Chapter 9 - Ramli Wijaya

Ia membeli tanah itu bukan tanpa alasan, Dheani sangat menyukainya. Karena mereka dulu, Dheani, Rizki, Dani selalu bermain disana. Dan ketika pulang sekolah, sesudah praktikum biologi, Dani menanam kemangi di tanah itu. Dan mereka merawatnya, sebelum kejadian itu. mereka selalu berkumpul disana bahkan sampai mereka lulus, menanggalkan seragam abu-abu putih nya. Rizki kuliah sambil membuka bengkel, Dani Kuliah di Palembang sedangkan Dheani kursus menjahit dan memberikan les pada anak panti asuhan. Saat libur, mereka menyempatkan diri bercanda tawa sambil menengok pohon kemangi yang tumbuh semakin subur disana karena Dheani selalu merawatnya penuh cinta.

Kondisi kejiwaan Dheani sudah banyak mengalami kemajuan. Ia sudah jarang histeris dan melamun dengan tatapan kosong. Ia bahkan kini menjadi pribadi yang hangat. Selain membawanya berkonsultasi dengan Psikiater, Rizki juga membawanya pada seorang ustadz untuk diruqyah. dengan ruqyah rutin pada ustadz, dan juga ia ruqyah mandiri di rumah, juga meruqyah lingkungan rumah nya. selain itu Dheani juga menjadi lebih taat beribadah sekarang.

"Dhe, apa kamu tidak ingin ke Bahrul Ulum?" Rizki mencoba mengawali pembicaraan mereka setelah keheningan yang beberapa saat tersaji saat mereka bangun siang itu.

"Minggu depan saja kita kesana Ki" Jawabnya dengan memutar badan mengahadap Rizki. hingga mereka seekarang ada dalam posisi miring saling berhadapan.

"Ya sudah, tapi benar ya janji kamu mau ke sana minggu depan" Rama menanggapi sambil mengusap lembut kepala Dheani yang tak tertutup hijab.

"Iya aku janji, aku mau buat kue dulu dan menjahit baju untuk dibawa besok" Dheani antusias.

"Benarkah" Rizki.

"Ya, benar. Aku akan meminta maaf" Baiklah.

"Dhe... boleh aku minta sesuatu?" Rizki..

"Apa?" Dheani

"Jangan lagi menyalahkan dirimu, berdamailah denga hatimu, ikhlaskan semuanya" Rizki berucap sambil mendekap kepala Dheani direbahkan di dada nya.

"Ya Ki, aku sudah mencoba melakukan itu semua. Tapi masih tak bisa hilang dari perasaanku" Sambil mendesar, menarik nafas panjang Dheani menjawab. seperti melepaskan beban yang berat di dada nya.

"Ya, perlahan Dhe... semua tak bisa langsung hilang, tapi jika kita bisa mengikhlaskan semuanya dan kita berserah pada Alloh semua pasti akan terasa ringan" Rizki menanggapi sambil sesekali mengecup puncak kepala Dheani dan menghirup aroma mawar rambutnya.

"Ya Ki, terimakasih sudah ada di sampingku dan tak pernah lelah" Dheani.

"Jangan berterimakasih lagi Dhe, aku tulus mencintai dan menyayangimu. Tak ada kebahagiaan terbesar dalam hidupku selain melihatmu bahagia dan tersenyum" Rizki membelai lembut wajah Dheani dan mencium keningnya penuh perasaan.

Dheani pun mendongakkan wajah nya agar bisa menatap rizki dan kemudian mengecup bibir Rizki, perlahan mereka pun terhanyut dalam perasaan penuh kebahagiaan.

***

Surabaya, Gedung Tunas Karya Abadi Lantai 28.

Azrian yang sedang sibuk melihat beberapa berkas yang telah ia tandatangani, berkas kesepakatan kerjasama dengan PT. Jaya Karya dibawah pimpinan seorang wanita cantik Alkea Dara Yuda. Sesekali ia terlihat menghela nafas panjang, menghirup dalam dan membuangnya dengan berat. Seperti sedang membuang beban yang sangat menyesakkan dada. Beberapa kali ia duduk menyandarkan kepala dan menengadah kemudian memijit pelipisnya dengan tangan kanan, bahkan ia mengacak rambutnya hingga tak beraturan.

"Tuhan, apa aku harus selama nya seperti ini. Aku lelah. sampai kapan Engkau menghukumku. Memang dosaku terlalu banyak di hadapan Mu, tapi bukankah Engkau Maha Pengampun. Aku mohon ya Tuhan, berikan aku ketenangan hati. Aku sudah tak kuat menahan beban ini sendiri, Jika memang ini yang terbaik. Aku mohon bunuh saja semua rasa di hati ini. Agar aku hidup tanpa rasa. Aku sudah lelah" Kata hati Azrian menumpahkan segala gundah nya. Matanya memandang kosong ke langit-langit bermotif awan di ruang kerja pribadinya. Setitik air mata menggantung di pelupuk, dengan mata merah menahan segala rasa sakit yang ia pendam sendiri. Tak lama, Sandi masuk dengan setumpuk berkas manghampiri Azrian, bosnya.

