Chereads / JURAGAN ARJUNA / Chapter 24 - Bab 24

Chapter 24 - Bab 24

"Kamu mau bicara sama Simbah, Jun? Apa kamu mau bilang kepada Simbah kalau kamu telah jatuh hati kepadaku? Lantas, setelah kamu mengatakannya, apa yang ingin kamu peroleh atas itu? Restu, iya? Apa kamu yakin akan mendapatkannya?" Manis tampak tersenyum sinis menjawabi ucapanku. Dan sungguh, aku sama sekali ndhak menyangka jika jawaban Manis atas ucapanku akan seperti itu. Aku pikir, dia akan setuju dengan apa yang hendak kulakukan ini. Jujur kepada simbahnya, sebelum semuanya terlambat. Sebelum dia benar-benar dipinang oleh Kamitua Minto. Namun nyatanya, apa yang kuharapkan salah, apa yang kukira keliru. Manis malah seolah ndhak ada niat sama sekali untuk sekadar jujur kepada simbahnya tentang perkara ini. Tentang hubungan kami. Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?

Jadi, Manis ini sebenarnya mau memperjuangkan cinta ini apa endhak, toh? Aku benar-benar ndhak paham. Dia jelas mencintaiku, ndhak mencintai Minto. Tapi kenapa dia berperilaku seperti itu? Apa dia pikir, aku bahagia menjalani cinta yang seperti ini? Endhak, endhak sama sekali. Aku bahkan seperti simpanan dari seseorang, yang melakukan hubungan terlarang secara diam-diam.

"Lalu, apa yang kamu harapkan dari hubungan ini? Berlalu begitu saja seperti embusan angin yang telah kamu nikmati oksigennya, lalu karbodioksidanya kamu embuskan begitu saja? Jadi, apa arti hubungan kita selama ini, Manis?" frustasiku kepada sikap Manis yang benar-benar membuatku kecewa, sikapnya yang benar-benar membuatku jengkel.

Manis diam, dia ndhak menjawab ucapanku. Tapi, bahasa tubuhnya benar-benar membuatku naik darah. Lihatlah bagaimana dia seolah malas dengan percakapanku kali ini. Seolah, hanya aku di sini yang serius, sedangkan dia endhak sama sekali. Seolah di sini hanya aku yang bersemangat, dia endhak sama sekali!

"Jangan pura-pura ndhak peduli saat ada satu hati yang tetap tinggal di sini. Sebab menunggu, bukan pekerjaan yang kugemari," sindirku. Entah kenapa, dadaku terasa sesak. Bahkan sesaknya seolah telah menjalar ke seluruh paru-paru, dan jantungku. Gusti, apakah ini yang namanya patah hati?

"Jangan menunggu untuk sesuatu yang ndhak tentu. Sebab kurasa hubungan ini sedari awal hanyalah semu."

Aku tersenyum getir tatkala Manis mengatakan hal itu. Sepertinya di sini hanya aku toh yang berharap lebih. Sementara dia, ndhak sama sekali. Apa karena dia telah ada Minto, lantas dia mengatakan itu dengan mudahnya? Atau malah, dia kadung sakit hati denganku, itu sebabnya ia mengatakan hal seperti itu. Bahkan dapat kulihat dengan jelas, mimik wajahnya yang tampak tenang itu. Mimik wajah tanpa kesedihan sedikit pun di sana. Apa di dalam hatinya, sedikit... meski sedikit saja, ndhak ada kata sedih? Ndhak ada kata terluka karena hubungan kita dia inginkan cukup sampai sebatas ini saja?

Aku diam, membiarkannya pergi. Apa pun, apa pun itu yang terjadi padanya dan Minto hari ini aku ndhak peduli. Toh faktanya, aku sudah melarang. Jika dia ingin pergi dengan kehendaknya, silakan saja. Dan, jika mungkin nanti terjadi sesuatu padanya, aku pun sudah ndhak mau tahu.

*****

Pagi ini aku sudah duduk manis di dalam rumah Manis. Sementara di meja sudah dihidangkan singkong rebus beserta teh hangat, ndhak lupa juga si tuan rumah yang sedari tadi diam membisu memandangiku tanpa henti. Iya, siapa lagi kalau bukan Simbah Manis. Yang tampak diam, mengawasiku seperti mata-mata. Suasana benar-benar seperti canggung, bahkan jangkrik atau burung pun ndhak ada yang terdengar. Seolah ndhak ingin mengusik, suasana hening yang kian membuat bulu begidik.

