"Pencuri!" Teriak seorang laki-laki pemilik kedai buah.
Sementara anak kecil yang diteriaki itu berlari dengan membawa sebuah apel merah berukuran cukup besar, warnanya nampak ranum dan segar.
Orang-orang yang berada didekat kedai itu mendengar teriakan dari si pemilik dan langsung berusaha mengejar anak kecil itu.
Dengan tubuh lincahnya si anak kecil berlari dengan gesit, menerobos orang-orang yang penuh di pasar.
Semakin anak kecil itu berlari, semakin banyak kerumunan para lelaki yang mengejarnya, sebagian hanya diam menonton sambil membatin. Itu hanyalah sebuah apel.
Anak kecil itu tak ingin berhenti berlari, karena sudah tiga hari ia kelaparan, tak ada yang memberikannya makan, ketika meminta dan mengemis, orang-orang hanya memalingkan wajah, bahkan tak banyak ia mendapatkan tendangan agar menjauh.
Dengan napas yang memburu, dan keringat yang berjatuhan, anak kecil itu masih terus berlari. Tapi, entah bagaimana tangannya ditarik dan yang ia ingat tubuhnya terbanting ke tanah, beberapa kaki menginjak nya, sementara ia terus memegang erat buah apel itu.
"Hentikan!" Teriak dari seorang laki-laki lagi, kini seseorang yang menggunakan pakaian hitam, di bagian kiri pinggangnya nampak pedang berukuran sedang.
Kerumunan orang-orang yang menendang anak itu berhenti lalu memandangi laki laki itu, sedangkan pemilik kedai menggeram tak terima.
"Bocah itu sudah mencuri apelku!" Kata pemilik kedai dengan gusar. Wajah gendutnya semakin menggelembung.
Laki laki dengan pedang tadi tanpa mengatakan apapun langsung melemparkan empat logi (setara dua emas) pada pemilik kedai yang langsung mengambilnya. Kemudian dengan sekali gerakan, menarik tubuh anak kecil itu.
Dengan sedikit seret anak kecil tadi berdiri dan mulai mengunyah apel mengikuti si laki-laki berpedang.
Sesekali si anak kecil memandangi laki-laki itu dari belakang, pakaian hitam mengkilatnya dan bersihnya nampak mahal, di bagian lehernya juga nampak kalung dari rajutan benang lion (ulat emas).
Tak berapa lama keduanya sampai disebuah kereta dengan berpenumpang dibelakang, seorang kusir yang sejak tadi menunggu mulai bertanya banyak hal pada si pemilik pedang, setelah sebelumnya ia menyuruh si anak kecil masuk kedalam.
Si anak kecil tak ingin banyak bertanya, karena mulutnya masih penuh dengan buah apel itu. Dengan rakus ia menghabiskan, hingga hanya nampak biji hitamnya saja.
Namun, tiba-tiba saja rasanya buah itu berhenti tepat didadanya, membuatnya kesulitan bernapas. Pemilik pedang mendatangi, lalu melemparkan botol air dan beberapa buah lainnya.
Anak kecil itu menenguk air yang ada didalam botol dengan sangat puas, sampai tak sadar bahwa pemilik pedang sudah berada didalam kereta dan duduk didepannya.
"Siapa namamu?" tanya laki laki dengan pedang itu.
"Hayato." Jawab anak kecil yang mengaku bernama Hayato itu singkat, mulutnya mulai penuh lagi dengan makanan.
"Nama keluargamu?" tanya laki laki itu lagi, matanya mulai mengintimidasi. Entah mengapa, laki laki itu seperti yakin bahwa Hayato anak seorang bangsawan setidaknya anak orang kaya.
Semantara Hayato sambil menikmati buah itu mulai terpikir tentang perintah ayahnya, bahwa jangan sesekali mengatakan nama keluarga didepan orang tak dikenal.
"Aku masih makan, Paman. Bisa ajak aku bicara nanti." Ucap Hayato seolah tak ingin diajak berbicara lagi.
"Jangan begitu. Paman ingin mengenalmu, setelah sampai nanti kau bisa makan lebih puas." Paksa laki laki itu.
Semantara Hayato tersadar jika kereta kuda itu sudah mulai berjalan, Hayato tak ingin bertanya ingin dibawa kemana dirinya. Yang ia tahu ia bisa menikmati makanan itu tanpa susah payah mencari lagi. Atau harus beradu kaki dengan orang-orang karena ketahuan mencuri.
"Ryu." Kata Hayato lagi lebih singkat. "Hayato Ryu."
"Dimana keluargamu? Kenapa kau sampai mencuri?"
"Aku kehilangan keluargaku saat aku masih kecil, sejak kecil aku tinggal bersama kakek, dia meninggal empat bulan lalu, dan aku jadi gelandangan." Ucap Hayato berbohong, sepertinya ia tak harus mengatakan dari mana dan siapa dirinya.