"Suntuk banget kayaknya Bos, udah bos kalo emang uda nyerah bilang aja sama bos besar, masak gak paham juga bos besar. Pasti paham lah, apa perlu aku yang ngomong sama bos besar?" Sandi, sang asisten multiple jabatan sengaja malah menggoda Azrian, sambil menaik turunkan alis kanan nya dan senyum yang dibuat-buat.

"Resek kamu San, jangan sekali-sekali kamu ngomong papi. Bisa malah runyam. Awas kalo sampe papi tau berarti kamu San, jangan panggil nama ku lagi kalo sampe kamu masih bisa hirup udara segar besok," Sambil membulatkan matanya seperti hendak lepas dari kelopaknya Azrian menanggapi candaan Sandi dengan ucapan nada tinggi penuh ancaman.

Sandi pun langsung mengkerut bergidik ngeri dengan tanggapan bos nya.

"Ya elah bos... serius amat, jangan serius-serius napa entar malah pusing loh. Galau tingkat dewa," Sandi menjawab sambil mencebikkan bibirnya.

"Eh, bos kayaknya si bos cantik yang kemarin itu berharap banyak loh sama bos. Kayaknya berharap banget loh, salah arti kayaknya bos diakrapin gitu, enggak tau aja dia kalo emang bos kan bisa akrab sama siapa aja," Sandi menyampaikan pendapatnya pada Azrian tentang Kia, bos cantik yang sedang menjalin kerjasama dengannya.

Azrian tak pernah bersikap dingin pada siapapun, termasuk pada partner kerja wanita nya. Hanya saja ia memang tak pernah punya hubungan lebih kepada mereka, selain sekedar hubungan kerja. Seorang yang tak mengenal Azrian pasti akan salah mengartikan.

"Bos, bos gak bosen apa tiap hari ngelamun, pura-pura santai, tapi dalam hati bos menangis tiap hari?" Sandi melempar tanya yang dramatis pada Azrian.

"Sudah lah San, biar aku seperti ini. Mungkin dengan aku seperti ini papi senang dengan segala keputusan dan kekuasaannya. Aku tak mau menyakiti hati siapapun." Azrian menerawang semua yang telah ia lewati. Seperti memutar klise film satu persatu di layar lebar. semua masih tergambar jelas diingatannya. Dia sebenarnya tak ingin hidup tanpa rasa, tapi hatinya telah beku. Rasanya telah menguap entah kemana. Ia sudah lelah menghadapi keputusan keluarganya. Ia hanya bisa bersikap sebaik mungkin tanpa menyakiti siapapun. Biarlah ia sendiri yang menjalani hidup seperti ini.

"Bos besar sering tanya sama saya loh bos," Sandi membuka obrolan dengan Azrian tentang ayahnya.

"Tanya apa San? awas kamu ngomong macem-macem, kalo papi tanya apa-apa jawab aja gak tau," Sambil memutar kepala menghadap pada Sandi Azrian menanggapi kalimat yang sengaja dilemparkan asistennya itu.

"Beres bos, tenang aja. Saya gak pernah cerita apa-apa bos, tapi hati-hati loh bos, Bos besar sepertinya pasang mata-mata buat bos," Sandi menyampaikan informasi yang ia dapat dari bodyguard perempuan, yang tergabung dalam team Rusa yang merupakam kepercayaan Ramli Wijaya. Nancy, Si ajudan perempuan ke dua selain Cathrin, yang merupakan ajudan dari Amelia Wijaya maminya Azrian. Nancy memiliki perasaan istimewa pada Sandi, asisten Bos kecilnya. Alasan ini sering dimanfaatkan oleh Sandi, si asisten multiple jabatan dengan wajah lumayan tampan ala-ala artis Bollywood ini sering meminta informasi pada Nancy. Awalnya ia hanya sekedar memanfaatkannya saja, tapi lama kelamaan si Jones pun terperangkap dalam pesona Nancy. Hingga akhirnya diam-diam mereka menjalin hubungan di belakang bosnya.

***

"Nan, gimana infonya yang valid? apa benar Bos besar lagi serius mata-matain Bozque?" Sandi yang diam-diam mememuai Nancy di lapangan tugas dadakan memberondong dengan pertanyaan menyelidik seputar bos besarnya, Ramli Wijaya.

Ramli Wijaya adalah ayah dari Azrian Wijaya, Seorang pengusaha properti yang namanya sudah sangat dikenal di negeri ini. Bukan hanya itu, ia terkenal bertangan dingin, tak kenal belas kasih dan toleransi. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan putranya, Azrian Wijaya yang terkenal sopan, humble dengan siapapun. Sungguh tak dapat dipungkiri kalau saat ini perusahaan yang dipegangnya menjadi maju pesat. Namun satu yang menjadi pertanyaan banyak kalangan pengusaha, mengapa Azrian masih sendiri dan selalu menolak perjodohan dengan anak dari relasi ayah nya.