Meski dia terlihat ramah seperti biasanya, tapi sorot mata itu masih saja sama. Sorot mata ndhak suka. Mungkin, apa yang dikatakan Manis adalah benar adanya. Jika sebenarnya simbahnya ndhak menyukaiku. Perlakuan hangatnya terhadapku hanyalah basa-basi semata. Benar kata orangtua dulu, tutur kata bisa saja berdusta. Tapi mata, adalah cermin dari jiwa yang sangat nyata. Kutata lagi dudukku, sambil mencoba memasang senyum semanis mungkin kepada Simbah Manis. Kurahap, Simbah Manis bisa sedikit ramah, dari saat ini.

"Kalau ndhak ingin bertemu Manis, lantas hal apa yang membuatmu bertandang ke mari, Juragan? Hal apa yang hendak kamu sampaikan kepada perempuan renta ini? Tumben benar," kata Simbah Manis pada akhirnya.

Kutundukkan wajahku untuk sekadar berpikir. Kira-kira, perkataan seperti apa yang kiranya bisa membuat Simbah Manis mengerti. Atau bahkan, kalimat apa yang pantas dan membuat Simbah Manis merestui hubungan ini. Rasanya, otakku mendadak kosong, otakku mendadak buntu untuk sekadar berucap. Bahkan, suaraku mendadak hilang di tenggorokan. Gusti, rupanya ingin meminta resti rasanya seberat ini, toh. Aku baru tahu.

"Sebenarnya aku ke sini untuk mengatakan suatu perkara yang sangat penting, Mbah. Ini tentang Manis juga tentangku...," kataku hati-hati.

Aku bisa melihat dengan jelas, bagaimana mimik wajah tegang perempuan yang wajahnya sudah keriput semua itu tampak nyata. Namun, lagi-lagi dia sungguh pandai untuk menutupinya. Sambil kembali nginang, Simbah Manis tampak terbahak. Kemudian mata kecilnya itu memandangku dengan sangat jelas.

"Simbah, sebenarnya—"

"Arjuna!"

Aku, dan Simbah Manis langsung menoleh. Tatkala Manis pulang ke rumah. Bahkan, dia langsung melepas begitu saja barang belanjaannya dan mendekatiku dengan langkah cepat-cepat. Mimik wajahnya, sangat gugup, dan takut. Seolah-olah semua ketakutan berkumpul menjadi satu padanya. Kenapa dia ini? Seperti orang kesetanan. Seolah, apa yang kulakukan sekarang adalah salah besar. Seolah jika aku mengatakan apa pun barang sedikit saja, akan menjadi kiamat bagi dunia.

"Apa... apa yang kamu lakukan di sini, toh? Untuk apa kamu ke sini, Arjuna!" katanya kepadaku yang lebih seperti bentakan. Nadanya keras, dan tajam. Tampak jelas jika dia ndhak suka. Tampak jelas jika dia sedang murka.

"Aku hanya ingin mengatakan kepada simbahmu, tentang kebenaran ini. Bukankah aku—"

PLAK!!!

Aku terdiam tatkala Manis menampar pipiku. Kulihat matanya yang memerah seperti menahan emosinya yang hendak membuncah. Aku diam, mencoba paham. Dia mungkin takut simbahnya. Itu sebabnya dia ndhak ingin jika hubungan kami terbongkar. Dadaku yang mendadak nyeri, membuatku tersenyum getir. Sungguh, prahara macam apa ini? Seolah aku telah melakukan dosa yang ndhak akan pernah termaafkan.

"Simbah aku ingin bicara jujur kepadamu,"

"Arjuna," peringat Manis kepadaku dengan mata nanarnya.

"Aku dan Manis memiliki hubungan," kubilang. Pada akhirnya, kalimat itu lolos dari mulutku. Sebuah kalimat yang sedari dulu ingin kusampaikan kepada Simbah Manis secara jantan. Tapi, kalimat itu juga yang seolah enggan untuk Manis katakan.

Manis hanya bisa memandangku, mulutnya menganga lebar seolah dia sangat terkejut dengan apa yang barus saja kusampaikan. Apakah pengakuanku semengerikan itu baginya, toh?

