapnya dengan tatapan cemas.
"Sungguh Ma, aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Ini juga aku sedang istirahat." ucap Alvaro merasa terharu dengan perhatian orang tua Luna padanya.
"Baiklah Al, istirahatlah dan jangan lupa makan yang banyak dan minum obat." ucap Sofia sebelum menutup panggilannya.
"Terima kasih Ma." ucap Alvaro kemudian menutup panggilan Sofia.
Alvaro mengambil nafas dalam bangun dari duduknya dan berjalan lemas ke tempat tidur.
Dengan perasaan sedih Alvaro menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dan tanpa sengaja tangan Alvaro menindih kalung milik Luna pemberian Zenita.