Aku diam, benar-benar diam. Seolah seluruh ruhku dipaksa keluar dari ragaku saat ini juga. Badanku terasa sangat ringan, panas, dingin. Sementara otakku benar-benar ndhak tahu lagi harus berpikir apa.
Kuedarkan pandanganku ke tempat lain, aku tersenyum hambar namun air mataku menetes begitu saja di pipiku. Rasa bersalah, setetika menyeruah menjadi satu bahkan sampai ke ubun-ubunku. Gusti... apakah aku seorang pecundang seperti ini?
"Juragan...," kata Paklik Sobirin, sembari menepuk bahuku. Mungkin, dia tahu kalau aku sedang syok mendengar kabar ini. Kabar yang benar-benar di luar pikiranku. Kabar yang benar-benar telah menghancurkanku menjadi kepingan-kepingan debu sampai ndhak tersisa.
Semua rasa bersalah, rasa berdosa, dan semua rasa ndhak berdaya memeluk hatiku dengan sangat kuat. Aku merasa, telah menjadi seorang anak yang ndhak berguna, aku merasa telah menjadi seorang anak yang ndhak berbakti kepada orangtuaku sendiri.