"Hubungan apa, toh, Juragan? Aku ndhak paham," kata Simbah Manis. Entah dia ndhak tahu, atau pura-pura ndhak tahu tentang percakapnku ini, atau dia sengaja untuk memancingku berbicara lebih banyak tentang hubunganku dengan Manis. Aku ndhak mengerti.

Kutelan ludahku yang mendadak mengering. Dadaku tiba-tiba berdetak dengan cara yang sangat lancang. Kedua tanganku panas dingin. Kukepal tangaku kuat-kuat, kuhirup oksigen dalam-dalam agar paru-paruku ndhak terasa sesak lagi. Menocoba mengambil tempat yang pas.

"Aku berencana meminang Manis untuk jadi istriku," kubilang, sesaat suasana mendadak hening. Bahkan Simbah Manis menatapku dengan mata yang membulat. Mungkin dia terkejut, aku ndhak kaget jika itu terjadi.

"Apa?"

"Aku dan Manis saling mencintai, Mbah."

PLAK!!!

Lagi, sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kali ini, tamparan itu berasal dari Simbah Manis. Manis terdengar memekik, dia langsung menutup mulutnya bersamaan dengan air matanya yang tumpah. Sepertinya, dia ndhak rela kalau aku telah ditampar oleh simbahnya. Tapi, dia ndhak bisa berbuat apa-apa. Mungkin tadi, aku pernah berpikir jika situasi ini barangkali akan terjadi. Bagaimana endhak, toh. Posisinya sekarang Manis telah menjadi calon istri dari seseorang, sementara aku dengan lancang tiba-tiba datang bertandang. Menyampaikan warta yang sangat mengejutkan. Warta tentang hubungan terlarang yang pasti sangat ndhak disukai oleh orang-orang.

"Kamu bilang apa, Juragan? Kamu, dan Manis saling mencintai?" katanya mengulang pertanyaanku. Bagian atas ujung bibirnya berkedut, matanya memicing memandangku dengan tajam.

Aku mengangguk mantab, menjawabi ucapan Simbah Manis. Aku ini laki-laki, pantang bagiku mundur sebelum aku selesai bertempur.

"Berkaca diri dulu, kamu. Apa di rumah, kamu ndhak ada kaca?" katanya. Kutarik sebelah alisku, Manis tampak menggelengkan kepalanya. Seolah memberi isyarat, untukku cepat-cepat pergi dari rumahnya. Wajahnya tampak sudah pucat pasi, dan juga lemas. Dia memandangku dengan mata nanarnya itu. Tapi, aku ndhak sepengecut itu, aku ingin Manis tahu, jika aku pejuang. Aku bukan pecundang. "Kamu ini siapa mau sama cucuku? Kamu itu anak haram, hasil dari perselingkuhan Romomu, dan Biungmu ndhak tahu diri itu," katanya. Cukup jelas, cukup lantang sampai membuat rahangku mengeras karenanya. "Kamu itu lho anak haram, yang hadir sebelum ada hubungan pernikahan. Pantang bagiku untuk menikahkan cucuku dengan anak haram. Sebab aku ndhak mau, cucuku menerima karma selama tujuh turunan. Kurasa, orang berpendidikan sepertimu cukup paham dengan apa yang aku katakan, toh?" lanjut Simbah Manis lagi.

"Tapi aku ndhak peduli, Mbah. Yang menjalani aku, dan Manis bukan Simbah. Pantang bagi Simbah untuk ikut campur urusan hati kami," kataku yang ndhak mau kalah.

Jadi, rupanya seperti itu. Anak haram adalah hal yang terus diungkit seolah-olah aku ini adalah kotor, seolah aku ini adalah manusia paling menjijikkan di atas bumi. Ya, benar. Aku baru ingat di mana aku ini tinggal. Di Kampung, yang mana semua pola pikir penduduknya sudah sedemikian rupa, meyakini sesuatu, dan menolak mentah-mentah kenyataan lainnya. Menjadi anak haram adalah sebuah aib besar bagi mereka, menjadi anak haram adalah hal yang sangat terlarang. Atau malah mungkin, anak haram adalah kutukan yang harus, dan wajib disingkirkan.

"Ndhak usah percaya diri kamu, apa kamu pikir cucuku akan sudi dipersunting olehmu?" kata Simbah Manis yang jelas terdengar seolah mengejek. Dia berjalan menjauhiku, kemudian memunggungiku. Mengabaikan keberadaanku, dan menganggap mungkin aku ini bukan tamu di rumahnya.

