Setelah berbelanja, aku segera kembali ke kamar dan langsung rebahan tanpa pikir panjang. Memasang headset di kedua telingku dan mulai menutup mata. Jujur saja, aku harap bisa terkena serangan jantung saat tertidur.
Aku mendengarkan lagu yang selalu melanturkan kesedihan, ketidakmauan untuk hidup dan sangat ingin pergi dari dunia ini sekarang juga. Semua lagu itu mewakili seluruh perasaan yang ada di dalam benakku selama ini. Kala mendengar semua lagu itu, kadang air mata selalu jatuh dari kedua mataku tanpa diketahui apa penyebabnya.
"Aku sudah menyerah. Jadi, kumohon ... kali ini saja, biarkan aku mati sekarang," rengekku lemah.
Aku ingin mati. Kabur dari semua rasa sakit ini. Hingga akhirnya, aku takkan pernah merasakan apa-apa lagi.
Aku tahu ini adalah tindakan dari seorang pengecut. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah cukup lelah menerima semua takdir ini. Bukan hanya itu, semua yang aku percaya indah pada waktunya, tak pernah datang kepadaku walaupun aku sudah berusaha semaksimal mungkin.
"Hei, bisakah kamu mengambil nyawaku? Kumohon."
Sayangnya takkan ada yang mengerti. Saat aku hancur, mereka hanya menyalahkanku, menyumpah-serapahi diriku yang telah rusak dan tak peduli lagi dengan apa yang aku rasakan. Semua manusia memang begitu, mereka egois dan hanya mementingkan dunia.
Ketika aku sudah merasa kehilangan semangat untuk hidup, dunia terasa bukan apa-apa lagi bagiku. Semuanya tidaklah berguna dan yang aku pikirkan hanyalah satu, yaitu kematian. Semakin hari terus berlanjut, aku terus meminta kematian itu datang lebih cepat kepadaku.
"Meskipun aku harus mati sebagai bujangan, tak apa selama rasa sakit ini hilang."
Aku terus memohon. Memohon untuk diperpendekkan umurku. Memohon agar aku bisa mati saja tanpa harus menyakiti diri sendiri agar dapat mati.
Kematian adalah hal yang menyakitkan. Aku sudah mencoba berbagai macam cara namun tubuhku selalu menolak untuk mati. Jika aku tidak diperbolehkan untuk mati, untuk apa aku ini terus hidup?
Semua ini membuaku ingin merefleksikan diriku kembali, mengenal siapa aku.
Namaku, Malik Azril, biasa dipanggil Al. Umurku saat ini 18 tahun dan aku adalah seorang pengangguran dan suka mengurung diri di dalam kamar. Agamaku tidak jelas karena aku sudah tak pernah lagi beribadah semenjak kepdehian ini menimpaku.
Aku hanyalah lulusan SMP karena berhenti sekolah saat SMA kelas dua. Aku dikenal sebagai murid yang cerdas, baik, periang dan rajin oleh semua orang. Namun mereka takkan pernah tahu, di balik senyum palsu ini terdapat raungan minta tolong yang jelas sekali meminta bantuan kepada mereka.
Keluargaku menjadi broken home, semenjak aku berhenti sekolah karena putus asa. Ayah dan ibuku selalu bertengkar karena aku yang berhenti sekolah. Hingga akhirnya, mereka memutuskan untuk berpisah.
Ayahku bernama Dion Syahputra, biasa dipanggil Dion. Berumur 41 tahun dan memiliki sifat keras kepala hingga egois yang tinggi. Dia adalah ayah yang galak, merupakan contoh yang sangat mengerikan dari seorang ayah yang baik.
Ayahku selalu marah-marah di rumah apabila ada masalah di luar. Dia selalu memarahi kami seakan semua yang dilakukan adalah salah. Padahal, dia sendiri yang selalu mencari-cari kesalahan untuk marah kepada kami sebagai pelampiasan.
Ibuku bernama Nina Kurnia, biasa dipanggil Nina. Berumur 44 tahun dan memiliki sifat yang pelit hingga uang tabunganku saja selalu dia pakai tanpa tahu malu. Berkat sifat ibuku, aku selalu belajar sifat ikhlas darinya.
Ibu selalu bertindak dengan perasaannya. Dimana ia rasa senang, maka ia akan bersikap lemah lembut. Namun saat ia merasa sedih, semua orang termasuk aku akan disalahkan atas apa yang telah terjadi.
Itulah kedua orangtuaku. Mereka terkadang bisa saja berkata sesuatu yang tanpa sadar bisa melukai perasaan orang lain hingga anaknya sendiri. Namun sebagai anak, tidak sepantasnya aku protes meskipun merasakan hal yang seharusnya tidak dirasa oleh anak seusiaku atas perbuatan orangtuanya.
Perlahan kesadaranku mulai buram dan akhirnya, aku kembali tertidur sambil berharap kematian itu datang secepatnya.