Laki laki itu membersihkan pedangnya di teras tak jauh dari si kusir yang tengah memandikan kuda.
"Kau akan jual pada siapa anak itu?" tanya si kusir sambil terus melap tubuh kuda coklat kebanggaan nya. Kuda jantan berkaki kekar itu sering sekali menang pacuan, itu semua karena didikan si kusir yang begitu keras. Saking kerasnya seakan si kuda sampai ketakutan.
"Aku akan jual nya pada bangsawan, harganya pasti mahal. Aku lihat kulitnya mulus dan terawat, tubuhnya pun bagus meski masih berusia kanak," jawab si laki-laki, di usapnya pedang jenis katana yang sudah di turunkan oleh keluarganya dari generasi ke generasi menurut ayahnya.
Kapas dan kapuk tipis, di sapukan pada belahan tajam pedang itu. Ia, laki laki itu bukan ahli berpedang atau seorang prajurit, ia hanya seorang laki laki penjual budak yang sudah menjadikannya profesi.
Meskipun berprofesi yang dianggap ilegal oleh Kekaisaran, ia tetap melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Karena ia bisa memberikan uang pada militer kota sebagai alasan mereka tutup mulut.
Jika rahasianya terbongkar, itu akan membahayakan keselamatan para militer juga. Kalau bukan turun jabatan, para militer itu akan dipaksa Harakiri, karena telah berbuat lalim dan melanggar sumpah militer.
"Aku sebenarnya berencana mengadopsi sendiri anak itu, setidaknya kau tidak lelah membersihkan kandang kuda itu sendiri." Sambung laki laki itu.
"Lalu?" tanya si kusir lagi, kini berhenti melap tubuh si kuda.
"Sayangnya niatku tak akan berjalan, karena militer meminta bayaran bulan ini. Mereka juga memberikan informasi bahwa ada barang bagus dipenjara dermaga."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Mereka tak mengatakan, laki-laki atau pun perempuan tak jadi masalah, selama barangnya akan mahal."
Laki laki itu kemudian meletakkan pedangnya masuk kedalam sarung, lalu menaruhnya menghadap dinding.
"Aku akan memberikan anak itu makan untuk hari ini, besok panggilkan Ayami."
Setelah mengatakan itu, si laki laki pergi ke dapur, mengambilkan semangkuk nasi dan ikan kukus untuk di berikan pada Hayato. Meskipun akan dijual sebagai budak, tapi laki laki itu tak ingin Hayato sampai sakit.
Jika sakit, harga Hayato akan turun bahkan bisa saja tak laku.
Dengan nampan yang terbuat dari kayu besi berwarna coklat kehitaman, laki laki itu menuju tempat dimana Hayato berada.
Menuju lorong bawah tanah. Sesampainya disana, Hayato tak melakukan apapun, hanya terdiam tanpa ekspresi.
Hayato sudah lelah menangis selama semalam, air matanya terasa sudah habis.
"Makan." Ucap laki laki itu, sambil mengulurkan nampan itu pada lubang besi penjara.
Hayato melihat sekilas, ia terasa lapar. Namun, wajahnya hanya mampu berpaling.
"Aku memang ingin menjualmu, tapi aku tak ingin kau mati, kecuali kau ingin mati sendiri. Dari pada mati kelaparan itu menyiksa, aku akan pinjamkan pisau ku." Sambung laki laki itu, kini tangannya mengeluarkan pisau kecil seukuran jari telunjuknya yang keluar begitu saja dari lengan bajunya.
Entah bagaimana, kepala Hayato menengok, pisau kecil putih itu sudah keluar dari sarungnya. Dengan tatapan tajam mengerikan, Hayato meneguk liurnya.
Dengan gerakan sekali, Hayato menarik nampan itu, lalu menikmati makanan yang ada disana dengan lahap. Si laki laki keluar dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Mulut Hayato terus mengunyah makanan yang sudah dua tahun ini terasa asing di mulutnya, semakin mengunyah ia semakin mengingat ibunya, belum sampai air matanya menetes ia mengusap wajahnya.
Aku akan mencari tahu penyebab kematian Ibu. Batin Hayato.
Sudah hampir dua malam Hayato berada disana, di kurung di tempat pengap yang kadang bercampur suara hewan pengerat, meskipun biasanya ia sering harus merebut makanan dengan hewan-hewan itu di tempat sampah.
Semua hal buruk ini berbula saat itu.