Ndhak terasa kedua tanganku mengepal dengan kuat, kupandang Manis yang tampak diam membisu. Kurasa, satu-satunya yang bisa kugantungkan semua asaku adalah dia. Dan kuharap, dia akan mengakui perasaannya. Meski aku ragu akan hal itu.

"Ndhuk, jelaskan kepada Simbah, apa kamu jatuh hati dengan pemuda kotor ini?" tanya Simbah Manis. Kepercayaan diriku yang tinggi tatkala bertandang ke mari pun tiba-tiba menciut. Meski ada harap, tapi melihat Manis seperti ini benar-benar sebuah hal yang mustahil.

Manis menundukkan wajahnya, tanpa melihat ke arahku pun dia menjawab. "Ndhak, Mbah. Aku ndhak pernah sekalipun jatuh hati kepadanya."

Aku terpaku mendengar jawaban Manis yang mengejutkan itu. Bahkan rasanya hatiku beribu-ribu kali lebih sakit dari kenyataan apa pun di dunia ini. Manis, ndhak mau berjuang denganku. Manis melepaskan genggaman tangaku. Kupandang tanganku yang terasa sangat kosong, dan hampa. Rasanya, semuanya terlepas dengan cara percuma. Tangan ini kini ndhak ada yang menggenggam lagi, tangan ini kini hanya mendapat luka, dari apa yang hendak dijaga dengan sepenuh jiwa.

Aku tersenyum getir mendengar ucapan Manis yang sungguh sangat pahit itu. Benarkah itu Manis? Manisku? Benarkah dia mengatakan hal itu dengan amat sadar? Benarkah dia ndhak mencintaiku? Lantas, apa yang kami lakukan sejauh ini ndhak berarti apa pun padanya? Gusti, sadarkan aku dari perkara jatuh hati yang sangat menyakitkan ini. Sadarkan aku dari mimpi yang mengerikan ini. Jika endhak, maka hanya aku sendiri yang akan jatuh, dan mati. Tanpa ada sosok yang kuharap bisa menanti, bahkan menolongku untuk hidup kembali.

"Kamu dengar sendiri, toh, jikalau cucuku ndhak ada perasaan apa pun kepadamu? Jadi, sadar dirilah dan pulang sebelum aku lebih jauh mempermalukanmu. Aku—"

Ndhak, aku ndhak bisa seperti ini. Manis pasti dalam pengaruh, Manis begitu mungkin karena simbahnya! Aku harus menekan Manis, aku harus membuat Manis lebih percaya padaku. Sampai kapan pun, aku ndhak percaya jika Manis akan tega seperti ini! Ini benar-benar bukan seperti Manis yang kukenal selama ini!

"Manis, jujurlah... jujurlah pada simbahmu. Jujurlah kalau kamu mencintaiku, tolong. Aku telah melakukan sampai sejauh ini, aku telah berjuang sampai sejauh ini, Manis. Kumohon...." pintaku kepadanya. Berusaha menggenggam tangannya tapi dilepas begitu saja.

"Kamu ini bicara apa, toh, Juragan? Kamu sendiri tahu kalau aku telah memiliki calon suami yaitu Kangmas Minto. Lantas, kenapa kamu masih berkata hal yang ndhak ada gunanya ini. Lagi pula, aku merasa ndhak ada hubungan apa-apa denganmu."

Gusti... apa ini? Benarkah ini Manis? Kenapa dia bisa setega ini kepadaku?

"Lantas apa yang kita lakukan apa ndhak berarti apa-apa buatmu, Manis? Kita, telah melakukan hubungan yang lebih dari sekadar kawan, kamu tahu itu!" bentakku.

"Arjuna!" bentak Simbah Manis.

Tapi, aku sudah ndhak peduli. Yang kupedulikan saat ini adalah Manis yang sedang menangis tersedu. Dia memalingkan wajahnya dariku. Sungguh, ini benar-benar perkara yang pilu.

"Sadar diri kamu itu siapa! Bukan karena kamu seorang Juragan yang kaya raya lantas kamu bisa bertingkah seenaknya! Bukan karena kamu berpendidikan lantas kamu bertingkah sok pintar! Kamu, hanya anak haram yang dilahirkan dari hubungan kotor. Kamu ndhak ubahnya seperti pemuda menjijikkan di mataku. Paham itu! Sekarang, pergi dari sini sebelum kupanggil warga kampung untuk memukulimu karena setelah merebut istri orang, sekarang kamu mencoba menggoda calon istri orang. Paham kamu! Ndhak kusangka, ternyata buah jatuh ndhak jauh dari pohonnya itu ternyata benar adanya."

