Aku tersadar dari lamunanku, tatkala kudengar isak tangis dari Paklik Sobirin. Dia yang saat ini tengah berlutut di depanku, menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sembari mengusap wajahnya dengan kasar. Gusti, jika melihat orantua jelek ini sampai menangis seperti ini, maka urusannya bukan barang yang sepele lagi.
"Sekarang, duduklah di dekatku, Paklik. Bukankah sudah kuberitahumu berkali-kali jika aku bukan reco (patung), atau pun Gusti Pangeran yang pantas untuk kamu sembah? Berapa kali lagi aku harus mengatakan hal itu agar kamu paham?"
"Maaf, Juragan. Tapi, ini di rumah. Ada—"
"Apa bedanya?" tanyaku dengan nada yang lebih ketus dari biasanya. Paklik Sobirin menundukkan kepalanya dalam-dalam lagi. "Aku bukan Romo, atau Biung. Aku hanyalah manusia biasa, aku ndhak perlu disembah oleh siapa pun itu. Apa kamu paham?"
"Paham, Juragan," jawab Paklik Sobirin takut-takut.