Hayato tak mengenal laki laki itu, meskipun mengenal Hayato tak yakin ia akan tak baik-baik saja.
"Paman, aku akan dibawa kemana?" sambung Hayato sambil bertanya, entah mengapa ia mulai penasaran.
Kereta kuda itu sudah keluar dari kota, mulai memasuki perkampungan, Hayato pikir akan berhenti di sana, nyatanya tidak. Kereta kuda itu masih berjalan, seakan memaksa si kuda untuk terus bekerja.
Si kusir pun tak mengucapkan apapun, hanya fokus dengan kuda yang ada di depannya.
"Kerumah Paman, Paman tak tega melihatmu seperti ini. Dirumah paman hanya tinggal berdua bersama si kusir." Jawab laki laki itu.
Hayato mengindahkan ucapan laki laki itu, ia hanya bersyukur jika laki laki itu berniat mengangkatnya sebagai seorang anak, atau setidaknya membiarkan ia memiliki atap rumah.
Sudah dua tahun rasanya Hayato tak pernah tinggal didalam rumah yang nyaman, ia hanya tinggal di gedung-gedung atau rumah kosong, mencari makan dari sisa-sisa makanan orang lain, atau hanya mengandalkan sikap melasnya untuk meminta-minta.
Di usianya yang masih dua belas tahun, Hayato tak bisa melakukan pekerjaan yang di dominasi para laki laki dewasa. Terpaksa ia harus mengharapkan belas kasih.
Selama dua tahun sejak pergi dari desanya, ia berkelana, ke satu tempat ketempat lainnya. Ia berulang kali mencuri, berulang kali tertangkap dan berulang kali dihakimi. Tapi, ia merasa tak jera.
Tak terasa kereta kuda itu sudah sampai diujung sebuah desa, lalu berhenti di sebuah rumah tua dengan bangunannya yang nampak kokoh.
Saat Hayato keluar dari kereta itu, nampak mata nya mengawasi sekeliling. Halamannya luas, disamping kanan rumah ada kandang kuda yang berisi lima sampai enam kuda. Semuanya bersih dan terawat, rumput segar juga nampak di tempat makannya.
"Mereka adalah kuda-kuda terlatih, aku biasanya membawa mereka dalam pacuan." Kata si kusir pada Hayato, saat sadar Hayato terus menatap kearah kandang kuda.
"Apa mereka pernah menang?" tanya Hayato, rasa penasarannya sebagai seorang anak kecil.
"Sering. Kalau mereka kalah sering juga aku memukulnya." Jawab si kusir.
"Kenapa? Kasihan mereka." Hayato memalingkan wajah nya pada si kusir, padahal si kusir memiliki wajah tenang tak seperti orang jahat.
"Agar mereka sadar dan jera, kalau sudah begitu mereka akan menang di pacuan berikutnya."
Hayato terdiam, tak ingin menjawab ucapan si kusir, karena laki laki pemilik pedang memanggilnya dari dalam rumah. Dengan berlari kecil Hayato menuju dalam rumah itu.
Laki laki itu terdiam sambil menunggu Hayato datang.
"Ikut aku." Ucap laki laki itu sambil menarik tangan Hayato, omongannya pelan seakan mengajak anaknya bermain.
"Kemana, Paman?" tanya Hayato, tangannya masih dalam kuasa si laki laki.
"Membersihkan dirimu."
Hayato terdiam sambil terus mengikuti tarikan tangan laki laki itu. Mereka menuju sebuah lorong kecil yang berada dirumah itu, lalu pada sebuah ruangan, dan si laki laki menarik pintu bawah tanah.
Hayato yang masih bingung tak berani mengatakannya apapun, meskipun rasa penasaran semakin memuncak.
Diruangan bawah itu nampak gelap, meskipun ada biasan lampu minyak dari lantai atas. Banyak benda benda berserakan disana, dan satu kerangkeng dari besi yang berukuran tiga kali empat meter.
Hayato menyipitkan matanya, mengerutkan kening, tiba-tiba napasnya memburu, ia berusaha melepaskan pegangan tangan laki laki itu, tapi cengkramannya begitu kuat.
"Lepaskan aku paman!" Teriak Hayato, sambil terus memberontak.
"Diam!" Bentak laki-laki itu, tangannya membuka pintu kerangkeng.
Setelah pintu terbuka, Laki laki melemparkan Hayato kedalam penjara. Hayato merintih saat tubuhnya berbenturan dengan lantai.
"Berhenti menangis, dan nikmati hidupmu seminggu disini. Karena minggu depan, akan ada orang yang membawamu." Sambung laki laki itu, sambil berlalu pergi, berjalan menuju lantai atas.
Hayato terus berteriak dan menangis, seakan takut jika berada disana lebih lama. Ia pikir hidupnya akan lebih baik dari pada menjadi gelandangan. Tapi, nyatanya ia malah akan dijual.
Air matanya mengalir membasahi pipi kecilnya, hidupnya akan menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Sampai kapan hidup nya akan berubah baik.