Aku tersenyum getir mendengar bentakan dari Simbah Manis. Bahkan, air mataku pun begitu lancang keluar tanpa permisi. Aku benar-benar seperti seorang lelaki yang ndhak tahu diri. Aku seperti seorang laki-laki kotor, yang ndhak pantas dipandang sebagai manusia, atau bahkan yang ndhak pantas hidup di dunia ini.

"Setelah aku keluar dari sini, maka kamu benar-benar bukan siapa-siapaku lagi," kubilang. Manis memandangku dengan mata yang penuh dengan air matanya itu. "Cinta itu diperjuangkan berdua. Tapi kalau hanya sepihak saja, itu ndhak ada gunanya," air mataku kembali menetes namun aku tetap mencoba tersenyum kepada Manis. "Terimakasih atas kenangan indah yang selama ini kamu berikan. Ndhak akan pernah kulupakan seumur hidup."

"Arjuna... Arjuna...," kata Manis terbata.

"Simbah, aku pamit. Kamu memang benar. Aku hanyalah pemuda kotor dan sangat menjijikan, lahir dari hubungan terlarang, aku adalah anak haram. Namun seperti itu, Mbah, sesungguhnya terlalu amat picik pikiran seseorang yang hanya memandang bagaimana anak itu lahir. Sebab, dalam keyakinan apa pun, Gusti Pangeran menciptakan semua bayi itu terlahir suci. Dia ndhak berdosa, dia ndhak salah apa-apa. Yang salah adalah, pikiran-pikiran picik seseorang yang mengatas namakan orang lain rendah. Padahal, dirinyalah yang lebih rendah."

Kuulurkan tangaku hendak mencium tangan Simbah Manis. Tapi, tanganku ditepis dengan begitu kasar. Setelah memastikan jika mentalku cukup kuat untuk menghadapi semua ini, aku pun melangkah keluar. Bisa kulihat dari ujung mataku. Manis berjalan mengekori langkahku. Untuk kemudian, berhenti di bibir pintu sambil menumpahkan semua air matanya.

Percuma....

Ya, bagiku semuanya percuma. Untuk apa menangis di saat aku berjuang dia malah mengabaikan. Untuk apa bersedih di saat aku gigih dia malah menjauh. Bagiku, semua yang dilakukan Manis adalah percuma. Dan kurasa, yang lebih percuma dari semuanya adalah aku. Terlalu menggunakan hati, meski tahu akhirnya akan tersakiti. Terlalu berharap kepada orang yang ndhak pernah mengganggapku ada. Terlalu menggantungkan asa, pada orang yang bahkan ndhak mau berjuang bersama. Ya, aku ternyata sekasihan itu.

Aku buru-buru pulang ke rumah sebab hatiku benar-benar belum bisa ditata. Hatiku benar-benar belum bisa menerima semuanya.

Saat aku berada di rumah, orang pertama yang melihatku adalah Biung. Wajah Biung yang awalnya sumringah melihatku pun, tampak panik. Setelah ia berdiri di hadapanku, Biung pun membingkai wajahku. Seolah-olah dia melihat suatu hal yang sangat menyakitkan. Atau bahkan, dia melihat mataku yang sebab karena menangis.

"Arjuna, kamu kenapa, toh, Le?" tanyanya, membingkai wajahku dengan kedua tangan hangatnya. Matanya sendu, dan begitu hangat. Tatapan yang selalu membuatku tenang, tatapan yang membuatku merasa ndhak pernah akan ditinggalkan. Aku sama sekali ndhak pernah sekalipun menyalahkan Biung tentang takdirku sebagai anak haram. Sebab sejatinya, cinta memiliki jalan tersendiri untuk bisa bahagia, dan bersama. Semua itu tinggal kita, mau memilih jalan lurus, atau berkelok. Atau malah terjun ke jurang bersama-sama. Namun bagiku terlepas dari apa pun itu, yang terpenting adalah, keduanya bersedia bersama. Keduanya mau berjuang bersama. Sebab sepahit apa pun itu, seperih apa pun itu, jika dilalui bersama maka semuanya akan terasa manis mengalahkan gula.

Aku langsung memeluk Biung. Air mataku tumpah ruah dalam dekapannya. Untung saja ndhak ada siapa-siapa di rumah. Untung saja suasananya sepi.

