LOBI gedung ramai oleh "lalat" pencari berita. Tetapi tentu saja mereka tidak peduli ketika taksi yang kutumpangi merapat. Mereka menunggu pejabat penting. Aku menyeringai, melintasi
lobi tanpa gangguan. Seandainya mereka tahu akulah yang sedang berusaha mati-matian menskenariokan banyak hal terkait Bank Semesta, memegang kunci informasi penting, mungkin mereka akan saling sikut, saling dorong mengepungku. Apa kata Opa dulu, di dunia ini, urusan penting dan tidak penting hanya
terlihat dari kulit luarnya saja. Orang terkadang lupa, orang-orang di sekitarnya yang selama ini terlihat biasa saja dan sederhana, justru adalah bagian terpenting dalam hidupnya.Lupakan kebijaksanaan Opa, aku harus bergegas menemui Julia. Sejak tadi dia menunggu.Dari gumaman kuli tinta, saat aku menuju lift, aku tahu isu tentang rapat komite stabilitas sistem keuangan hanya menunggu
waktu digelar. Staf istana sudah hadir. Petinggi bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan dalam perjalanan pulang dari luar kota setelah mengisi jadwal kuliah umum. Beberapa petinggi bank besar milik negara, pejabat tinggi, dan anggota komite juga telah dihubungi.
Aku menekan tombol lift. Pintu lift membuka. Aku melangkah masuk, sendirian, menatap wajah di dinding. Aku menyisir rambut dengan jemari, merapikan jas yang kukenakan, menepuk debu di celana gelap, dan mengangguk. Semua sudah
oke. Lift mendesing naik, lima belas detik lengang. Kontras dengan di luar tadi.
"Akhirnya kau tiba tepat waktu, Thom."
"Eh?" Aku menelan ludah.Wajah dan suara Julia sudah menungguku persis ketika pintu lift terbuka, lantai ruangan menteri. Julia berseru dengan wajah
cemas. Dia sepertinya sejak tadi berdiri di lorong lift.
"Beliau sudah datang lima belas menit lalu." Tanpa memberiku kesempatan bernapas, Julia bergegas melangkah menuju meja resepsionis yang dijaga beberapa petugas keamanan yang sejauh ini berhasil menghalau siapa saja yang hendak masuk ruangan menteri."Sebentar, Julia. Kita tidak bisa menemui beliau sekarang. Aku harus menunggu Maggie. Ada dokumen penting," aku mengingatkan, masih berdiri di lorong."Tidak akan sempat, Thom. Ajudan menteri sudah mengingatkan dua kali. Jika kita tidak segera masuk ruangan, jadwal kita dibatalkan."
"Dua menit, Julia! Ayolah, kita tunggu dua menit."
"Thomas, kita tidak punya waktu bahkan untuk satu menit." Wajah Julia terlihat menyebalkan. Dia sudah berdiri di depan meja resepsionis di ujung lorong, berseru, ditonton petugas keamanan. "Kau tidak tahu apa yang telah dilakukan pemimpin redaksi review kami untuk mendapatkan jadwal audiensi sepenting ini. Aku masuk duluan kalau kau tidak mau."Aku menggeleng. Percuma aku masuk dalam sebuah "pertempuran" tanpa amunisi. Kabar baiknya, sebelum Julia berseru jengkel dan masuk sendirian ke dalam ruangan, atau melemparku dengan tasnya, suara denting pelan berbunyi. Pintu lift di belakangku terbuka.Maggie dengan napas tersengal datang membawa dokumen.
"Aku tidak terlambat, bukan?" Maggie bertanya cemas.Demi melihat wajah bergegas Maggie, aku sungguh tertawa lega. "Kau tidak pernah terlambat, Mag. Kau sudah seperti superhero yang menyelamatkan dunia, selalu datang tepat waktu."
Maggie mengembuskan napas. "Syukurlah. Ini dokumennya, Thom. Semua ada di sana."
Aku memeriksa sebentar, mengangguk.
"Eh, kau bersama Nenek Lampir itu?" Maggie berbisik, menunjuk. Aku mendongak, menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjuk Maggie.
Aku seketika tertawa, menatap Julia yang masih berdiri menunggu di depan meja resepsionis. Maggie pastilah masih sebal karena kemarin Julia merangsek ruanganku, tidak bisa dia cegah.
"Astaga, bahkan wajahnya sekarang tetap sama seperti saat dia menerobos kantor kemarin. Judes, tidak berperasaan, tidak sabaran. Benar-benar Nenek Lampir," Maggie bergumam.
"Dia wartawan, Mag, begitulah kelakuannya." Aku tersenyum pada Maggie. "Nah, terima kasih untuk dokumen ini. Kau bisa segera kembali ke kantor. Aku memerlukan beberapa bantuan lainnya. Aku harus ke Denpasar nanti sore. Ada pertemuan penting pukul empat. Kau bisa bantu menyiapkan perjalanan, juga menghubungi beberapa orang lagi dan beberapa informasi penting."
"Baik, baik." Maggie mengusap wajahnya, memasang wajah pura-pura kecewa besar. "Nasib sekali menjadi stafmu, Thom. Bertahun-tahun hanya disuruh mengurus tiket pesawat, kurir dokumen, mengumpulkan informasi, dan remeh-temeh lainnya. Sementara Nenek Lampir tidak jelas yang baru kaukenal kemarin itu kau ajak bertemu dengan menteri."Maggie menekan tombol lift.Aku tertawa lagi. "Kau lupa kalimatku barusan, Mag. Kau
adalah superhero. Julia hanya Nenek Lampir."
Pintu lift terbuka. "Ya, ya, superhero remeh-temeh. Bye, Thom. Salam buat Nenek Lampir itu. Semoga dia tidak naksir kau. Kalau kejadian, aku bisa menjadi pesuruh rendahannya kelak." Maggie sudah masuk ke dalam lift.
Aku mengabaikan gurauan Maggie, melangkah menuju meja resepsionis.Petugas memberi kami kartu pengenal. Untuk ketiga kalinya dia mengingatkan bahwa jadwal kami hanya tiga puluh menit. Aku mengangguk. Itu lebih dari cukup. Aku segera mengenakan kartu pengenal.
"Stafmu itu tadi bilang apa?" Julia bertanya saat kami melangkah menuju pintu ruangan menteri, sambil merapikan pakaiannya. "Dia bilang kau Nenek Lampir," aku sengaja menjawab lurus.
"Apa?" Dahi Julia terlipat.
"Iya, dia bilang kau Nenek Lampir." Aku melambaikan tangan.
"Dasar sialan!" Julia bahkan terhenti sejenak.
"Beliau sudah datang lima belas menit lalu, Julia. Kita tidak punya waktu bahkan untuk satu menit membahas tentang Nenek Lampir. Kau tidak tahu apa yang telah dilakukan pemimpin redaksi review untuk mendapatkan jadwal audiensi sepenting ini, bukan?" Aku terus melangkah.Wajah Julia terlihat merah padam, berbisik ketus, "Kau memang lelaki pembalas, Thomas. Dan stafmu tadi juga mewarisi
sikap buruk itu."Aku hanya menyengir, mendorong pintu. Inilah pertemuan penting kedua setelah kemarin sore aku sengaja satu pesawat dengan gubernur bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan. Bidak kedua dalam permainan penting ini.