Chereads / Friend and Rival / Chapter 3 - Ukuran Perspektif

Chapter 3 - Ukuran Perspektif

Ni la bonne éducation ne fait le bon caractère.

Pendidikan yang baik tidak menjamin pembentukan watak yang baik.

- Bernard Le Bovier de Fontenelle

>===o===<

Sebenarnya, langsung menuju kelas bukanlah kesepakatan bersama. Aku sendiri hanya mengikuti yang lain. Untuk saat ini, aku harus berhati-hati dengan Riki. Meskipun hanya dia yang kukenal, kurasa dia tau beberapa hal tentang masa laluku.

Tak akan ada yang tahu kapan dia membeberkan latar belakangku. Karena aku ingin sekali melupakan masa-masa dimana diriku melakukan hal yang seharusnya tak kulakukan.

Pada akhirnya, kami sampai di ruang kelas. Ruangan ini terlihat sangat bagus, rapi, dan sudah dipastikan sangat elit. Saat mengetahui diriku yang terakhir masuk ruangan ini. Aku langsung menutup pintu kelas dengan cara menggesernya.

Rupanya tempat duduk telah diatur oleh pihak sekolah. Terpampang jelas kartu nama yang diselipkan di pojok atas kanan bangku itu. Kuambil kartu tersebut dan sejenak berpikir. Kurasa kartu ini tak hanya untuk ditaruh pada bangku saja. Posisi dudukku lumayan strategis, baris pertama dari kanan paling depan tepat berada di samping pintu masuk. Mungkinkah kebetulan? Kuharap iya.

Aku langsung menggantungkan tas pada bangku dan segera duduk. Suasana kelas terasa tenang dan terlihat kurangnya interaksi di antara kami semua. Sudah sewajarnya begitu, karena kelas ini diisi oleh orang-orang seperti itu. Tak ada murid brandal, nakal, tukang ribut, dan perusuh. Kurasa diriku dapat tidur dengan suasana seperti ini.

Srregg ....

Pintu kelas terbuka dengan cepat. Seorang lelaki dengan perawakan tinggi tegap menggunakan jas melewatiku. Dia membawa sebuah koper dan daftar absensi. Lantas aku langsung menegakkan posisiku.

Aku hanya bisa berkata dalam hati. Untung saja aku tak jadi tidur.

Kurasa dia adalah guru pertama kami. Penampilannya cukup rapi hanya saja tampangnya sangar. Aku yakin dia cukup tegas dalam mengajar.

Namun, yang terjadi saat ini adalah murid-murid lainnya masih sibuk dengan beragam aktivitas, meskipun tidak menyalahi aturan sih. Sibuk membaca, menulis, menghitung, menggambar, memainkan kalkulatornya, tertidur, dan hanya diriku yang tak melakukan apapun.

"Ekhem ...."

Mendengar suara tersebut, semuanya sontak fokus dengannya. Berbagai aktivitas seketika langsung berhenti.

"Saya sebagai wali kelas kalian. Perkenalkan, Samuel Gilbert Saragi, kalian bisa memanggil saya dengan Samuel, Gilbert, atau Saragi. Kalangan guru memanggil saya Gilbert. Kalangan murid memanggil saya Saragi. Di sekolah ini tak ada pergantian kelas untuk tiga tahun ke depan, saya sendiri akan menjadi wali tetap kalian."

Seorang murid yang nampaknya terlihat percaya diri mulai mengacungkan tangannya. Saat Pak saragi menengok ke arah murid tersebut, dirinya langsung mengutarakan sesuatu. "Saya tebak jarang sekali ada yang memanggil anda dengan panggilan Samuel, benar, kan?" ujarnya tanpa menunggu diperbolehkan berbicara.

"85% fakta itu benar. Namamu Arkan Atmaja. Benar, 'kan?" tanya Pak Saragi sambil melirik absensi.

"Yaps, lalu kemanakah 15% itu?" tanya Arkan.