"Kamu kenapa, Juna? Jelaskan kepada Biung, siapa yang telah membuatmu sampai seperti ini?" tanya Biung lagi. Sepertinya, Biung tampak panik dengan apa yang kualami sekarang.

"Biung ternyata aku baru tahu, jika patah hati rasanya sesakit ini."

*****

"Arjuna, kamu ndhak sarapan?" tanya Romo Nathan. Setelah masuk ke kamarku kemudian duduk di dipanku.

Aku yakin, Romo telah mengetahui kejadian kemarin dari Biung. Itu sebabnya dia bertandang ke kamarku. Bukan karena Romo ndhak pernah datang ke sini. Akan tetapi, melihatnya tampak basa-basi itulah yang ndhak biasa.

Aku mengambil posisi duduk, masih di dipanku kemudian aku tersenyum menanggapi ucapannya. Bercakap berdua dengan Romo untuk membahas masalah hati seperti ini, benar-benar membuat sungkan sekali. Sebab jujur, meski aku, dan Romo dekat. Tapi aku jarang menceritakan hal-hal yang sentimentil seperti ini. Selain hanya lontaran gurauan, atau tatkala sedang menggoda Romo, dan Biung saja.

"Nanti, kalau lapar aku akan makan, Romo," jawabku. "Aku belum lapar."

"Kebanyakan makan hati, ya?" tebak Romo yang berhasil membuatku melotot. Tapi, dia malah tersenyum. "Romo ndhak akan melarangmu untuk sekadar merenung beberapa hari. Tapi jangan larut, kamu itu laki-laki. Pantang bagi seorang lelaki bertindak berlebihan hanya karena patah hati. Apa kamu paham?"

Aku tersenyum lagi mendengar ucapan Romo Nathan. Dia itu, tipikal Romo yang ndhak pernah mau mencampuri urusan anak-anaknya. Dalam arti, dia akan memberikan masukan. Tanpa banyak bertanya alasan anak-anaknya sedih. Sebab kurasa, apa yang Romo lakukan adalah benar. Sebab, yang dibutuhkan oleh seseorang yang sedang dirundung duka adalah, bukan bertanya sebab dukanya. Melainkan, memberi semangat untuk bisa bangkit dari keterpurukannya.

"Pasti, Romo," jawabku mantab. Yang berhasil membuat Romo tersenyum. Jenis senyuman seolah jika dia percaya, kalau aku akan baik-baik saja. Ya, romoku selalu seperti itu. Itulah sebabnya aku selalu mengidolannya, apa pun yang telah terjadi.

"Besok temani Romo ke Berjo, ada beberapa perkebunan yang rusak total. Seperti halnya dengan kondisi kebun teh beberapa waktu lalu. Romo rasa pelakunya sama. Apa pelakunya suami dari perempuan ndhak tahu diri itu?" tanya Romo. Dia tampak menghela napas beratnya, kemudian bersedekap. Mencoba memikirkan sesuatu yang aku ndhak tahu jelasnya apa.

"Muri?" tebakku. Romo mengangguk. "Ndhak mungkin, Romo, aku bisa jamin jika bukan Muri pelakunya. Tapi, orang lain," kujawab. Muri ndhak salah apa pun dalam masalah ini. Dan itulah yang membuatku ingin melindunginya dari dugaan siapa pun, dari prasangka buruk siapa pun.

Romo kembali mengangguk.

"Kurasa kamu lebih tahu toh siapa dalang di balik semua ini. Mematahkan tangannya ndhak akan dosa karena dia telah membunuh mata pencaharian warga yang ndhak mampu."

Ucapan Romo yang seperti ini, lho, yang selalu membuatku bangga terlahir sebagai anak seorang Romo Nathan Hendarmoko. Meski bukan anak kandung, tapi beberapa sisi sifatnya yang terasa dingin, dan mengerikan kadang-kadang sangat menarik untuk kuikuti. Romo, benar-benar berbeda dari Romo-Romo yang lainnya. Seendhaknya, itulah Romo di mataku.

Jangankan mematahkan tangannya, membunuhnya pun dengan senang hati akan kulakukan. Tapi, aku hanya mengangguki ucapan Romo. Romo ndhak perlu tahu tentang siapa di balik sakitnya aku. Cukup aku, dan dia saja. Aku ndhak ingin perempuan itu sungkan, karena telah menyakiti hati seseorang yang keluarganya telah sangat begitu menyayanginya.

