Ya Allah, kumohon berikan aku jodoh yang menyayangi-Mu melebihi aku.
Ya Allah, dimanapun ia berada, Hamba mohon lindungilah dia, bantu dia apabila sedang kesusahan.
Ya Allah, jika kami dipertemukan, Hamba mohon janganlah Engkau pisahkan kami lagi karena sosok yang meminta kepada-Mu ini hanyalah orang lemah biasa.
Aamiin ....
***
Dor Dor Dor Dor
"Allll!!! Buka pintunya!!!" teriak Dila.
Segera aku membuka pintu kamar dan menghadap Dila.
"Apa lagi sih?! Aku lagi tidur."
"Jam segini masih aja tidur! Dasar pengangguran yang gak tahu malu!" bentak Dila keras.
Tanpa mendengarkan bentakan yang sudah biasa Dila lontarkan kepadaku, aku langsung memintanya lanjut ke inti permasalahan.
"Ya, ya, ya. Terserah mau bilang apa. Jadi, apa maumu?" tanyaku datar.
Mendengar ucapaku, Dila jadi tercengang. Dia berkedip beberapa kali sambil menatapku dari atas dan bawah. Tak lupa juga ia tidak pernah menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Al, kamu sakit?" tanya Dila sembari memegang keningku.
"Isss! Gak lah! Apaan sih?! Bikin orang risih aja," ucapku sambil mengibaskan lengan Dila.
Setelah merasa semuanya baik-baik saja, Dila kembali ke tujuan awalnya. Seperti biasa, Dipa ini baik tapi juga jutek terhadaku. Meskipun begitu, dia juga pernah baik kepadaku.
"A-ah, iya. Bisa minta tolong untuk membelikan beberapa barang? Ini daftar belanjanya, sekalian pakai uangmu ya!" Dila memberikan secarik kertas dan pergi terburu-buru ke kamarnya.
Sialan.
Begitulah dia. Baik saat ada maunya, jahat saat apa yang sudah dia inginkan terjadi. Aku masih tidak mengerti kenapa dia bisa menjadi kakakku, bahkan aku tidak ingin sama sekali untuk mengerti hal tersebut.
Karena sudah mendapatkan wahyu untuk berbelanja, akupun ganti baju dan segera mengambil kunci motor yang ada di atas lemari sepatu. Saat aku menaiki motor yang biasa Dila pakai, aku memperhatikan terlebih dahulu sisa bensin yang ada di motornya. Sialnya, dia tidak pernah mengisi bensin motor ini semenjak aku mengisinya.
"Cewek sialan! Kakak kok meloroti adeknya sih!" gumamku kesal sambil mengeluarkan motor dari garasi rumah.
Merasa sudah lengkap, akupun pergi berbelanja.
***
Di tengah perjalanan, aku mengisi bensin motor Dila ke warung yang ada di pinggir jalan.
"Permisi, Bu. Beli bensinnya, satu liter."
"Iya, tunggu ya Dek," sahut penjual sembari mengatur alat pengisi bensinnya.
Aku hanya melirik kesana-kemari karena jarang keluar rumah. Kota ini dari waktu ke waktu ternyata sudah sedikit berubah. Apalagi untuk orang yang hanya keluar sebulan sekali seperti diriku ini, pastinya akan sangat terkejut melihat kondisi yang cukup berbeda sedikit saja dari sebelumnya.
"Orang baru di sini, Dek?" tanya penjual yang masih mengisikan bensinnya ke motor.
"Bukan, Buk. Kebetulan saya cuma merasa agak gimana gitu melihat kondisi tempat ini yang berubah-ubah."
"Eh? Bukannya perubahan ini sudah 1 tahun yang lalu?"
"Iya, Buk. Ini uangnya dan terima kasih."
Aku hanya bisa mengiyakan dan pergi begitu saja setelah bayar. Mungkin saja nanti Penjual tadi berpikir kalau aku adalah orang yang baru saja pulang ke kota ini. Padahal, kenyataannya aku ini sudah tidak pernah keluar rumah selama 2 tahun belakangan.
***
Selesai berbelanja, akupun segera menuju ke meja kasir dan membayar totalnya.
"Ini Mas, terima kasih dan sampai jumpa lagi."
"Ya," jawabku sambil mengambil belanjaan dan uang kembaliannya.
"Mas," panggil Mbak penjaga meja kasir itu.
"Ada apa, Mbak?"
"Apa kita pernah bertemu semasa SMP?"
Saat dia bilang begitu, aku langsung melihat 'tag name'-nya yang bertuliskan, Marsya Asyifa. Aku kenal dia, semenjak masa SMP, saat itu dia adalah mantan kekasihku. Sontak, aku langsung menolak ingatannya agar dia lupa tentangku.
"Ti-tidak, mungkin Mbak salah orang," jawabku sambil tersenyum dan segera berbalik pergi tanpa melihat kembali ekspresi Marsya.
sesampainya di tempat parkir, aku segera naik motor dan menyalakannya. Berbalik arah dan menuju ke rumah. Ya, rumah, satu-satunya tempaku untuk hidup dan mati.