"Biarkanlah sisa presentase itu menjadi rahasia sekolah ...."

Mendengar balasan datar dari Pak Saragi, Arkan terlihat sedikit kesal. Sekilas mengenai penampilan Arkan, wajahnya cukup tampan, terlihat sedikit menyiratkan perasaan curiga, namun terlihat culun bagiku dengan gaya rambut coklat gelap belah samping disisir klimis. Aku merasa direndahkan oleh penampilannya hanya karena diriku tak pernah mengurus rambutku sendiri. Tapi, untuk nomor absen pertama, nampaknya dia seseorang yang serius dan mudah penasaran.

"Bapak akan menanyakan satu hal, apakah kita perlu memperkenalkan diri satu-persatu?"

"Tidak ...," jawab murid serentak, termasuk diriku.

Pak Saragi sedikit tersenyum, dia menaruh dan membuka kopernya di atas meja. Dikeluarkannya beberapa buku yang lumayan tebal. Pertama, dia mengeluarkan lima buah buku lalu memanggil Arkan dan menyuruhnya membagikan ke belakangnya.

Selanjutnya. "Danu! kesini, tolong bagikan buku ini ke belakangmu!"

Setelah Danu selesai membagikan buku-buku itu. Pak Saragi langsung memanggil seorang murid yang berada di sebalah kanannya.

"Hyuki, ke sini ... tolong bagikan buku-buku ini ke belakangmu."

Nama panggilannya Hyuki? mungkin aku beruntung bisa duduk di sebelah gadis cantik seperti dia. Berkulit putih berambut hitam panjang lurus sepinggang dengan poni yang menutupi sisi kiri dahinya. Sekilas juga kulihat parasnya, kalau dia ini sepertinya berasal dari negeri matahari terbit.

Sepertinya aku sedikit ingat tentang prestasi dan kemampuannya. Dilihat dari sikap dan gerak-geriknya, aku ada gambaran soal kemampuannya. Namun tetep saja, mengingat jarang terdengar kabar-kabar angin mengenai dirinya.

"RAFAEL!"

"Ah, iya, pak?"

"Kamu dari tadi saya panggil kenapa gak jawab hah? Jangan melamun perhatiin Hyuki aja, cepat bagikan buku ini!"

Aku pasrah mengikuti instruksinya. Segera bangun dari tempat duduk dan melangkah ke meja Pak Saragi guna mengambil buku tersebut. Judul buku ini adalah 'Buku Pengukur Kemampuan'.

Aku sedikit penasaran tentang judulnya. Setelah membagikan buku-buku tersebut, aku langsung membukanya.

Aku terkejut dengan buku ini. Untuk ukurannya yang lumayan, buku ini dapat menampung banyaknya mata pelajaran, yaa meskipun isinya hanyalah kumpulan soal-soal.

Sepertinya Pak Saragi akan menjelaskan sesuatu. "Pertama, kalian harus mengisi nama lengkap, nomor absen, kelas, dan di sana ada kolom kemapuan atau prestasi. Karena kalian kelas A, semuanya wajib mengisi kolom tersebut!"

Setelah mendengar penjelasan tersebut. Aku mulai bingung sendiri tentang pengisian kolom ini.

"Buku ini hanya berisikan soal-soal untuk mengukur seberapa jauh kemampuan kalian dalam setiap mata pelajaran. Buku ini berisikan 18 mata pelajaran, bapak harap kalian mengisi jawaban pada setiap mata pelajaran. Karena sekarang jam 10 Pagi maka kalian akan bapak beri waktu hingga jam 12 siang, bisa dimengerti?!" sambung Pak Saragi,

"Bisa, pak!" sahut serentak para murid.

Untuk saat ini aku hanya bisa mengosongkan kolom ini. Sekarang, aku harus fokus menjawab soal-soal tiap mata pelajaran.

Ku harap kepintaranku ini sebanding dengan murid-murid yang lain.