Terlebih, ditambah masalah Kamitua Minto yang menjadi dalang dari rusaknya semua perkebunan-perkebunan keluargaku. Aku benar-benar ndhak akan tinggal diam untuk itu. Lihat saja, kalau ndhak tangan, dan kakinya yang patah, nyawanya juga akan kupatahkan biar dia ndhak bisa hidup sekalian. Dan dari ini, kenapa Simbah Manis terus keras kepala untuk terus ingin menikahkan cucunya dengan Kamitua Minto? Apa dia ndhak tahu tentang kabar yang beredar di luar sana? Jika Kamitua Minto adalah laki-laki yang memiliki peringai benar-benar busuk. Dalam pekerjaan, dan dalam hal perempuan. Atau jangan-jangan Simbah Manis memang sengaja meminangkan cucunya dengan laki-laki tua bangka yang sudah bau tanah itu? Karena dia tahu, jika Kamitua Minto adalah salah satu orang berpengaruh di Kampung ini. Lebih-lebih, hartanya lumayan banyak. Bukankah nanti jika Kamitua Minto mati, secara otomatis hartanya akan menjadi milik Manis seutuhnya?

Gusti, apa toh, aku ini! Kenapa aku bisa berpikiran picik seperti ini mengenai Simbah Manis? Ndhak, aku ndhak mau berpikiran sepicik apa pun. Sebab aku ndhak mau, jika hati dan otakku menjadi sama dengannya... busuk.

Lagi aku menghela napas panjang, tatkala melihat Romo Nathan keluar dari kamar. Bulik Sari kini masuk ke dalam kamarku, sambil membawa menu makanan yang ia taruh di atas nampan kayu berbentuk persegi panjang.

"Juragan, ini untuk makan Juragan. Sudah, ndhak usah sedih-sedih. Juragan Arjuna makan yang banyak...," kata Bulik Sari, tahu dari mana jika aku sedang bersedih? "Kasihan Ndoro Larasati, beliau bahkan ikut-ikutan ndhak mau makan karena mengkhawatirkan Juragan Arjuna. Juragan ndhak mau, toh, kalau biungnya sampai sakit karena Juragan Arjuna?"

Duh Gusti, Biung ini. Pandai benar dia membuat dirinya sendiri mendirita seperti ini? Apa belum cukup semua penderitaan yang selama ini pernah ia alami?

Kuambil mangkuk yang di dalamnya berisikan bubur, kemudian kupandang Bulik Sari dengan seksama, sebelum kusuapkan sesendok ke dalam mulutku.

"Katakan kepada Biung, Bulik, jika putranya telah makan hari ini. Jadi, Biung harus makan yang banyak, ya. Dan katakan lagi, jika kesedihan di hati putranya kini telah menghilang, yang ada hanya rasa khawatir karena takut biungnya sakit kalau ikutan ndhak mau makan,"

Bulik Sari tampak tersenyum simpul, kemudian dia memandangku lagi dengan tatapan yang lebih aneh dari biasanya.

"Juragan Arjuna tahu, ndhak...," dia bilang, kukerutkan keningku, sebab aku ndhak tahu dia ini bicara apa. "Kalau Juragan Arjuna berucap manis seperti ini, Juragan Arjuna benar-benar mirip sekali dengan Juragan Adrian."

"Anaknya," kubilang, sambil tersenyum lebar.

"Tapi, kalau Juragan sudah ketus, dan sembarangan menghina. Juragan ndhak ubahnya seperti Juragan Nathan. Jadi kurasa, Juragan ini separuh dari Juragan Adrian, dan Juragan Nathan. Terus separuhnya lagi dari Ndoro Larasati."

"Memang, bagian mananya yang aku mirip dengan Biung, Bulik?"

"Masalah hati, susah benar untuk paham meski sudah besar," setelah mengatakan itu, Bulik Sari lantas pergi. Aku langsung terdiam dibuatnya. Masak iya, untuk perkara hati aku ini sama dengan Biung? Baru tahu aku.

Tapi, aku lebih baru tahu kalau Bulik Sari ini pandai dalam urusan menyindir. Ah dasar, pantas saja jika dia, dan Bulik Amah adalah kawan dekat Biung. Perempuan-perempuan itu, memiliki tabiat yang ndhak jauh berbeda, rupanya.