Dua tahun lalu, saat usianya masih sepuluh tahun, sebelum tragedi itu hidupnya begitu tenang dan damai layaknya penduduk desa biasa.
Ia memiliki ayah, ibu dan seorang kakak laki-laki, bernama Ishiki Shouta. Ayahnya hanya seorang penebang kayu dan sesekali mencari ikan sebagai makanan.
Ibunya perempuan cantik yang memiliki rambut indah dan panjang, berwarna hitam gelap. Setiap saat sang ibu selalu memanjakan Hayato dengan apapun yang ia mau, yang Hayato ingat adalah makanan kesukaannya, Kari
Rusa dan kukus ikan yang dimasak sang ibu.
Sementara sang kakak, hanya remaja biasa seusianya, membantu pekerjaan ayahnya, juga melakukan keterampilan lainnya. Kadang Hayato iri pada Ishiki yang pandai dalam segala hal.
Ketika Ishiki terlalu dipuji orangtuanya saat itu Hayato melarikan diri dan berniat kabur, namun sayang saat malam hari perutnya lapar. Ia kembali kerumah.
Alangkah terkejutnya, bukan hanya rumah nya tapi hampir seluruh desanya terbakar api. Sebagian yang tak bisa menyelamatkan diri terpanggang didalam api, termasuk orang tua dan kakaknya.
Orang-orang bilang, desanya terkena wahab penyakit, Militer Kekaisaran harus mengatasi hal itu agar tak menjadi penyakit yang menyebar salah satunya dengan membunuh mereka.
Hayato pergi menyembunyikan diri, agar para militer tak mengetahui bahwa dari desa itu ada yang masih selamat padahal rumahnya sudah terbakar.
Berhari hari Hayato bersembunyi di hutan, hingga terasa sebulan lebih akhirnya ia keluar saat merasa sudah aman.
Perjalanannya menjadi gelandangan di mulai, ia tak memiliki apapun, hanya baju lusuh yang menempel di tubuhnya. Ia makan apapun yang bisa ia makan, tidur dimana pun yang bisa membuatnya nyaman tidur.
Menjadi gelandangan membuatnya merasa mandiri dan harus hidup seperti apa yang ia bisa, kadang ada disaat ia merasa ingin mati. Namun, pikirannya belum tenang tentang penyebab kematian orang tuanya.
Meskipun orang bilang wabah, tapi ada banyak hal janggal yang masih menganggu pikirannya.
Makanan yang ia makan sudah habis, ia meletakkan nampan kayu itu keluar melewati pagar besi-besi hitam seukuran ibu jari.
Hayato kembali terdiam, ia mulai berpikir lagi mungkin menjadi budak atau menjadi anak angkat bangsawan itu lebih baik.
Sementara itu si laki laki itu sudah berada di kamarnya duduk diatas bantal sambil menghadap sebuah tempat sesembahan.
Dupa menyala, baunya tercium wangi bunga lavender merah jenis inku. Diatas meja ada abu yang berada didalam cawan kuningan.
Laki laki biasa melakukan disana saat ia teringat dengan ayahnya yang sudah mati akibat perang saudara beberapa puluh tahun lalu.
Sejak saat itu ia tak pernah berniat menjadi seorang pendekar atau ahli pedang, membawa pedang itu cukup sebagai bentuk penjagaan diri sendiri.
"Kalau saja kau tak mati karena siap egoismu mungkin saat ini aku tak mengalami nasib seburuk ini," gumam laki laki itu lalu mengambil cawan yang berisi abu itu, dibukanya lalu dicium aromanya.
Laki laki itu mulai memikirkan masa lalu saat ayahnya terus bersikukuh ingin ikut peperangan, padahal semua orang sudah mengatakan bahwa ia tak ahli dalam perang.
Sikap egoisnya berujung maut, meskipun memiliki pedang turun temurun, tetap tak berpengaruh pada peperangan.
Laki laki itu membenci sikap egois sang ayah, karena sejak saat itu ia harus menjadi yatim dan kehilangan semua masa kecil bahagianya yang harusnya indah.
Dunia terlalu kejam bagi sikap kecilnya, membuat ia menjadi dewasa belum pada umurnya.
Menjadi seorang penadah, pencuri, hingga penjual budak, pekerjaan ilegal yang ditentang kekaisaran.
Budak hanya boleh diambil saat mereka kalah di medan perang, biasanya mereka dikerjakan tanpa henti.