>===X===<

Waktu tinggal beberapa menit lagi. Aku hanya bisa mengerjakan 75% soal di setiap mata pelajaran. Hal itu bukanlah ketidaksengajaan. Aku sudah memperkirakan beberapa hal, apalagi Pak Saragi sebelumnya tak menjelaskan tentang akibat jika mendapatkan nilai rendah.

Aku mulai pasrah pada buku ini. Kututup buku tersebut dan menunggu waktu pengerjaan usai. Tak hanya diriku yang telah selesai, sudah ada delapan orang menutup bukunya dan terdiam menunggu waktu.

Untuk saat ini aku hanya bisa duduk manis dan sesekali memandang sekitar. Namun, ada seorang siswi yang sedari tadi mampu menyita perhatianku beberapa kali. Siswi itu adalah Hyuki yang berada di sebelah kiriku. Sepertinya dia sudah selesai sedari tadi.

"Berhenti memperhatikanku."

Diriku memang memandanginya, akan tetapi bagaimana caranya dia tahu? Cewek ini memang sama cueknya dengan Clarissa.

Ngomong-ngomong soal Clarissa, dia mendapatkan tempat duduk di pojok belakang. Tak kusangka cewek seperti dia berada di posisi itu.

"Waktu tersisa tiga menit lagi!" tegas Pak Saragi.

Aku masih ragu untuk mengisi kolom kemampuan. Aku memang tak mempunyai prestasi, lalu kemampuanku ini apa? Aku bukanlah tipe orang yang semudah itu untuk mengakui kelebihan diri sendiri. Namun, bagaimana jika lebih baik aku mengosongkan kolom ini? Kurasa tak akan ada masalah yang terjadi.

"WAKTU HABIS! Silahkan kumpulkan buku-buku kalian sesuai nomor absen," ujar Pak Saragi selagi aku memikirkan kolom ini.

Para murid mulai mengumpulkan buku-buku itu. Dimulai dari nomor absen pertama yang tempat duduknya ada di pojok kiri depan. Lalu disusul belakangnya yaitu nomor dua hingga nomor lima. Setelah itu, kembali ke depan, yaitu nomor enam. Jadi, sistem penempatan tempat duduk ini sangat mudah dimengerti.

Mudah saja urutannya,

01|06|11|16|

02|07|12|17|

03|08|13|18|

04|09|14|19|

05|10|15|20|

Dengan begini aku tahu, nomor absen Hyuki dan Clarissa adalah sebelas dan lima. Lalu nomor absen Riki.

Kuingat kembali tentang tempat duduk ku di aula tadi. Kucoba menoleh ke balakang.

"Halo Rafael ... gimana? Bisa, kan jawab soal-soal tadi," sapa Riki terlihat ceria.

"Ya lumayan," jawabku datar.

Sudah kuduga, nomor absen Riki adalah 17. Sekarang giliranku mengumpul Buku ini. Kuharap Pak Saragi tidak berkomentar apapun. Kuletakkan buku ini di mejanya dan tak ada respon apapun selain ucapan terima kasih.

Tak usah berlama-lama di meja itu, aku langsung menuju tempat duduk. Baru saja aku menempatkan diri di kursi. Gadis manis yang berada di sebelahku ini menatap dengan sinis. Seakan-akan curiga pada suatu hal yang baru saja kukerjakan.

"Kenapa dirimu mengosongkan kolom prestasi?" tanya Hyuki dengan nada datar namun terkesan curiga.

"Aku bukanlah orang yang sombong," jawabku dengan pandangan ke depan tanpa melihat ke arahnya.

"Jujurlah saja ... apakah kamu tidak mempunyai prestasi apapun?" tanya Hyuki kembali dengan nada yang sama.

