"Hachi!"
Suara itu membuat Kace semakin panik, dia buru- buru kembali ke kamar Hope sambil membawa semangkuk sup hangat di tangannya.
"Baby..." Kace berjongkok di samping tempat tidur Hope dan menyentuh dahinya yang panas. "Bagaimana perasaanmu?"
"Kepalaku sakit ..." Suara Hope terdengar sangat menyedihkan saat air mata keluar dari matanya, itu bukan karena dia sangat kesakitan sehingga dia menangis, tetapi panas dari demamnya yang membuat matanya terasa seperti terbakar .
Kace menyeka air matanya, tetapi kulitnya sangat panas ketika dia menyentuhnya.
Lana masuk ke dalam kamar beberapa saat kemudian. "Kita tidak bisa keluar dalam cuaca seperti ini." Dia berkata dengan menyesal. Matanya beralih antara Hope dan Kace dalam kecemasan yang sama.
"D*mn!" Kace mengutuk keras dan mengertakkan giginya.
Ada badai salju di luar dan tidak ada mobil yang bisa melewatinya dalam cuaca seperti ini dengan angin kencang yang menderu dan udara dingin yang beku, itu terlalu berbahaya.
"Di mana Serefina!?" Kace membentak Lana dengan marah. Bukan karena dia marah padanya, melainkan karena dia tidak bisa tetap tenang dalam situasi ini, mengetahui hanya ada sedikit pilihan yang tersisa untuknya sementara penyihir itu tidak bisa ditemukan di saat kritis seperti ini.
"Dia pergi sejak dua hari lalu." Lana memberitahunya. "Aku tidak tahu dimana dia."
Serefina telah meninggalkan apartemen sejak dua hari yang lalu tanpa mengatakan apapun seperti biasanya dan sampai sekarang dia belum kembali. Biasanya, Serefina akan kembali setelah tiga hari hingga seminggu.
"Apa kau tidak punya obat?" Kace mengusap wajahnya dengan kasar sambil menatap wajah Hope yang memerah.
Ketika dia menelepon pagi ini untuk berbicara dengan Hope, Lana mengatakan kepadanya bahwa dia sakit dan ketika Kace mendengar Hope menangis melalui telepon, dia berlari bermil-mil dalam wujud monsternya dalam cuaca buruk ini karena tidak ada transportasi yang beroperasi.
Hope mengulurkan tangannya saat matanya yang berkaca-kaca menatap Kace, memohon.
Kace tahu apa yang diinginkannya dan segera menarik gadis kecil itu padanya dan memeluknya.
Kace lalu duduk di tempat tidurnya dan bersandar di dinding di belakangnya dengan Hope membenamkan wajahnya di dadanya dan memeluk pinggangnya, seperti bayi panda.
Hope merasa lebih baik dengan cara ini, sensasi yang dia rasakan setiap kali dia menyentuhnya, membantu meredakan rasa sakitnya.
Dia mengusap kepalanya, mencari posisi yang nyaman saat Kace membungkusnya dengan selimut.
"Dia harus makan dulu sebelum meminum obat." Lana mengingatkannya. "Dia belum makan apa-apa sejak pagi ini."
Penjelasan itu membuat gelombang frustrasi lainnya bergulung di tenggorokan Kace saat geraman bergetar dari dadanya.
Hope merintih ketika dia mendengar itu.
"Sayang, makan sesuatu yang oke?" Kace mencoba membujuknya, tapi Hope menggelengkan kepalanya dengan lemah.
Dalam kondisi ini semua yang dia makan akan terasa tidak enak tidak peduli seberapa enak makanannya. Hope juga sempat mencoba makan beberapa sendok bubur yang akhirnya dia muntahkan tepat setelah menelannya.
Kace merasa seolah dirinya tengah menelan pil pahit hanya karena melihat betapa pucatnya Hope sekarang.
"Bagaimana dia bisa jatuh sakit seperti ini!?" Kace memelototi Lana dan dia menundukkan kepalanya, terlalu takut untuk menatap lurus ke matanya.
"Kurasa ... kupikir ..." Lana menelan ludah. "Aku membawanya keluar untuk bermain kemarin dan aku pikir kami kembali terlambat…"
Cengkeraman Kace pada pinggir tempat tidur tidur Hope menegang dan meninggalkan penyok di sana karena dia tidak bisa menahan amarahnya, sementara tangan yang masih memegang Hope, bergetar.
Kace menghela nafas dalam-dalam, jika dia membiarkan amarahnya menguasainya sekarang, dia akan menyakiti pasangannya dan itu adalah hal terakhir yang dia inginkan terjadi.
"Seberapa jauh rumah sakit terdekat?" Kace bertanya dengan mata tertutup, hanya terfokus pada debaran jantung Hope.
"Sekitar tiga jam berjalan kaki dari sini." Lana gelisah saat menyadari apa yang akan dilakukan Kace. "Tapi, Kace, cuaca di luar sangat buruk."
Namun, tepat pada saat itu, Hope muntah lagi. Dia muntah tepat di tubuh Kace, air mata mulai mengalir di wajahnya yang pucat dan dia merintih kesakitan setelah itu.
"Sakit…" Hope terisak sementara Kace membersihkan mulutnya.
"Aku tahu sayang, aku tahu… kita akan membawamu ke Rumah Sakit, oke?" Dia menyerahkan Hope kepada Lana, jadi dia tidak akan mengotori dirinya sendiri dengan muntahan di baju depan Kace.
Namun, Hope mengulurkan tangannya, mencoba menjangkau Kace. Dia tidak ingin dipisahkan darinya dan ketidakberdayaan di matanya membuat hati Kace terasa sakit.
Begitu Kace mengganti bajunya dan Lana membersihkan Hope, dia memeluk gadis kecil itu dengan erat. "Kita akan pergi ke rumah sakit sekarang."
Tiga jam dengan berjalan kaki.
Sebagai seorang Lycan, suhu tubuh mereka lebih panas daripada manusia, itulah mengapa Kace berhasil berlari bermil-mil dalam cuaca seperti ini tanpa kedinginan.
Kace mengenakan jaket tebal pada Hope dan membungkusnya dengan selimut sebelum dia mengikatnya di punggungnya dan memasang ritsleting jaket yang lebih besar di sekitar tubuh mereka sehingga Hope dapat terlindung dari angin kencang di luar sana.
Hope mulai berkeringat, tapi begitu mereka berada di luar, temperaturnya turun drastis dibandingkan dengan ruangan ini.
==============
Badai salju yang mengamuk mulai mereda ketika seorang pria bertubuh besar masuk ke lobi rumah sakit bersama dengan seorang gadis di belakangnya.
Ini membuat perawat lain dan orang-orang di sana menatap mereka dengan tatapan kosong. Bagaimana dua orang ini bisa datang ke rumah sakit ini dalam situasi seperti ini?
"Di mana dokternya!?" pria itu memelototi semua orang di sana, yang masih terlihat bingung.