Aku sudah memperkirakan ini, akan tetapi belum mendapatkan jawaban akan hal itu. Nampaknya Pak Saragi telah memasukkan buku-buku itu ke dalam kopernya. Dia berdiri dan ingin mengucapkan sesuatu, "baiklah Anak-anak silahkan acara bebas dan bapak harap kalian langsung ke Asrama masing-masing."

Pak Saragi langsung meninggalkan kelas, sedangkan Hyuki dengan tatapan curiganya masih saja menunggu jawaban dariku. Aku tak tau harus menjawab apa. Aku langsung mengambil tas dan segera. "Oh oke aku mau balik ke asrama."

Untuk kedua kalinya dalam hari ini, lengan bajuku ditarik oleh seorang gadis.

"Hei tunggu dulu ... kamu belum menjawab pertanyaanku!" ujar Hyuki sambil menarik lengan bajuku.

Satu per satu murid telah melewati kami begitu saja. Aku berbalik dan mencoba memperhatikan wajahnya.

"Ayolah! Jangan diam saja ... prestasi macam apa yang kau miliki?" tanya Hyuki masih menunjukkan tatapan tajam kepadaku.

"Aku tak mempunyai prestasi apapun," jawabku datar.

"Tak mungkin, kau pasti punya, bagaimana mungkin dirimu bisa dimasukkan ke kelas ini?" Terdengar nada suaranya perlahan mengecil.

"Hey ... kamu memerhatikan kolom itu kan? Di sana juga tertulis kemampuan," balasku masih dengan nada yang sama.

"Hmm ... yaa aku tau itu! Tapi kan ...," balas Hyuki.

Ada apa dengan gadis ini?

Astaga ... untung saja tidak ada yang memperhatikannya, kecuali Riki yang sedari tadi masih duduk di tempatnya dan Clarissa jauh di pojok belakang sana masih merapikan tasnya. Aku mulai melirik Clarissa agar dia terpancing oleh situasi ini.

"Jangan mengalihkan perhatianmu!" tegas Hyuki.

Kulihat Clarissa sudah selesai dan mulai bangun dari tempat duduknya. Bagus! Akhirnya dia mendekat. kuharap dia membelaku atau melakukan suatu hal.

Sesaat dirinya sudah dekat dengan kami. "Oh jadi gini yaa sikap anak sastra terhadap orang yang baru mereka kenal," sindir Clarissa tanpa salam dan sapa.

"Hah maksudmu?" tanya Hyuki menatap sinis Clarissa.

"Kukira anak sastra itu orangnya ramah dan baik, tapi ...," ledek Clarissa.

"Jangan seenaknya menilai ya!" tegas Hyuki.

Mulai terlihat ekspres saling jengkel di antara mereka berdua. Hal itu membuat jari jemari Hyuki lepas dari lengan bajuku tanpa ia sadari. Aku sendiri hanya bisa terdiam melihat ke arah mereka.

"Oh ya? Menilai? Aku hanya mengatakan fakta yang terjadi sekarang!" tegas Clarissa.

Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk meninggalkan tempat ini. Aku mulai berbalik badan dan segera melangkah.

"Hah fakta? Maaf saja aku sudah berusaha bersikap ramah kepadanya! dan tunggu dulu, kau mau kemana?!" ujar Hyuki.

Langkahku terhenti karena merasa dipanggil oleh dirinya. Aku hanya bisa menjawab, "aku?"

Clarissa mulai menatapku dengan tajam. Dia sepertinya mulai mencurigaiku.

"Iyalah! Siapa lagi? Kau belum menjawab pertanyaanku," sambung Hyuki.

Ayolah ....

Sudah kukatakan tadi, aku tidak mempunyai prestasi apapun. Akan tetapi, bagaimana dengan kemampuanku? Tak seharusnya aku menjelaskan itu sekarang.

"Oh nanya kemampuanku ya? Maaf saja, kalian akan menyesal jika mengetahui hal itu," jawabku terpaksa menggunakan kalimat seperti itu.

Aku mulai muak dengan sikap penasarannya itu. Meskipun dia cantik dan manis, tapi aku harus segera mengakhirinya sekarang. Tanpa pandang suasana lagi. Aku langsung meninggalkan mereka. Persetan dengan responnya. Sekarang, aku ingin beristirahat.

>===o===<

Author POV

"Rese banget tuh Rafael," geram Clarissa menatap ke arah pintu keluar.

"Kamu mengenalnya?" tanya Hyuki mulai melihat ke arah Clarissa.

"Tidak terlalu ...," jawab Clarissa mulai menatap Hyuki.

"Pernah satu sekolah dengannya?" tanya Hyuki.

"Gak lah! Aku saja baru bertemu dengannya tadi pagi," jawab Clarissa, lalu meninggalkan Hyuki begitu saja.

Hyuki merasa heran tentang Clarissa. Sikapnya yang muncul tiba-tiba dan judes, membuatnya berpikiran aneh-aneh. Hyuki mengambil tasnya dan segera pergi meninggalkan kelas.

Hingga pada akhirnya hanya tersisa Riki dan seorang gadis yang tempat duduknya berada di belakang pojok kanan kelas.

Riki sedikit tersenyum setelah semua yang terjadi di depannya. Hanya saja dia terpikirkan suatu hal. Selain itu, dia menyadari sesuatu. Banyaknya murid yang melewati mereka harusnya sudah menandakan bahwa tidak ada lagi yang tersisa di kelas. Namun, ada seorang gadis yang menahan posisi.

"Hey kamu yang di belakang! Iya kamu nomor absen terakhir!" panggil Riki.

Berkulit kuning langsat dan berambut coklat berkepang dua hingga sedada serta poni rata yang menutupi dahinya. Gadis itu sepertinya tidak menjawab panggilan dari Riki. Dia mencoba bangun dari tempat duduknya dan mengambil tasnya. Lalu berbalik badan dan mengatakan sesuatu ke gadis tersebut.

"Namamu Vika Vanissa, kan? Biar kutebak, Teman satu SMP-nya Rafael?"

Gadis itu hanya tertunduk dan sedikit mengangguk. Melihat respon Vika yang mendengar nama Rafael, sepertinya Riki mendapatkan sebuah petunjuk.

"Ayolah ... jangan termenung begitu ... apa yang kamu takutkan dari Rafael?" tanya Riki.

"Tidak ada ...," jawab Vika.

Riki sedikit tersenyum. Dia sebenarnya mengetahui kebenaran di balik latar belakang Rafael. Namun, dia ingin membuktikan hal tersebut.

"Sudahlah ... meskipun aku ini berbeda sekolah dengan kalian, aku ini tau kok Rafael itu orang yang seperti apa dulunya," ujar Riki.

Vika mengepalkan tangannya. Dia mengambil tasnya dan segera bangun dari tempat duduk. Dia mulai berjalan melewati Riki begitu saja.

Saat berpapasan, Riki mencoba mengatakan sesuatu tepat di telinganya, "apakah kamu salah satu korban dari ...."

Vika langsung berhenti melangkah dan menatap Riki bagaikan sedang melihat hal menyeramkan. "ENGGAK! ENGGAK! ENGGAK LAGI! AKU TAK INGIN MENGINGAT HAL ITU LAGI!" sergah Vika sembari mundur perlahan menjauh dari Riki.

Riki yang tadinya sedikit tersenyum, kini menampilkan raut wajah tidak puas.

"Oh okelah kalau begitu ... ehm, maaf ya soal tadi."

Tanpa membalas perkataan Riki. Vika langsung meninggalkannya begitu saja. Sementara itu, Riki hanya bisa terdiam dan masih saja penasaran.

Alasan mengapa seorang seperti Rafael harus menyembunyikan potensinya.

>===o===<

Cerita ini adalah Fiksi.

Semua Orang, Kelompok, Tempat, dan Nama yang muncul di Cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.